Berbagai
Metode dan Pendekatan Tafsir
(Usaha
Mencari format baru menuju Pendidikan agama yang santun)
Oleh:
Zainur Rofik
A. Pendahuluan
Al-Qur`an hadir
ketengah-tengah kaumnya dengan menggunakan bahasa Arab. Karena itu, maka
seluruh bangsa Arab akan paham dengan bahasa al-Qur`an tanpa harus berpikir
panjang. Dari pernyataan diatas dapat dikatakan bahwa kemampuan dalam berbahasa
Arab menjadi salah satu syarat dalam memahami al-Qur`an. Oleh karena itu bahasa
menyimpan fenomena kajian yang sangat multi dimensi. Lebih-lebih al-Qur`an,
yang sekarang telah berubah wujud menjadi tulisan merupakan fenomena linguistik
yang syarat dengan berbagai macam kajian.
Sangat menarik apa yang
telah disampaikan oleh Quraisy Shihab. Tafsir menurutnya adalah penjelasan
tentang maksud firman-firman Allah sesuai kemampuan manusia. Sedangkan
kemampuan manusia itu bertingkat-tingkat
dalam menganalisa dan mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda,
sehingga kualitas pesan yang ditemukan dari Al-Qur`an juga berbeda-beda.
Perbedaan budaya akan sangat mempengaruhi makna penafsian yang dilakukan oleh
seseorang. Karena itu, menurut Quraisy Shihab, semakin sering mufassir membaca
al-Qur`an akan semakin banyak makna pesan yang ditemukan. Shihab
menggambarkan”ayat-ayat al-Qur`an bagaikan intan yang tiap sudutnya memancarkan
cahaya yang berbeda dari sudut yang lainnya. Dan tidak mustahil apabila kita
mempersilahkan orang lain untuk memandangnya dari sudut lainnya, maka ia akan
melihat banyak dibanding apa yang kita
lihat.[1]
Dapat diambil kesimpulan
dari analogi diatas bahwa al-Qur`an memiliki kekayaan makna dan pesan sebagai
wahyu Tuhan. Sehingga dalam sebuah firmannya disebutkan walaupun lautan
dijadikan tinta untuk menulis wahyu tuhan niscaya tidak akan habis untuk di tulis dan lautan menjadi kering
kerontangan.[2] Ini
menggambarkan bahwa dalam penafsirannya al-Qur`an akan menjadi sumber yang
tiada habisnya untuk diserap maknanya dari siapapun, sehingga dimungkinkan
setiap mufassir dapat memetik sebuah makna yang tidak dapat ditangkap oleh
mufassir lainnya. Terlepas dari kebenaran pernyataan tersebut sejatinya
mengandung pelajaran bahwa tidak ada tafsir yang tunggal apalagi sakral.
Munculnya berbagai
corak penafsiran menunjukkan bahwa penafsiran harus tetap berjalan dan tidak
boleh berhenti. Sehingga selalu membuka kemungkinan penafsiran dan menerima
perbedaan penafsiran. Di dunia Islam sendiri muncul gerakan menyeregamkan
penafsiran terhadap al-Qur`an. Sehingga mereka menolak upaya penafsiran dengan
menggunakan metode baru yang berkembang, terutama dari ilmu-ilmu sosial dan
humaniora. Ada juga gerakan penafsiran
yang melakukan penafsiran secara sewenang-wenang (otoriter) yaitu dengan
menafsirkan teks dan menyajikan kesimpulan makna tersebut sebagai sesuatu yang
sudah pasti, absolut. Dengan bahasa lain penafsir bertindak sebagai ahli tafsir
yang paling otoritatif.[3]
B.
Pergulatan dalam penafsiran al-Qur`an
Sentral
perbedaan dan perdebatan dalam menafsirkan teks yang dilontarkan oleh pemikir
Islam klasik hanya berkisar pada konsep tentang ontologi wahyu Tuhan, disini
ada perbedaan pandangan mengenai istilah wahyu. Menurut Izutsu Wahyu merupakan
salah satu kata yang kerap kali digunakan dalam sya’ir Pra Islam dan juga
digunakan dalam Islam.[4]
Sedangkan dari segi bahasa, kata wahyu banyak arti, akan tetapi di dalam kamus Lisanul Arbiy, juga memasukkan
makna-makna lain seperti, “ilham, isyarat, tulisan dan kalam” kedalam kata
wahyu,[5]
dengan definisi wahyu sebagai dua komunikasi yang samar dan rahasia.[6]
Sementara wahyu sendiri meliputi aspek komunikasi yang tersebumbunyi dan
melibatkan aspek ketuhanan dengan menggunakan bahasa transendental, sedangkan
unsur-unsur wahyu yang terlibat aktif adalah bahasa komunikasi, kata-kata
tersebut berarti mengandung nilai-nilai rahasia untuk terlibat didalam pesan komunikasi.
maka dalam teori komunikasi ada tiga unsur yaitu komunikator, komunikan dan
media. [7]
Al-Quran
sendiri adalah bahasa oralitas yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab
sebagai alat media. Menurut Hasan Hanafi bahwa al-Quran adalah kitab yang ditulis
oleh bahasa tertentu yaitu bahasa Arab.[8] Al-Quran merupakan wahyu
Tuhan yang tidak terikat pada ruang dan waktu, yang
diberikan kepada
Muhammad untuk disampaikan kepada umatnya agar dapat dimengerti dan dipahami
sesuai dengan bahasa kaumnya,[9]Al-Quran diresmikan menjadi pedoman yang
dibukukan oleh khalifah Ustman bin Affan dan dijadikan pegangan umat Islam
sampai sekarang, al-Quran
sebagai mushaf Ustmani atau bahasanya Arkoun di sebut dengan kitab “Korpus
Resmi Tertutup”.[10]
Ada perbedaan pandangan dari pemikir Islam
klasik dalam memahami mushaf ustmani (al-Quran) mengenai status ontologi wahyu
Tuhan, Wahyu Tuhan (al-Quran) berada di lauhul
mahfudz baik dari segi makna ataupun lafadznya, sedangkan pada sisi yang
lain bahwa al-Quran adalah maknanya saja, sedangkan lafadznya hasil kreasi
manusia. Pendapat yang pertama bahwa
makna dan lafadznya mutlak dari Tuhan yang telah disampaikan Jibril kepada
Muhammad dan apa yang Tuhan janjikan untuk dipelihara adalah dua unsur
tersebut, yang kedua telah dimotori
oleh Imam Abu Hanifah bahwa al-Quran sebagai Wahyu yang Qath’i, maka
hanya maknanya dari Tuhan sedangkan lafadznya dari Muhammad. Dengan pandangan
Imam Abu Hanifah membolehkan penerjemahan bahasa masyarakat yang bersangkutan
didalam melakukan shalat sebagai ganti dari bahasa Arab al-Quran.[11]
C.
