Sunday, March 10, 2013

tafsir


Berbagai Metode dan Pendekatan Tafsir
(Usaha Mencari format baru menuju Pendidikan agama yang santun)
Oleh: Zainur Rofik
A.  Pendahuluan
Al-Qur`an hadir ketengah-tengah kaumnya dengan menggunakan bahasa Arab. Karena itu, maka seluruh bangsa Arab akan paham dengan bahasa al-Qur`an tanpa harus berpikir panjang. Dari pernyataan diatas dapat dikatakan bahwa kemampuan dalam berbahasa Arab menjadi salah satu syarat dalam memahami al-Qur`an. Oleh karena itu bahasa menyimpan fenomena kajian yang sangat multi dimensi. Lebih-lebih al-Qur`an, yang sekarang telah berubah wujud menjadi tulisan merupakan fenomena linguistik yang syarat dengan berbagai macam kajian.
Sangat menarik apa yang telah disampaikan oleh Quraisy Shihab. Tafsir menurutnya adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai kemampuan manusia. Sedangkan kemampuan manusia itu bertingkat-tingkat  dalam menganalisa dan mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda, sehingga kualitas pesan yang ditemukan dari Al-Qur`an juga berbeda-beda. Perbedaan budaya akan sangat mempengaruhi makna penafsian yang dilakukan oleh seseorang. Karena itu, menurut Quraisy Shihab, semakin sering mufassir membaca al-Qur`an akan semakin banyak makna pesan yang ditemukan. Shihab menggambarkan”ayat-ayat al-Qur`an bagaikan intan yang tiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dari sudut yang lainnya. Dan tidak mustahil apabila kita mempersilahkan orang lain untuk memandangnya dari sudut lainnya, maka ia akan melihat banyak dibanding  apa yang kita lihat.[1]
Dapat diambil kesimpulan dari analogi diatas bahwa al-Qur`an memiliki kekayaan makna dan pesan sebagai wahyu Tuhan. Sehingga dalam sebuah firmannya disebutkan walaupun lautan dijadikan tinta untuk menulis wahyu tuhan niscaya tidak akan habis  untuk di tulis dan lautan menjadi kering kerontangan.[2] Ini menggambarkan bahwa dalam penafsirannya al-Qur`an akan menjadi sumber yang tiada habisnya untuk diserap maknanya dari siapapun, sehingga dimungkinkan setiap mufassir dapat memetik sebuah makna yang tidak dapat ditangkap oleh mufassir lainnya. Terlepas dari kebenaran pernyataan tersebut sejatinya mengandung pelajaran bahwa tidak ada tafsir yang tunggal apalagi sakral. 
Munculnya berbagai corak penafsiran menunjukkan bahwa penafsiran harus tetap berjalan dan tidak boleh berhenti. Sehingga selalu membuka kemungkinan penafsiran dan menerima perbedaan penafsiran. Di dunia Islam sendiri muncul gerakan menyeregamkan penafsiran terhadap al-Qur`an. Sehingga mereka menolak upaya penafsiran dengan menggunakan metode baru yang berkembang, terutama dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Ada juga  gerakan penafsiran yang melakukan penafsiran secara sewenang-wenang (otoriter) yaitu dengan menafsirkan teks dan menyajikan kesimpulan makna tersebut sebagai sesuatu yang sudah pasti, absolut. Dengan bahasa lain penafsir bertindak sebagai ahli tafsir yang paling otoritatif.[3]
B.  Pergulatan dalam penafsiran al-Qur`an
Sentral perbedaan dan perdebatan dalam menafsirkan teks yang dilontarkan oleh pemikir Islam klasik hanya berkisar pada konsep tentang ontologi wahyu Tuhan, disini ada perbedaan pandangan mengenai istilah wahyu. Menurut Izutsu Wahyu merupakan salah satu kata yang kerap kali digunakan dalam sya’ir Pra Islam dan juga digunakan dalam Islam.[4] Sedangkan dari segi bahasa, kata wahyu banyak arti, akan tetapi di dalam kamus Lisanul Arbiy, juga memasukkan makna-makna lain seperti, “ilham, isyarat, tulisan dan kalam” kedalam kata wahyu,[5] dengan definisi wahyu sebagai dua komunikasi yang samar dan rahasia.[6] Sementara wahyu sendiri meliputi aspek komunikasi yang tersebumbunyi dan melibatkan aspek ketuhanan dengan menggunakan bahasa transendental, sedangkan unsur-unsur wahyu yang terlibat aktif adalah bahasa komunikasi, kata-kata tersebut berarti mengandung nilai-nilai rahasia untuk terlibat didalam pesan komunikasi. maka dalam teori komunikasi ada tiga unsur yaitu komunikator, komunikan dan media. [7]