Ragam metode dan
pendekatan penafsiran
a.
Metode Tematik
Ikhtiar
memahami tema-pertema dari ayat ayat-ayat yang memiliki semangat yang sama
dalam struktur makna yang lebih universal (umum) tanpa dilema persialis (
khusus), agar makna masing-masing ayat tidak dalam posisi saling berbenturan
satu dengan yang lainnya adalah suatu kemestian. Dari sinilah kajian tematik perlu diangkat.
Dalam banyak kasus ternyata dilema itu sangat mudah ditemukan. Ayat mengenai
waris misalnya kaum laki-laki dibanding kaum perempuan dua berbanding satu, hal
tersebut mengindikasikan bahwa status sosial lelaki dalam struktur sosial
kemasyarakatan masih berada satu tingkat diatas kaum wanita.[12]
Implikasi
sosial dari masalah tersebut adalah terwujudnya pembagian waris yang tidak
seimbang diatas. Padahal dalam kenyataannya pada dunia modern masyarakat telah
diperlihatkan bukti nyata bahwa kaum wanita tekadang jauh lebih besar peranan
dan tanggung jawabnya dibandingkan kaum lelaki. Ini merupakan sesuatu yang
kontradiktif karena sebagaimana diketahui, lelaki ditempatkan oleh al-Qur`an
sebagai pemimpin bagi kaum wanita. Dalam ayat lain juga dijelaskan bahwa semua
manusia memiliki kedudukan yang sama dalam strata sosial. Perbedaan yang paling mendasar dalam
kehidupan mereka adalah hanya pada kualitas ketakwaan.[13]
Dilema
seperti ini bisa ditemukan jalan keluarnya kalau kajian al-Qur`an tidak
berjalan secara hitam putih (tekstual) melainkan ditingkatkan kajiannya ke
struktur berpikirnya yang lebih tematik. Kajian tematik al-Qur`an akan
mempertautkan kita dengan situasi dan kondisi kesejarahan suatu ayat. Bahkan melalui kajian tematik pula kitapun
akan tahu, al-Qur`an tidak diturunkan dalam situasi dan kondisi tertentu saja,
melainkan juga untuk semua situasi dan kondisi.[14]
Bagi
Fazlur Rahman untuk memahami kandungan ayat al-Qur`an secara utuh dan
komprehensif bisa dengan menggunakan metode tematik. Metode inilah yang ditawarkan
oleh Rahman dalam menafsirkan al-Qur`an. Ada beberapa alasan sehingga Rahman
menggunakan metode ini.
Pertama, sedikit sekali usaha yang dilakukan dari para penafsir untu
memahami al-Qur`an sebagai satu kesatuan. Selama ini kaum muslim belum pernah
membicarakan secara adil masalah-masalah mendasar mengenai metode penafsiran
al-Qur`an. Selain itu terdapat kesalahan umum dalam memahami keterpaduan
al-Qur`an, sehingga ia sering dipahami secara atomistik dan parsial. Metode
tematik dapat dikatakan sebagai metode yang cukup menjanjikan dalam memahami
al-Qur`an secara komprehensif dan holistik yang benar-benar dideduksi dari
al-Qur`an.[15]
Kedua, dengan
berjalannya waktu, sudut pandang yang berbeda dan pemikiran yang dimiliki
sebelumnya (baca: pra konsepsi) oleh mufassir cenderung lebih menjadi objek
penilaian bagi pemahaman yang baru dari pada menjadi bantuan untuk memahami
al-Qur`an. Dengan kata lain, prior texts(pra konsepsi) cnderung membawa
kearah subjektivitas penafsir yang berlebihan. Meskipun dalam produk tafsir
seperti ini tidak diragukan akan mampu menghasilkan pandangan yang mendalam, namun gagasan itu tidak diambil
dari al-Qur`an itu sendiri. Dari sinilah metode tematik dapat mengontrol
bias-bias ideologi yang dipaksakan dalam penafsiran al-Qur`an. Sebab, akurasi
penafsiran al-Qur`an dapat dilacak dengan mempertimbangkan struktur logis dan
hubungan ayat-ayat yang setema yang sedang menjadi objak kajian. Dengan begitu,
gagasan-gagasan non Qur`ani dalam penafsiran al-Qur`an akan dapat dieliminasi
sedimikian rupa.[16]
Metode penafsiran tematik adalah sebuah upaya untuk memahami ayat-ayat
al-Qur`an dengan memfokuskan pada tema yang telah ditetapkan dengan mengkaji
secara serius tentang ayat-ayat yang terkait dengan tema tersebut. Topik inilah
yang merupakan ciri dari metode tematik
(mawdhui). Langkah –langkah dalam tafsir tematik difrumuskan oleh
al-Farmawi dan Hasan Hanafi. Al-Farmawi merumuskan tujuh langkah metodis dalam
penafsiran tematik sebagai berikut:
1.
Menetapkan
masalah yang akan dibahas
2.
Menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Dengan kata lain
seorang mufassir harus memilih objek penafsiran, yaitu satu tema atau istilah tertentu dan mengumpulkan
ayat-ayat yang bertalian denga tema tersebut.
3.