 Al-Quran sendiri adalah bahasa oralitas yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab sebagai alat media. Menurut Hasan Hanafi bahwa al-Quran adalah kitab yang ditulis oleh bahasa tertentu yaitu bahasa Arab.[8] Al-Quran merupakan wahyu Tuhan yang tidak terikat pada ruang dan waktu, yang diberikan kepada Muhammad untuk disampaikan kepada umatnya agar dapat dimengerti dan dipahami sesuai dengan bahasa kaumnya,[9]Al-Quran diresmikan menjadi pedoman yang dibukukan oleh khalifah Ustman bin Affan dan dijadikan pegangan umat Islam sampai sekarang, al-Quran sebagai mushaf Ustmani atau bahasanya Arkoun di sebut dengan kitab “Korpus Resmi Tertutup”.[10]
 Ada perbedaan pandangan dari pemikir Islam klasik dalam memahami mushaf ustmani (al-Quran) mengenai status ontologi wahyu Tuhan, Wahyu Tuhan (al-Quran) berada di lauhul mahfudz baik dari segi makna ataupun lafadznya, sedangkan pada sisi yang lain bahwa al-Quran adalah maknanya saja, sedangkan lafadznya hasil kreasi manusia. Pendapat yang pertama bahwa makna dan lafadznya mutlak dari Tuhan yang telah disampaikan Jibril kepada Muhammad dan apa yang Tuhan janjikan untuk dipelihara adalah dua unsur tersebut, yang kedua telah dimotori oleh Imam Abu Hanifah bahwa al-Quran sebagai Wahyu yang Qath’i, maka hanya maknanya dari Tuhan sedangkan lafadznya dari Muhammad. Dengan pandangan Imam Abu Hanifah membolehkan penerjemahan bahasa masyarakat yang bersangkutan didalam melakukan shalat sebagai ganti dari bahasa Arab al-Quran.[11]   
C.  Ragam metode dan pendekatan penafsiran
a.    Metode Tematik
Ikhtiar memahami tema-pertema dari ayat ayat-ayat yang memiliki semangat yang sama dalam struktur makna yang lebih universal (umum) tanpa dilema persialis ( khusus), agar makna masing-masing ayat tidak dalam posisi saling berbenturan satu dengan yang lainnya adalah suatu kemestian.  Dari sinilah kajian tematik perlu diangkat. Dalam banyak kasus ternyata dilema itu sangat mudah ditemukan. Ayat mengenai waris misalnya kaum laki-laki dibanding kaum perempuan dua berbanding satu, hal tersebut mengindikasikan bahwa status sosial lelaki dalam struktur sosial kemasyarakatan masih berada satu tingkat diatas kaum  wanita.[12]
Implikasi sosial dari masalah tersebut adalah terwujudnya pembagian waris yang tidak seimbang diatas. Padahal dalam kenyataannya pada dunia modern masyarakat telah diperlihatkan bukti nyata bahwa kaum wanita tekadang jauh lebih besar peranan dan tanggung jawabnya dibandingkan kaum lelaki. Ini merupakan sesuatu yang kontradiktif karena sebagaimana diketahui, lelaki ditempatkan oleh al-Qur`an sebagai pemimpin bagi kaum wanita. Dalam ayat lain juga dijelaskan bahwa semua manusia memiliki kedudukan yang sama dalam strata sosial.  Perbedaan yang paling mendasar dalam kehidupan mereka adalah hanya pada kualitas ketakwaan.[13]
Dilema seperti ini bisa ditemukan jalan keluarnya kalau kajian al-Qur`an tidak berjalan secara hitam putih (tekstual) melainkan ditingkatkan kajiannya ke struktur berpikirnya yang lebih tematik. Kajian tematik al-Qur`an akan mempertautkan kita dengan situasi dan kondisi kesejarahan suatu ayat.  Bahkan melalui kajian tematik pula kitapun akan tahu, al-Qur`an tidak diturunkan dalam situasi dan kondisi tertentu saja, melainkan juga untuk semua situasi dan kondisi.[14]
Bagi Fazlur Rahman untuk memahami kandungan ayat al-Qur`an secara utuh dan komprehensif bisa dengan menggunakan metode tematik. Metode inilah yang ditawarkan oleh Rahman dalam menafsirkan al-Qur`an. Ada beberapa alasan sehingga Rahman menggunakan   metode ini.