Menyusun
runtutan ayat secara kronologis sesuai urutan pewahyuannya serta pemahaman tentang konteks turunnya ayat
(asbab al-nuzul). Setelah itu seorang mufassir mengkaji tema-tema
tersebut dalam konteks kesejarahan al-Qur`an, pra al-Qur`an dan pada saat
al-Qur`an diturunkan.
4.
Memahami
korelasi ayat-ayat tersebut dalam korelasi suratnya masing-masing.
5.
Menyusun
pembahasan dalam kerangka yang sempurna
6.
Melengkapi
dengan hadis hadis yang relevan.
7.
Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang
mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang amm dan
khas, yang mutlak dan muqayyad , atau yang secara lahiriyah tampak bertentangan sehingga
dapat bertemu dalam satu muara.
Sementara
itu Hasan Hanafi, membuat delapan langkah metodis yang harus dilakukan dalam
penafsiran tematis yang agak sedikit berbeda dengan rumusan al-Farmawi. Delapan
langkah metodis sebagai berikut:
1.
Seorang mufassir harus secara sadar mengetahui dan merumuskan
komitmennya terhadap problem sosial politik tertentu. Dengan kata lain, setiap
penafsiran yang muncul harus dilandasi keprihatinan-keprihatinan tertentu atas
kondisi kontemporernya.
2.
Perlu bercermin pada proses lahirnya teks al-Qur`an yang
didahului oleh realitas, dan dia juga
harus merumuskan tujuan penafsirannya. Sebab itu, tidak mungkin seorang
mufassir memulai kegiatannya dengan tanpa kesadaran akan apa yang ingin
dicapainya.
3.
Harus dapat menginventarisasikan ayat-aat yang terkait dengan tema
yang menjadi komitmennya.
4.
Menginventarisasi bentuk-bentuk linguistik atau bahasa untuk
kemudian diklasifikasikan atas dasar bentuk-bentuk linguistik sebagai landasan
bagi langkah kelima, yaitu membangun struktur makna yang tepat dengan sasaran yang dituju
5.
Membangun struktur makna
yang tepat dengan sasaran yang dituju sehingga makna dan objek yang dituju
menjadi satu kesatuan.
6.
Melakukan analisis terhadap problem faktual dalam situasi empirik (
realitas) yang dihadapi penafsir, misalnya isu kemiskinan, penindasan dan
pelanggaran hak asasi manusia.
7.
Membandingkan struktur ideal sebagai hasil deduksi teks dengan
problem faktual yang diinduksikan dari realitas empirik melalui perhitungan
statistik dan ilmu sosial.
8.
Menggambarkan rumusan praktis sebagai langkah akhir proses
penafsiran yang transformatif. Inilah yang dimaksud Hasan Hanafi bahwa
penafsiran berangkat dari realitas menuju teks dan dari teks menuju realitas.
Ini pula yang dia maksud bahwa penafsiran menjadi bentuk perwujudan posisi
sosial penafsir dalam struktur sosial.[17]
Pada
prinsip klasifikasi tematik merupakan prinsip penelitian ilmiah modern. Dengan
kata lain jika salah satu prinsip diabaikan atau bahkan dihilangkan maka akan
menghasilkan penelitian ilmiah yang tidak positif dan memuaskan.[18]
b. Metode takwil
Dalam
studi al-Qur`an, istilah takwil yang dibedakan dengan tafsir, biasanya dipakai
untuk menunjuk pemahaman al-Qur`an yang sifatnya lebih dalam dari makna
literalnya. Secara etimologi ta`wil berasal dari al-awl yang berarti ar-ruju`
ila al-ashli (kembali kepada asal).[19] Secara terminologi takwil berarti membawa ayat kepada makna-makna
lain yang masih mungkin dikandung oleh ayat-ayat tersebut. Dengan kata lain, takwil adalah pengalihan
dari makna literal ke makna lain yang masih mungkin karena adanya qarinah
(indikator)yang menunjukkan pemahaman ke makna yang bersifat esoteris,
metaforis dan kontekstual.[20]
Sejarah
telah mencatat bahwa istilah takwil telah digunakan sejak zaman Nabi, yakni
ketika beliau mendoakan Ibnu Abbas agar diberi kecakapan oleh Allah untuk
mentakwilkan al-Qur`an. pada masa lalu istilah takwil disebut juga sebagai
tafsir dan hal tersebut dianggap sama. Akan tetapi setelah abad V H./XI
M.istilah takwil kemudian dikenal dengan ijtihad bi ar-ra`yi. Konsep
inilah yang dikemudian hari dikenal dengan konsep qiyas. Dan pada abad
yang sama istilah takwil dan tafsir dipertentangkan. [21]
Dugaan
kuat yang ditujukan kepada kelompok-kelompok yang menolak takwil adalah para
ahli nahwu kuno yang mendapat pengaruh dari ahli hadis dan kemudian menjadi
madzhab Dhahiri yaitu aliran madzhab fiqh yang tidak mengakui keabsahan takwil.
Alasan mereka jelas bahwa teks-teks agama sudah sangat jelas, dalam arti makna
teks yang asli adalah makna yang tampak nyata dari teks itu sehingga tidak
perlu ditakwil. Tokoh-tokoh yang menolak takwil adalah Ibnu Hazm, Daud
Ad-Dhahiri, Ibnu Taimiyah. Sejak Abu Hanifah merumuskan takwil yang pertama
kali, takwil yang dulunya berupa metode qiyas kemudian mengalami sofistikasi
teknis melalui berbagai perdebatan selama berabad-abad. Dengan mengalami
perdebatan yang sangat lama itu
menghasilkan dan membentuk metode ini tidak saja canggih tetapi juga melibatkan
teknik-teknik yang cukup detail dengan meggunakan pendekatan linguistik dan
bahkan sains modern.