Pertama, sedikit sekali usaha yang dilakukan dari para penafsir untu memahami al-Qur`an sebagai satu kesatuan. Selama ini kaum muslim belum pernah membicarakan secara adil masalah-masalah mendasar mengenai metode penafsiran al-Qur`an. Selain itu terdapat kesalahan umum dalam memahami keterpaduan al-Qur`an, sehingga ia sering dipahami secara atomistik dan parsial. Metode tematik dapat dikatakan sebagai metode yang cukup menjanjikan dalam memahami al-Qur`an secara komprehensif dan holistik yang benar-benar dideduksi dari al-Qur`an.[15]
Kedua, dengan berjalannya waktu, sudut pandang yang berbeda dan pemikiran yang dimiliki sebelumnya (baca: pra konsepsi) oleh mufassir cenderung lebih menjadi objek penilaian bagi pemahaman yang baru dari pada menjadi bantuan untuk memahami al-Qur`an. Dengan kata lain, prior texts(pra konsepsi) cnderung membawa kearah subjektivitas penafsir yang berlebihan. Meskipun dalam produk tafsir seperti ini tidak diragukan akan mampu menghasilkan pandangan yang  mendalam, namun gagasan itu tidak diambil dari al-Qur`an itu sendiri. Dari sinilah metode tematik dapat mengontrol bias-bias ideologi yang dipaksakan dalam penafsiran al-Qur`an. Sebab, akurasi penafsiran al-Qur`an dapat dilacak dengan mempertimbangkan struktur logis dan hubungan ayat-ayat yang setema yang sedang menjadi objak kajian. Dengan begitu, gagasan-gagasan non Qur`ani dalam penafsiran al-Qur`an akan dapat dieliminasi sedimikian rupa.[16]
Metode penafsiran tematik adalah sebuah upaya untuk memahami ayat-ayat al-Qur`an dengan memfokuskan pada tema yang telah ditetapkan dengan mengkaji secara serius tentang ayat-ayat yang terkait dengan tema tersebut. Topik inilah yang  merupakan ciri dari metode tematik (mawdhui). Langkah –langkah dalam tafsir tematik difrumuskan oleh al-Farmawi dan Hasan Hanafi. Al-Farmawi merumuskan tujuh langkah metodis dalam penafsiran tematik sebagai berikut:
1.      Menetapkan masalah yang akan dibahas
2.      Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Dengan kata lain seorang mufassir harus memilih  objek penafsiran, yaitu satu tema atau istilah tertentu dan mengumpulkan ayat-ayat yang bertalian denga tema tersebut.
3.      Menyusun runtutan ayat secara kronologis sesuai urutan pewahyuannya  serta pemahaman tentang konteks turunnya ayat (asbab al-nuzul). Setelah itu seorang mufassir mengkaji tema-tema tersebut dalam konteks kesejarahan al-Qur`an, pra al-Qur`an dan pada saat al-Qur`an diturunkan.
4.      Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam korelasi suratnya masing-masing.
5.      Menyusun pembahasan dalam kerangka yang  sempurna
6.      Melengkapi dengan hadis hadis yang relevan.
7.      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang amm dan khas, yang mutlak dan muqayyad , atau yang  secara lahiriyah tampak bertentangan sehingga dapat bertemu dalam satu muara.
Sementara itu Hasan Hanafi, membuat delapan langkah metodis yang harus dilakukan dalam penafsiran tematis yang agak sedikit berbeda dengan rumusan al-Farmawi. Delapan langkah metodis sebagai berikut:
1.      Seorang mufassir harus secara sadar mengetahui dan merumuskan komitmennya terhadap problem sosial politik tertentu. Dengan kata lain, setiap penafsiran yang muncul harus dilandasi keprihatinan-keprihatinan tertentu atas kondisi kontemporernya.
2.      Perlu bercermin pada proses lahirnya teks al-Qur`an yang didahului  oleh realitas, dan dia juga harus merumuskan tujuan penafsirannya. Sebab itu, tidak mungkin seorang mufassir memulai kegiatannya dengan tanpa kesadaran akan apa yang ingin dicapainya.
3.      Harus dapat menginventarisasikan ayat-aat yang terkait dengan tema yang menjadi komitmennya.
4.      Menginventarisasi bentuk-bentuk linguistik atau bahasa untuk kemudian diklasifikasikan atas dasar bentuk-bentuk linguistik sebagai landasan bagi langkah kelima, yaitu membangun struktur makna  yang tepat dengan sasaran yang dituju
5.       Membangun struktur makna yang tepat dengan sasaran yang dituju sehingga makna dan objek yang dituju menjadi satu kesatuan.
6.      Melakukan analisis terhadap problem faktual dalam situasi empirik ( realitas) yang dihadapi penafsir, misalnya isu kemiskinan, penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
7.      Membandingkan struktur ideal sebagai hasil deduksi teks dengan problem faktual yang diinduksikan dari realitas empirik melalui perhitungan statistik dan ilmu sosial.