Al-Quran
sendiri telah banyak menyinggung tentang takwil yang tidak akan diketahui
kecuali oleh Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya (al-rasikuna fil
ilm) seorang penafsir kontemporer Syahrur menyatakan bahwa ta`wil secara
sempurna beserta ditilitas perinciannya hanya diketahui oleh Allah, sedangkan
takwil yang sifatnya bertahap dan temporer hanya dapat dimiliki oleh ahli ilmu
dan itupun secara kolektif atau dalam bentuk kerja sama, bukan sendiri-sendiri
dalam proses penakwilannya.[22]
Terkait
dengan metode pentakwilan diatas, terdapat dua model penakwilan:Pertama, pengubahan
sebagian ayat al-Qur`an menjadi fenomena empiris yang dapat di pahami oleh akal
atau dengan kata lain kesesuaian langsung antara ayat al-Qur`an dengan realitas
objektif, dalam arti wahyu tidak bertentangan dengan akal dan relaitas. Model
ini termasuk dalam jenis takwil indrawi dan takwil yang paling kuat. Kedua,
penggalian dan penelitian terhadap teori-teori ilmiah melalui penakwilan yang
sesuai dengan landasan ilmu pengetahuan yang tersedia.[23]
Syahrur
menjelaskan bahwa sasaran/ objek takwil adalah ayat-ayat mutasyabihat yang
berisi tentang informasi pengetahuan, diferensiasi antara ayat muhkamat
dan mutasyabihat. Prinsip-prinsip metodologi yang dipakai: menguasai
prinsip-prinsip filologi, memahami perbedaan inzal dan tanzil,
melakukan analisis sintagmatik, melakukan cross examination. Sifat dan
hasil takwil; relatif (nisbi)sesuai dengan perkembangan teori ilmu pengetahuan.
Hubungan antara teks akal dan realitas bersifat fungsional dialektis, bukan
struktural herarkis.[24]
c. Metode
hermeneutika dengan pendekatan historisnya
Apa hubunganya hermeneutika dengan tafsir, secara
kebahasaan ada kesamaan pengertian, namun pengertian keduanya melahirkan
pemikiran yang berbeda. Hermeneutika berasal dari yunani kemudian diadopsi oleh
kristen (hermeneutika teks bible),[25]
sementara tafsir berasal dari Islam untuk mengkaji teks suci al-Quran yang
beragam tafsir. Akan tetapi dikalangan para pemikir Islam banyak yang menerima
dan menolak terhadap konsep hermeneutika sebagai pendekatan studi al-Quran,[26] sebenarnya perbedaan didalam menggunakan hermeneutika
tersebut terletak pada metodologi yang digunakan untuk mengkaji terhadap
perkembangan tafsir yang dilakukan oleh pemikir studi Ulumul-Quran. Terbukti
para pemikir Islam klasik masih menyimpan perbedaan penafsiran seputar ontologi
wahyu Tuhan yang dibungkus kedalam bahasa Arab sebagai media komunikasi,
sehingga penafsiran teks al-Quran terus diteliti oleh pemikir Islam kontemporer
dengan pendekatan hermeneutika terutama dalam aspek linguistik dan semiotik.
Hermeneutika sebagai
perangkat prinsip-prinsip penafsiran teks al-Quran yang digunakan oleh pemikir
Islam kontemporer baik mengkaji tentang keIslaman maupun ilmu-ilmu sosial.
Namun kerja mekanisme penafsiran studi al-Quran yang digunakan hanya berposisi
pada relasi teks, pengarang dan pembaca.[27]
Sebenarnya hermeneutika berpijak pada prinsip-prinsip dasar bahwa teks
merupakan ekspresi perangkat lingustik yang mentransformasikan ide pangarang
kepada pembaca. Jadi persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna
teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Karena itu, ada tiga
mekanisme hubungan hermeneutika, yang pertama hubungan pengagas dengan
teks, yang kedua pembaca dengan penggagas dan yang ketiga hubungan
pembaca dengan teks. Namun hubungan kedua dan ketiga menjadi satu bentuk
hubungan, maka hubungan penggagas dengan teks dan pembaca.
Hubungan
Penggagas Dengan Teks
Yang dimaksud hubungan penggagas dengan
teks adalah apakah teks itu menjadi media penyampaian pesan penggagas kepada
audiens, karena teks itu masih terikat dengan penggagas atau teks itu mempunyai
eksistensinya sendiri yang terpisah dan terlepas dari pengagas? Persoalan yang
profan ini menjadi perdebatan panjang dikalangan ahli bahasa, apalagi
menyangkut sesuatu bersifat sakral, hubungan al-Quran sebagai teks dengan Tuhan
sebagai Penggagas. Menyangkut hubungan penggagas dengan teks profan pada
umumnya, paling tidak terdapat tiga bentuk hubungannya.[28]
Pertama,
empiris-posistivisme. Model ini mengandaikan teks menjadi wahana
penyampaian pesan penggagas kepada audiens, tetapi ia mempunyai dunia sendiri
yang terpisah dari penggagas. Karena itu, kebenaran pemahaman atas teks
tergantung pada hubungan teks itu dengan penggagas, melainkan logika internal
bahasa itu sendiri, melalui struktur internal bahasa yang digunakan, baik aspek
sinteksis maupun semantik.
Kedua,
fenomenologis. Berbeda dengan yang pertama, model kedua mengandaikan teks
sebagai media penyampaian pesan subyek kepada audiens. Ia menjadi kongkretisasi
maksud tersembunyi dari subyek yang menyatakannya. Teks dalam konteks ini
bertujuan menciptakan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan
jati diri sang pambaca. Karena itu, untuk mengetahui maksud yang tertuang dalam
teks ini harus dikaitkan dengan penggagasnya, selain struktur internal bahasa
itu sendiri.
Ketiga, pascastrukturalis atau
posmodernis, model ini mengandaikan bahasa bukan semata-mata sebagai media
penyampaian maksud subyek secara jujur, melainkan sebagai media dominasi. Ia
mencurigai adanya "konstelasi kekuatan yang ada dalam proses pembentukan
dan produksi teks", disamping posisi subyek sebagai subyek. Teks menjadi
wacana media dominasi dan kuasa.