8.      Menggambarkan rumusan praktis sebagai langkah akhir proses penafsiran yang transformatif. Inilah yang dimaksud Hasan Hanafi bahwa penafsiran berangkat dari realitas menuju teks dan dari teks menuju realitas. Ini pula yang dia maksud bahwa penafsiran menjadi bentuk perwujudan posisi sosial penafsir dalam struktur sosial.[17]
Pada prinsip klasifikasi tematik merupakan prinsip penelitian ilmiah modern. Dengan kata lain jika salah satu prinsip diabaikan atau bahkan dihilangkan maka akan menghasilkan penelitian ilmiah yang tidak positif dan memuaskan.[18]
b.      Metode takwil
Dalam studi al-Qur`an, istilah takwil yang dibedakan dengan tafsir, biasanya dipakai untuk menunjuk pemahaman al-Qur`an yang sifatnya lebih dalam dari makna literalnya. Secara etimologi ta`wil berasal dari al-awl yang berarti ar-ruju` ila al-ashli (kembali kepada asal).[19] Secara terminologi takwil berarti membawa ayat kepada makna-makna lain yang masih mungkin dikandung oleh ayat-ayat tersebut.  Dengan kata lain, takwil adalah pengalihan dari makna literal ke makna lain yang masih mungkin karena adanya qarinah (indikator)yang menunjukkan pemahaman ke makna yang bersifat esoteris, metaforis dan kontekstual.[20]
Sejarah telah mencatat bahwa istilah takwil telah digunakan sejak zaman Nabi, yakni ketika beliau mendoakan Ibnu Abbas agar diberi kecakapan oleh Allah untuk mentakwilkan al-Qur`an. pada masa lalu istilah takwil disebut juga sebagai tafsir dan hal tersebut dianggap sama. Akan tetapi setelah abad V H./XI M.istilah takwil kemudian dikenal dengan ijtihad bi ar-ra`yi. Konsep inilah yang dikemudian hari dikenal dengan konsep qiyas. Dan pada abad yang sama istilah takwil dan tafsir dipertentangkan. [21]
Dugaan kuat yang ditujukan kepada kelompok-kelompok yang menolak takwil adalah para ahli nahwu kuno yang mendapat pengaruh dari ahli hadis dan kemudian menjadi madzhab Dhahiri yaitu aliran madzhab fiqh yang tidak mengakui keabsahan takwil. Alasan mereka jelas bahwa teks-teks agama sudah sangat jelas, dalam arti makna teks yang asli adalah makna yang tampak nyata dari teks itu sehingga tidak perlu ditakwil. Tokoh-tokoh yang menolak takwil adalah Ibnu Hazm, Daud Ad-Dhahiri, Ibnu Taimiyah. Sejak Abu Hanifah merumuskan takwil yang pertama kali, takwil yang dulunya berupa metode qiyas kemudian mengalami sofistikasi teknis melalui berbagai perdebatan selama berabad-abad. Dengan mengalami perdebatan yang  sangat lama itu menghasilkan dan membentuk metode ini tidak saja canggih tetapi juga melibatkan teknik-teknik yang cukup detail dengan meggunakan pendekatan linguistik dan bahkan sains modern.
Al-Quran sendiri telah banyak menyinggung tentang takwil yang tidak akan diketahui kecuali oleh Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya (al-rasikuna fil ilm) seorang penafsir kontemporer Syahrur menyatakan bahwa ta`wil secara sempurna beserta ditilitas perinciannya hanya diketahui oleh Allah, sedangkan takwil yang sifatnya bertahap dan temporer hanya dapat dimiliki oleh ahli ilmu dan itupun secara kolektif atau dalam bentuk kerja sama, bukan sendiri-sendiri dalam proses penakwilannya.[22]
Terkait dengan metode pentakwilan diatas, terdapat dua model penakwilan:Pertama, pengubahan sebagian ayat al-Qur`an menjadi fenomena empiris yang dapat di pahami oleh akal atau dengan kata lain kesesuaian langsung antara ayat al-Qur`an dengan realitas objektif, dalam arti wahyu tidak bertentangan dengan akal dan relaitas. Model ini termasuk dalam jenis takwil indrawi dan takwil yang paling kuat. Kedua, penggalian dan penelitian terhadap teori-teori ilmiah melalui penakwilan yang sesuai dengan landasan ilmu pengetahuan yang tersedia.[23]
Syahrur menjelaskan bahwa sasaran/ objek takwil adalah ayat-ayat mutasyabihat yang berisi tentang informasi pengetahuan, diferensiasi antara ayat muhkamat dan mutasyabihat. Prinsip-prinsip metodologi yang dipakai: menguasai prinsip-prinsip filologi, memahami perbedaan inzal dan tanzil, melakukan analisis sintagmatik, melakukan cross examination. Sifat dan hasil takwil; relatif (nisbi)sesuai dengan perkembangan teori ilmu pengetahuan. Hubungan antara teks akal dan realitas bersifat fungsional dialektis, bukan struktural herarkis.[24]

c.       Metode hermeneutika dengan pendekatan historisnya
Apa hubunganya hermeneutika dengan tafsir, secara kebahasaan ada kesamaan pengertian, namun pengertian keduanya melahirkan pemikiran yang berbeda. Hermeneutika berasal dari yunani kemudian diadopsi oleh kristen (hermeneutika teks bible),[25] sementara tafsir berasal dari Islam untuk mengkaji teks suci al-Quran yang beragam tafsir. Akan tetapi dikalangan para pemikir Islam banyak yang menerima dan menolak terhadap konsep hermeneutika sebagai pendekatan studi al-Quran,[26] sebenarnya perbedaan didalam menggunakan hermeneutika tersebut terletak pada metodologi yang digunakan untuk mengkaji terhadap perkembangan tafsir yang dilakukan oleh pemikir studi Ulumul-Quran. Terbukti para pemikir Islam klasik masih menyimpan perbedaan penafsiran seputar ontologi wahyu Tuhan yang dibungkus kedalam bahasa Arab sebagai media komunikasi, sehingga penafsiran teks al-Quran terus diteliti oleh pemikir Islam kontemporer dengan pendekatan hermeneutika terutama dalam aspek linguistik dan semiotik.
            Hermeneutika sebagai perangkat prinsip-prinsip penafsiran teks al-Quran yang digunakan oleh pemikir Islam kontemporer baik mengkaji tentang keIslaman maupun ilmu-ilmu sosial. Namun kerja mekanisme penafsiran studi al-Quran yang digunakan hanya berposisi pada relasi teks, pengarang dan pembaca.[27] Sebenarnya hermeneutika berpijak pada prinsip-prinsip dasar bahwa teks merupakan ekspresi perangkat lingustik yang mentransformasikan ide pangarang kepada pembaca. Jadi persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Karena itu, ada tiga mekanisme hubungan hermeneutika, yang pertama hubungan pengagas dengan teks, yang kedua pembaca dengan penggagas dan yang ketiga hubungan pembaca dengan teks. Namun hubungan kedua dan ketiga menjadi satu bentuk hubungan, maka hubungan penggagas dengan teks dan pembaca.
Hubungan Penggagas Dengan Teks
Yang dimaksud hubungan penggagas dengan teks adalah apakah teks itu menjadi media penyampaian pesan penggagas kepada audiens, karena teks itu masih terikat dengan penggagas atau teks itu mempunyai eksistensinya sendiri yang terpisah dan terlepas dari pengagas? Persoalan yang profan ini menjadi perdebatan panjang dikalangan ahli bahasa, apalagi menyangkut sesuatu bersifat sakral, hubungan al-Quran sebagai teks dengan Tuhan sebagai Penggagas. Menyangkut hubungan penggagas dengan teks profan pada umumnya, paling tidak terdapat tiga bentuk hubungannya.[28]
Pertama, empiris-posistivisme. Model ini mengandaikan teks menjadi wahana penyampaian pesan penggagas kepada audiens, tetapi ia mempunyai dunia sendiri yang terpisah dari penggagas. Karena itu, kebenaran pemahaman atas teks tergantung pada hubungan teks itu dengan penggagas, melainkan logika internal bahasa itu sendiri, melalui struktur internal bahasa yang digunakan, baik aspek sinteksis maupun semantik.
Kedua, fenomenologis. Berbeda dengan yang pertama, model kedua mengandaikan teks sebagai media penyampaian pesan subyek kepada audiens. Ia menjadi kongkretisasi maksud tersembunyi dari subyek yang menyatakannya. Teks dalam konteks ini bertujuan menciptakan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pambaca. Karena itu, untuk mengetahui maksud yang tertuang dalam teks ini harus dikaitkan dengan penggagasnya, selain struktur internal bahasa itu sendiri.
 Ketiga, pascastrukturalis atau posmodernis, model ini mengandaikan bahasa bukan semata-mata sebagai media penyampaian maksud subyek secara jujur, melainkan sebagai media dominasi. Ia mencurigai adanya "konstelasi kekuatan yang ada dalam proses pembentukan dan produksi teks", disamping posisi subyek sebagai subyek. Teks menjadi wacana media dominasi dan kuasa.