Jika teori
penafsiran dikaitkan ke dalam studi al-Quran, maka pertanyaan yang diajukan
menyangkut, apakah Tuhan sebagai pembuat bahasa atau sebagai pengguna,
sementara bahasa al-Quran berasal dari masyarakat Arab. Jika yang pertama
dipilih, maka itu berarti, lafadz dan makna al-Quran barasal dari Tuhan.
Al-Quran segi lafadz dan maknanya bersifat suci atau sakral. Sebaliknya jika
yang kedua yang dipilih, maka yang sakral hanyalah maknanya, sementara
lafadznya tidak dalam posisi sakral. Namun demikian, lafadznya sebagai wadah
pesan tetap harus dihormati.[29]
D.
Aplikasi
Teori ( Mencari format baru menuju pendidikan Ke-Islaman yang santun)
Pada bab ini akan dibahas mengenai
pandangan penulis tentang islam dan keselamatan. Penulis berusaha untuk
menghubungkannya dengan realitas pendidikan di Indonesia. Seiring merebaknya
virus-virus ideologi yang datang dan sangat cepat dan di adopsi oleh generasi
muda terutama pada mereka yang ada pada bangku-bangku sekolah. Pembahasan tentang ke-Islaman tidak secara
langsung mengacu pada tafsir tematik, namun
hanya memanfaatkan sebagian kaidah dari tafsir tematik, tidak secara
utuh layaknya tafsir yang bersifat tematik.
Memaknai Kembali Islam
Menurut
al-Qur`an, Ibrahim adalah orang yang menyebut agama Tuhan dengan kata Islam dan
pemeluknya dengan sebutan muslim. Dikisahkan, Ibrahim setelah berpetualang
panjang yang penuh dengan tantangan. Mulai dari petualangan teologisnya,
meninggalkan keluargadan kampung halamannya, ibrahim mendapat predikat teladan
utama sebagai percontohan orang yang pasrah sepenuhnya terhadap Allah. Meskipun
sudah mendapat gelar sebagai uswatun hasanah namun Ibrahim belum mendaat
gelar sebagai muslim.
Kata
Islam merupakan penyataan kata nama yang berasal dari akar triliteral س ,ل
, Ù…,
dan didapat dari tata bahasa Arab aslama, yaitu bermaksud “untuk
menerima, menyerah atau tunduk.” Dengan demikian, Islam berarti penerimaan dari
dan penundukan kepada Tuhan, namun demikian banyak akar kata islam yang
mempunyai berbagai macam arti dan tergantung dengan huruf-huruf yang
mengikutinya. Akar kata akan senantiasa berubah makna jika bentuk-bentuknya
dirubah seperti yang ada dalam ilmu nah{wu dan s{haraf
.
Menurut
Fazlur Rahman setelah menelusuri makna islam dari akar katanya ia menyimpulkan
makna dasar Islam ialah:a. Memiliki arti damai, b. Memiliki arti utuh, c. Menyerahkan
diri, d. Patuh. Menurutnya perubahan makna yang ada dari akar kata islam
disebabkan karena muncul dalam konteks yang berbeda-beda. suatu contoh kata silm
yang ada pada surat al-Baqarah: 208 memiliki arti damai. Sedangkan kata salam
yang ada pada QS: al-Zumar: 29 memiliki makna utuh, sebagai lawan dari
pemilah-milahan dalam bagian-bagian yang bertentangan. Kata salam dalam
QS: al-Nisa`:91, juga digunakan dalam pengertian damai. Dengan demikian, kata
salam dalam banyak ayat digunakan dalam pengertian damai dan aman, atau
mengucapkan salam.[30]
Pencarian
akar makna ini dianggap penting karena untuk mengetahui perkembangan dari
makna-makna islam yang ada dalam al-Qur`an. Makna islam dalam sebuah kata akan
senantiasa berubah melihat konteks yang dibicarakan (siyaq). Maka untuk
mengetahui lebih lanjut akan dibahas dibwah ini.
Pemilahan Makna Islam
Salah satu model penafsiran teks
al-Quran kontemporer adalah memaknai kembali konsep Islam dalam al-Quran.
Kemudian menerapkan interpretasi yang berbasis pada negosiasi antara makna
awal-obyektif dengan makna signifikansi berkaitan dengan konsep
"Islam" dalam al-Quran.[31]
Selama ini, kita bingungkan oleh pemaknaan yang umum digunakan bahwa Islam
adalah agama yang mengajarkan "kepatuhan total" kepada Tuhan, dalam
artian negatif, tetapi dalam konteks komunikasi kemanusiaan kata itu justru
dipahami sebagai "paksaan" kepada manusia lain untuk mematuhi dan
menjalankan perintah Tuhan secara sukarela atau terpaksa. Dengan kata lain,
bagi penganutnya kata itu digunakan arti negatif, sebagai sikap tunduk secara
total, sebaliknya diartikan secara positif, sebagai tindakan pemaksaan bagi
kelompok lain diluar penganutnya.
Dalam al-Quran, bentuk yang
berkaitan dengan "Islam" berbeda-beda, baik segi kata maupun makna
kata "Islam" dalam al-Quran berakar kata "s-l-m" dan dari
akar kata ini dapat diturunkan berbagai bentuk kata. Akar kata ini berarti
"merasa aman, utuh dan integral".