Jika teori penafsiran dikaitkan ke dalam studi al-Quran, maka pertanyaan yang diajukan menyangkut, apakah Tuhan sebagai pembuat bahasa atau sebagai pengguna, sementara bahasa al-Quran berasal dari masyarakat Arab. Jika yang pertama dipilih, maka itu berarti, lafadz dan makna al-Quran barasal dari Tuhan. Al-Quran segi lafadz dan maknanya bersifat suci atau sakral. Sebaliknya jika yang kedua yang dipilih, maka yang sakral hanyalah maknanya, sementara lafadznya tidak dalam posisi sakral. Namun demikian, lafadznya sebagai wadah pesan tetap harus dihormati.[29]
D.  Aplikasi Teori ( Mencari format baru menuju pendidikan Ke-Islaman yang santun)

          Pada bab ini akan dibahas mengenai pandangan penulis tentang islam dan keselamatan. Penulis berusaha untuk menghubungkannya dengan realitas pendidikan di Indonesia. Seiring merebaknya virus-virus ideologi yang datang dan sangat cepat dan di adopsi oleh generasi muda terutama pada mereka yang ada pada bangku-bangku sekolah.  Pembahasan tentang ke-Islaman tidak secara langsung mengacu pada tafsir tematik, namun  hanya memanfaatkan sebagian kaidah dari tafsir tematik, tidak secara utuh layaknya tafsir yang bersifat tematik.
Memaknai Kembali Islam
Menurut al-Qur`an, Ibrahim adalah orang yang menyebut agama Tuhan dengan kata Islam dan pemeluknya dengan sebutan muslim. Dikisahkan, Ibrahim setelah berpetualang panjang yang penuh dengan tantangan. Mulai dari petualangan teologisnya, meninggalkan keluargadan kampung halamannya, ibrahim mendapat predikat teladan utama sebagai percontohan orang yang pasrah sepenuhnya terhadap Allah. Meskipun sudah mendapat gelar sebagai uswatun hasanah namun Ibrahim belum mendaat gelar sebagai muslim.
Kata Islam merupakan penyataan kata nama yang berasal dari akar triliteral س ,Ù„ , Ù…, dan didapat dari tata bahasa Arab aslama, yaitu bermaksud “untuk menerima, menyerah atau tunduk.” Dengan demikian, Islam berarti penerimaan dari dan penundukan kepada Tuhan, namun demikian banyak akar kata islam yang mempunyai berbagai macam arti dan tergantung dengan huruf-huruf yang mengikutinya. Akar kata akan senantiasa berubah makna jika bentuk-bentuknya dirubah seperti yang ada dalam ilmu nah{wu dan s{haraf .
Menurut Fazlur Rahman setelah menelusuri makna islam dari akar katanya ia menyimpulkan makna dasar Islam ialah:a. Memiliki arti damai, b. Memiliki arti utuh, c. Menyerahkan diri, d. Patuh. Menurutnya perubahan makna yang ada dari akar kata islam disebabkan karena muncul dalam konteks yang berbeda-beda. suatu contoh kata silm yang ada pada surat al-Baqarah: 208 memiliki arti damai. Sedangkan kata salam yang ada pada QS: al-Zumar: 29 memiliki makna utuh, sebagai lawan dari pemilah-milahan dalam bagian-bagian yang bertentangan. Kata salam dalam QS: al-Nisa`:91, juga digunakan dalam pengertian damai. Dengan demikian, kata salam dalam banyak ayat digunakan dalam pengertian damai dan aman, atau mengucapkan salam.[30]
Pencarian akar makna ini dianggap penting karena untuk mengetahui perkembangan dari makna-makna islam yang ada dalam al-Qur`an. Makna islam dalam sebuah kata akan senantiasa berubah melihat konteks yang dibicarakan (siyaq). Maka untuk mengetahui lebih lanjut akan dibahas dibwah ini.
Pemilahan Makna Islam
            Salah satu model penafsiran teks al-Quran kontemporer adalah memaknai kembali konsep Islam dalam al-Quran. Kemudian menerapkan interpretasi yang berbasis pada negosiasi antara makna awal-obyektif dengan makna signifikansi berkaitan dengan konsep "Islam" dalam al-Quran.[31] Selama ini, kita bingungkan oleh pemaknaan yang umum digunakan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan "kepatuhan total" kepada Tuhan, dalam artian negatif, tetapi dalam konteks komunikasi kemanusiaan kata itu justru dipahami sebagai "paksaan" kepada manusia lain untuk mematuhi dan menjalankan perintah Tuhan secara sukarela atau terpaksa. Dengan kata lain, bagi penganutnya kata itu digunakan arti negatif, sebagai sikap tunduk secara total, sebaliknya diartikan secara positif, sebagai tindakan pemaksaan bagi kelompok lain diluar penganutnya.