Karena kata cabang yang diturunkan dari akar kata ini berbeda-beda,
tentunya maknanya juga mengalami perbedaan dan bahkan plural. Dari akar kata
yang berbeda-beda itu, makna kata "Islam" dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yang Pertama, dengan kata "Islam" bermakna
"agama". Kata "Islam" dengan makna ini sebutkan sekitar 50
kali dalam al-Quran, dengan pembagian: 8 kali dengan kata benda, 3 kali dengan
kata sifat laki-laki "muslim", dan 39 kali disebutkan sebagai kata
sifat jamak. Namun, ayat yang menunjukkan kata "Islam" sebagai agama
dikemukakan hanya sebanyak 3 kali.[32]
Yang kedua, dengan akar kata
yang sama dengan Islam sebagai agama, kata cabang dari kata "Islam"
seperti "aslama" dan yang senada dengannya, bermakna ketundukan dan
penyerahan diri, dan ia disebutkan sebanyak 24 kali dalam al-Quran. Kata bentuk
ini bermakna menyerahkan diri seperti aslama wajhahu lillahi yang
berarti "meyerahkan diri", khususnya pada Allah. Pada masa pra Islam,
kata "Islam" berarti seorang laki-laki yang menyerahkan barang
berharga miliknya yang sulit dilepaskan dan tinggalkan, kemudian diserahkan
kepada seseorang yang memintanya.[33]
Setelah masuk ke dalam semantik al-Quran, kata aslama mengalami
perubahan makna, dari yang semula menyerahkan sesuatu kepada orang lain yang
memintanya, beralih menyerahkan sesuatu pada Tuhan. Khususnya menyerahkan diri
sendiri dalam bentuk ibadah.
Yang ketiga, Islam bermakna
kedamaian dengan bentuk kata "salam" yang dalam al-Quran disebutkan
sekitar 157 kali, dengan rincian: berbentuk kata benda sebanyak 79 kali,
sebanyak 50 kali berbentuk kata sifat dan berbentuk kata kerja sebanyak 28
kali. Atau dalam bentuk kata benda sebanyak 129 kali dan kata kerja 28 kali.
Yang perlu diperhatikan dari kata Islam yang bermakna kedamaian ini adalah
mencari argumen kepada bentuk kata "benda" lebih banyak
jumlah-jumlahnya daripada bentuk kata "kerja". Jawaban atas
pertanyaan ini begitu penting mengingat semangat menjalankan ajaran Islam
terdapat di dalamnya. Hal ini tentunya mengandung rahasia tersendiri dari
al-Quran. Menurut Hasan Hanafi, kata benda berarti "substansi",
sedangkan kata kerja berarti "aksi".[34]
Sejalan dengan makna tersebut, kata "salam" dalam al-Quran berarti
merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan secara obyektif dan kreatif. Kedamaian
bukan saja diucapkan, akan tetapi juga direalisasikan ke dalam kehidupan sosial
masyarakat yang plural.[35]
Dengan analisis ini, penempatan
kata "Islam" sebagai agama yang bersifat ekslusif, dalam posisi
sentral semantik al-Quran, tidak dapat dipertahankan secara semantik,
sebaliknya kata "Islam" dalam arti kedamaianlah yang sejatinya
ditempatkan sebagai poros semantik al-Quran. Dengan cara ini, kata
"Islam" dalam pengertian inklusif bakal menjadikan Islam sebagai
penebar kedamaian, bukan penghancur kedamaian. Kesimpulan ini, sejalan dengan
Hadits nabi tentang pengertian seorang muslim "orang Islam adalah orang
yang menyelamatkan orang lain dari lisan dan tangannnya".
Pro kontra konsep
keselamatan dalam beragama
Jika ditelusuri lebih
jauh, memang semua agama mempunyai klaim kebenaran dan jaminan keselamatan.
Dengan kata lain tidak ada agama yang tidak memiliki doktrin keselamatan karena
tanpa klaim seperti itu agama tidak akan bisa disebut sebagai agama. Orang-orang
Yahudi menganut doktrin the chosen people bahwasanya hanya golongan
Yahudi saja yang memperoleh keselamatan. Orang Kristen Protestan mengenal
sebuah doktrin no salvation out side Christianity, diluar Kristen tidak
ada keselamatan. Begitu juga Kristen Katolik dengan salah satu doktrinnya extra
ecclesiam nulla salus, diluar gereja tidak ada keselamatan.
Untuk
melihat lebih jauh akar dari permasalahan dan perbedaan pendapat menyangkut
ahli kitab kembali kita lihat pernyatan al-Qur`an
surat al-Baqarah ayat: 62 dan Ali Imran ayat 113 dan 199. Menurut Rasyid Ridha,
Muhammad Abduh maupun pemikir muslim yang lain,
ayat ini merupakan legitimasi tentang keselamatan yang akan diperoleh
Ahli Kitab. Alasan mendasar yang digunakan oleh para penafsir aliran adalah al-Qur`an
yang secara jelas mengakui keabsahan agama wahyu. Hal ini dapat dilihat dari
sikap al-Qur`an menerima keberadaan
kehidupan religius kelompok-kelompok agama lain, menghormati praktik-praktik
keagamaan lain pada masa awal islam. Sikap al-Quran pada Ahli Kitab dapat
dijadikan pijakan mereka memperoleh keselamatan lewat jalur lain.
Keselamatan adalah hak setiap orang yang
beriman dan berbuat kebaikan. Para penafsir memandang seseorang yang
jelas-jelas dalam koridor keimanan monoisme dan berbuat baik akan selamat tanpa
memandang mereka berangkat dari agama apapun. Menafsirkan konsep al-naja<h{
Ridha, berusaha menganalisis dan menafsirkan
lebih dalam pada QS: Maryam: 72 tentang tindakan Tuhan yang dilakukan oleh kaum
dari para nabi. Pengingkaran bukan hanya berupa ejekan yang dilakukan oleh kaum
para nabi yang berupa ejekan dan cemoohan kepada kenabian, tetapi yang lebih
utama adalah pengingkaran keimanan yang monoistik kepada Tuhan dan kepada hari
akhir. Melihat konteks ayat ini mereka yang beriman dan beramal shalih akan
memperoleh keselamatan di akhirat,
sedangkan mereka yang ingkar dan berbuat kerusakan di bumi akan
memperoleh siksa di neraka.[36]
Dalam perbedaan klaim keselamatan,
setidaknya harus ada pengambilan sikap. Raimundo Panikar memberikan penjelasan
untuk memahami agama-agama orang lain secara komprehensif, kita harus memahami
ajaran agama melalui bahasa asli. Kita tidak bisa mengabaikan
perbedaan-perbedaan yang ada dalam masing-masing agama. menurutnya ada tiga
sikap keagamaan
Pertama, eksklusif yang
memandang bahwa keselamatan hanya dimiliki oleh agama tertentu.
Kedua, inklusif yang
memandang bahwa para pemeluk agama diluar islam bisa memperoleh keselamatan.
Misrawi menyatakan bahwa inklusivisme meniscayakan adanya pemahaman bahwa agama
lain memiliki kesamaan-kesamaan sehingga ada keinginan untuk mencari titik temu
agama-agama.[37]
Ketiga, pluralisme secara
subtansial termanifestasi dalam sikap untuk saling mengakui sekaligus
menghargai, menghormati, memelilhara dan bahkan mengemangkan atau memperkaya
keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak.[38]
Guru-guru
agama yang menjadi ujung tombak pendidikan agama nyaris tidak tersentuh oleh
gelombang pergumulan diskursus pemikiran seputar agama. Guru seharusnya
memperoleh akses input serta informasi yang cukup akurat dan tepat mengenai
kepelikan dan kompleksitas kehidupan beragama dalam era kemajemukan dan
selanjutnya mampu memberikan alternatif-alternatif pemecahan yang menyejukkan.
Lebih-lebih dapat mengemas ulang pesan-pesan dan nilai-nilai agama yang mereka
peluk dalam era pluralitas. Maka, anak didik dari sejak dini dapat diantarkan
untuk memahami perbedaan(bukan menegasikan dan menolaknya), menghargai serta
menghormati kepercayaan orang lain, bukan malah membenci dan memusuhinya.
Sehingga pada saatnya nanti mereka dapat mengambil sikap dalam menghadapi
realitas pluralitas agama, budaya, ras, suku, dan golongan secara lebih arif,
santun, matang dan dewasa.[39]
Guru
agama seharusnya dapat mengemas ulang nilai-nilai agama yang ada, dengan tanpa
menampilkannya dengan bahasa formalitas ke-Araban. Namun dapat menampilkannya
dalam bahasa budaya setempat. Dalam ruang kelas yang multi agama, menampilkan
nilai-nilai agama dengan bahasa budaya setempat akan menimbulkan hal sangat
positif. Seorang siswa secara tidak sadar akan melaksanakan nilai-nilai agama
tanpa harus masuk pada wilayah legalitas formal keagamaan atau dalam arti lain
membahasakan agama dengan bahasa yang nyata.[40]
Namun hal ini masih jarang terjadi, kebanyakan guru-guru agama menampilkan
nilai-nilai universalitas keagamaan dengan bahasa ke-Araban dan membawa bentuk
legal formal suatu ajaran.
E. Penutup
al-Qur`an adalah
kitab Allah yang diturunkan kepada umat manusia dan dapat masuk kedalam ruang
kehidupan serta akan berlaku untuk selamanya. Namun, seseorang tidak bisa
secara langsung mengenyam apa yang ada didalam al-Qur`an. Karena, konteks yang
ada pada saat al-Qur`an jelas berbeda dengan apa yang dialami oleh manusia saat
ini. Maka al-Qur`an perlu di pahami ulang serta ditafsirkan kembali dengan
berbagai macam metode dan pendekatan. Namun metode dan pendekatan yang ada
sudah barang tentu tidak bisa kita terapkan semuanya dalam penafsiran al-Qur`an. sebagai penganut
agama yang salih dan cerdas lebih utama apabila kita menggunakan metode dan
pendekatan penafsiran yang sesuai dengan the nature of the Qur`an sebagai
wahyu allah SWT. Wallahu a`lam.
[1]Quraiys Shihab,
Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, volume 1, (Jakarta: Lentera Hati , 2000), hlm. X V
[2] Lihat
al-Qur`an dan Terjemahannya Depag RI. Surat Luqman ayat 27.
[3]Baca Khaled
Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke
fikih Otoritatif. Terj. Cecep Lukman Hakim, (Jakarta : Serambi, 2004), hlm. 25 - 45.
[4]Toshihiko Izutzu, Relasi Tuhan Dan Manusia, Pendekatan Semantik Terhadap al-Qur’an, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997, hlm. 171-173.
[5]Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an, Kritik Terhadap
Ulumul Qur’an,, Yogyakarta: LKis, 2003, hlm.
30.
[6]Definisi wahyu adalah sebuah
hubungan komunikasi antara dua pihak yang mengandung pemberian informasi pesan
secara samar dan rahasia. Oleh karena itu pemberian informasi dalam proses
komunikasi dapat berlangsung apabila melalui kode tertentu maka dapat
dipastikan bahwa konsep kode melekat di dalam konsep wahyu. Ibid,,, hlm.
31.
[7]Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al- Qur’an,, hlm.
54-55.
[8]Hasan Hanafi, Hermenetika al-Qur’an, Yogyakarta:
Nawesea Press, 2009, hlm. 5.
[9]Penulis mengambil sebagian dari
ayat Tuhan yang berbunyi: “Sesungguhnya
kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa arab agar kamu memahaminya”
(Qs. Yusuf: 2) dan lihat, Muhammad Ata Al-Sid, Sejarah Kalam Tuhan, Jakarta: Teraju,
2004, hlm. 86.
[10]Arkoun menulis, Mushaf diangkat
pada status korpus Resmi yang ditutup menurut prosedur-prosedur yang
dikembangkan dan dibimbing oleh sarjana-sarjana: Resmi, karena teks-teks ini
sebagai akibat dari seperangkat keputusan yang diambil oleh “otoritas-otoritas”
yang diakui oleh komunitas: Tertutup, karena tidak seorang-pun diperkenankan
untuk menambah atau mengurangi kata-kata, memodifikasi suatu bacaan dalam
korpus yang sekarang dinyatakan otentik, Lihat Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer, hlm 59, dan lihat,
Aksin Wijaya, Studi Ulum al-Qur’an, Memburu Pesan Tuhan Dibalik Fenomena Budaya,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 91.