            Dalam al-Quran, bentuk yang berkaitan dengan "Islam" berbeda-beda, baik segi kata maupun makna kata "Islam" dalam al-Quran berakar kata "s-l-m" dan dari akar kata ini dapat diturunkan berbagai bentuk kata. Akar kata ini berarti "merasa aman, utuh dan integral".  Karena kata cabang yang diturunkan dari akar kata ini berbeda-beda, tentunya maknanya juga mengalami perbedaan dan bahkan plural. Dari akar kata yang berbeda-beda itu, makna kata "Islam" dapat diklasifikasikan menjadi dua, yang Pertama, dengan kata "Islam" bermakna "agama". Kata "Islam" dengan makna ini sebutkan sekitar 50 kali dalam al-Quran, dengan pembagian: 8 kali dengan kata benda, 3 kali dengan kata sifat laki-laki "muslim", dan 39 kali disebutkan sebagai kata sifat jamak. Namun, ayat yang menunjukkan kata "Islam" sebagai agama dikemukakan hanya sebanyak 3 kali.[32]   
            Yang kedua, dengan akar kata yang sama dengan Islam sebagai agama, kata cabang dari kata "Islam" seperti "aslama" dan yang senada dengannya, bermakna ketundukan dan penyerahan diri, dan ia disebutkan sebanyak 24 kali dalam al-Quran. Kata bentuk ini bermakna menyerahkan diri seperti aslama wajhahu lillahi yang berarti "meyerahkan diri", khususnya pada Allah. Pada masa pra Islam, kata "Islam" berarti seorang laki-laki yang menyerahkan barang berharga miliknya yang sulit dilepaskan dan tinggalkan, kemudian diserahkan kepada seseorang yang memintanya.[33] Setelah masuk ke dalam semantik al-Quran, kata aslama mengalami perubahan makna, dari yang semula menyerahkan sesuatu kepada orang lain yang memintanya, beralih menyerahkan sesuatu pada Tuhan. Khususnya menyerahkan diri sendiri dalam bentuk ibadah.
            Yang ketiga, Islam bermakna kedamaian dengan bentuk kata "salam" yang dalam al-Quran disebutkan sekitar 157 kali, dengan rincian: berbentuk kata benda sebanyak 79 kali, sebanyak 50 kali berbentuk kata sifat dan berbentuk kata kerja sebanyak 28 kali. Atau dalam bentuk kata benda sebanyak 129 kali dan kata kerja 28 kali. Yang perlu diperhatikan dari kata Islam yang bermakna kedamaian ini adalah mencari argumen kepada bentuk kata "benda" lebih banyak jumlah-jumlahnya daripada bentuk kata "kerja". Jawaban atas pertanyaan ini begitu penting mengingat semangat menjalankan ajaran Islam terdapat di dalamnya. Hal ini tentunya mengandung rahasia tersendiri dari al-Quran. Menurut Hasan Hanafi, kata benda berarti "substansi", sedangkan kata kerja berarti "aksi".[34] Sejalan dengan makna tersebut, kata "salam" dalam al-Quran berarti merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan secara obyektif dan kreatif. Kedamaian bukan saja diucapkan, akan tetapi juga direalisasikan ke dalam kehidupan sosial masyarakat yang plural.[35]
                 Dengan analisis ini, penempatan kata "Islam" sebagai agama yang bersifat ekslusif, dalam posisi sentral semantik al-Quran, tidak dapat dipertahankan secara semantik, sebaliknya kata "Islam" dalam arti kedamaianlah yang sejatinya ditempatkan sebagai poros semantik al-Quran. Dengan cara ini, kata "Islam" dalam pengertian inklusif bakal menjadikan Islam sebagai penebar kedamaian, bukan penghancur kedamaian. Kesimpulan ini, sejalan dengan Hadits nabi tentang pengertian seorang muslim "orang Islam adalah orang yang menyelamatkan orang lain dari lisan dan tangannnya".
Pro kontra konsep keselamatan dalam beragama
     Jika ditelusuri lebih jauh, memang semua agama mempunyai klaim kebenaran dan jaminan keselamatan. Dengan kata lain tidak ada agama yang tidak memiliki doktrin keselamatan karena tanpa klaim seperti itu agama tidak akan bisa disebut sebagai agama. Orang-orang Yahudi menganut doktrin the chosen people bahwasanya hanya golongan Yahudi saja yang memperoleh keselamatan. Orang Kristen Protestan mengenal sebuah doktrin no salvation out side Christianity, diluar Kristen tidak ada keselamatan. Begitu juga Kristen Katolik dengan salah satu doktrinnya extra ecclesiam nulla salus, diluar gereja tidak ada keselamatan.