[11]Sesungguhnya sebagian ulama
berbeda perdapat tentang bacaan dalam shalat dengan menggunakan bahasa persi
dan perbedaan itu terjadi pada Imam Abu hanifah dengan dua sahabatnya. Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa al-Qur’an hanyalah nama bagi sebuah makna, sebaliknya
dua sahabatnya berpendapat bahwa al-Qur’an meliputi lafadz dan makna. Dengan
pendapatnya ini, Imam Abu Hanifah membolehkan memakai bahasa selain dari bahasa
arab dalam menggunakan shalat, sedangkan dua sahabat tidak membolehkannya. Ibid,,
hlm. 25-26.
[12] Umar shihab, Kontekstualitas al-Qur`an: Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat
Hukum dalam al-Qur`an Jakarta: Penamadani, 2005. hlm.13.
[18] Muhammad Syahrur, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Kontemporer,
Yogyakarta: Elsaq, 2007. hlm. 259.
[19] Baca: Mana`Khalil Qattan, Mabahis fi `ulum al-Qur`an,Beirut: Muassat
al-Riyadh, 1993 hlm.225. Muhammad
Hadi Makrifat, Al-takwil fi mukhtalifilmadzahib wa al-ara, Teheran:
al-Jam`ul alami, 2006. hlm. 9.
[20]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer.,hlm.209.
[25] Baca: Syahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur`an, Yogyakarta:
Nawesea Press, 2009. hlm.11-12
[26]Ada tiga kelompok pemikir dalam
menyikapi penggunaan hermeneutika dalam studi al-Quran: kelompok yang menolak,
kelompok yang menerima tanpa reserver, dan kelompok yang menerima dengan
catatan. Kelompok yang pertama, menolak penggunaan hermeneutika dalam studi
al-Quran dengan alasan hermeneutika berasal dari tradisi yunani kemudian
diadopsi oleh Kristen. Pandangan dunia yang melahirkan hermeneutika berbeda
dengan pandangan dunia Islam. Kelompok yang kedua menerima secara
mentah-mentah dan bahkan penggunaan hermeneutika apa saja kedalam studi
al-Quran tanpa memilah-milah model hermeneutika yang membawa manfaat dan tidak
dalam studi al-Quran. Mereka berkeyakinan dari manapun datangnya sesuatu,
selama ia membawa manfaat bagi umat Islam harus diambil. Kelompok yang ketiga,
muncul mengambil jalan tengah sebagai alternatif dari sikap ekstrim diatas.
Kelompok ini mengambil teori hermeneutika tertentu guna mendukung upaya
mengungkap pesan ilahi tanpa mengesampingkan keilahian al-Quran. Lihat, Aksin
Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Quran,,,, hlm. 176-177.
[27]Relasi teks dengan pengarang dan
pembaca, ada dua aspek yang memiliki subyek penafsiran, yang pertama
rekonstruksi subyektif historis yakni memperlakukan teks sebagai produk diri
pribadi. Sedangkan yang kedua, yaitu subyektif strukturalis, yakni
mendefinisikan cara-cara proses penulisan berpengaruh terhadap berbagai ide
internal pengarang. Lihat, Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif,
Mengatasi Problematika Bacaan Dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan.
Jakarta: ICIP, 2004, hlm. 17.
[28]Aksin Wijaya, Arah Baru Studi
Ulmul al-Quran, Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 183
[31]Kendati meyakini apa yang ada
pada kita saat ini adalah al-Quran, dan makna yang dikandungnya berbeda dengan
al-Quran. Namun didalam hal ini, istilah keduanya tetap akan digunakan secara
acak. Sebab kedua bahkan ketiga nama itu; wahyu, al-Quran dan mushaf usmani, telah lumrah disematkan
pada wahyu Tuhan. Karena itu, saya tetap meyakini, bahwa muatan ketiga nama itu
berbeda dan memuat pesan yang berbeda pula. Sementara obyek yang menjadi
interpretasi saya dan kita pada umumnya adalah mushaf usmani yang didalamnya
telah tercampur antara makna yang dimasudkan Tuhan dengan makna yang dimiliki
masyarakat arab sebagai pemilik bahasa arab.
[32]"Sesungguhnya agama yang
diridhai disisi Allah hanyalah Islam", (QS. Ali-Imran:19); "Barang
siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
agama itu daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
" (QS. Ali-Imran: 85); dan "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan
untuk agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agamamu, " (QS. al-Maidah: 3).
[33]Tosihiku Izutsu, Relasi Tuhan
Dan Manusia,, hlm. 221.
[34]Hasan Hanafi, Agama,
Kekerasan, Dan Islam Kontemporer, Yagyakarta: Jendela Grafika, 2001, hlm.
127.
[35]Senada dengan kata "salam"
dalam arti kedamaian adalah kata "silm". "Hai Orang-oarang
yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam (al-Silmi) secara menyeluruh," (QS. al-Baqarah: 208).
[36] Rasyid Ridha, Tafsir
al-Qur`an al-Haki>m, Jilid IV, hlm. 257.
[37]Zuhairi
Misrawi, Al-Qur`an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme, (Jakarta:Fitrahdan P3M, 2007), hlm. 205.
[38]Kautsar Ashari
Noer,”Menyemarakkan Dialog Agama,
(Perspektif Kaum Sufi)” dalam A. Edi Efendi (ed), Deskontruksi Islam Madzhab Ciputat (Bandung:
Zaman Wacana Mulia, 1999), hlm. 87. Alwi Shihab, “Nilai-Nilai Pluralisme
Dalam Islam, Sebuah Pengantar” dalam Sururin (ed), Nilai-Nilai
Pluralisme Dalam Islam, Bingkai Gagasan Yang Berserak, (Bandung: Nuansa, 2006), hlm. 17.
[39] M.Amin
Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multirelegius (Jakarta:
PSAP, 2005), hlm. 132-133.
[40] Dr. Noorhaedi,
disampaikan pada seminar “ Kontra Terorism, Deradikalisasi dan HAM” di Gedung Convention Hall Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, tgl 22 juni 2011 baca: Agus Nuryatno,mencari format paradigma pendidikan agama. Kompas. 12 januari 2012..