     Untuk melihat lebih jauh akar dari permasalahan dan perbedaan pendapat menyangkut ahli kitab kembali kita lihat pernyatan al-Qur`an surat al-Baqarah ayat: 62 dan Ali Imran ayat 113 dan 199. Menurut Rasyid Ridha, Muhammad Abduh maupun pemikir muslim yang lain,  ayat ini merupakan legitimasi tentang keselamatan yang akan diperoleh Ahli Kitab. Alasan mendasar yang digunakan oleh para penafsir aliran adalah al-Qur`an yang secara jelas mengakui keabsahan agama wahyu. Hal ini dapat dilihat dari sikap al-Qur`an  menerima keberadaan kehidupan religius kelompok-kelompok agama lain, menghormati praktik-praktik keagamaan lain pada masa awal islam. Sikap al-Quran pada Ahli Kitab dapat dijadikan pijakan mereka memperoleh keselamatan lewat jalur lain.
     Keselamatan adalah hak setiap orang yang beriman dan berbuat kebaikan. Para penafsir memandang seseorang yang jelas-jelas dalam koridor keimanan monoisme dan berbuat baik akan selamat tanpa memandang mereka berangkat dari agama apapun. Menafsirkan konsep al-naja<h{  Ridha, berusaha menganalisis dan menafsirkan lebih dalam pada QS: Maryam: 72 tentang tindakan Tuhan yang dilakukan oleh kaum dari para nabi. Pengingkaran bukan hanya berupa ejekan yang dilakukan oleh kaum para nabi yang berupa ejekan dan cemoohan kepada kenabian, tetapi yang lebih utama adalah pengingkaran keimanan yang monoistik kepada Tuhan dan kepada hari akhir. Melihat konteks ayat ini mereka yang beriman dan beramal shalih akan memperoleh keselamatan di akhirat,  sedangkan mereka yang ingkar dan berbuat kerusakan di bumi akan memperoleh siksa di neraka.[36]
Dalam perbedaan klaim keselamatan, setidaknya harus ada pengambilan sikap. Raimundo Panikar memberikan penjelasan untuk memahami agama-agama orang lain secara komprehensif, kita harus memahami ajaran agama melalui bahasa asli. Kita tidak bisa mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada dalam masing-masing agama. menurutnya ada tiga sikap keagamaan
Pertama, eksklusif yang memandang bahwa keselamatan hanya dimiliki oleh agama tertentu.
Kedua, inklusif yang memandang bahwa para pemeluk agama diluar islam bisa memperoleh keselamatan. Misrawi menyatakan bahwa inklusivisme meniscayakan adanya pemahaman bahwa agama lain memiliki kesamaan-kesamaan sehingga ada keinginan untuk mencari titik temu agama-agama.[37]
Ketiga, pluralisme secara subtansial termanifestasi dalam sikap untuk saling mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelilhara dan bahkan mengemangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak.[38]
Guru-guru agama yang menjadi ujung tombak pendidikan agama nyaris tidak tersentuh oleh gelombang pergumulan diskursus pemikiran seputar agama. Guru seharusnya memperoleh akses input serta informasi yang cukup akurat dan tepat mengenai kepelikan dan kompleksitas kehidupan beragama dalam era kemajemukan dan selanjutnya mampu memberikan alternatif-alternatif pemecahan yang menyejukkan. Lebih-lebih dapat mengemas ulang pesan-pesan dan nilai-nilai agama yang mereka peluk dalam era pluralitas. Maka, anak didik dari sejak dini dapat diantarkan untuk memahami perbedaan(bukan menegasikan dan menolaknya), menghargai serta menghormati kepercayaan orang lain, bukan malah membenci dan memusuhinya. Sehingga pada saatnya nanti mereka dapat mengambil sikap dalam menghadapi realitas pluralitas agama, budaya, ras, suku, dan golongan secara lebih arif, santun, matang dan dewasa.[39] 
Guru agama seharusnya dapat mengemas ulang nilai-nilai agama yang ada, dengan tanpa menampilkannya dengan bahasa formalitas ke-Araban. Namun dapat menampilkannya dalam bahasa budaya setempat. Dalam ruang kelas yang multi agama, menampilkan nilai-nilai agama dengan bahasa budaya setempat akan menimbulkan hal sangat positif. Seorang siswa secara tidak sadar akan melaksanakan nilai-nilai agama tanpa harus masuk pada wilayah legalitas formal keagamaan atau dalam arti lain membahasakan agama dengan bahasa yang nyata.[40] Namun hal ini masih jarang terjadi, kebanyakan guru-guru agama menampilkan nilai-nilai universalitas keagamaan dengan bahasa ke-Araban dan membawa bentuk legal formal suatu ajaran.
E.     Penutup
          al-Qur`an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada umat manusia dan dapat masuk kedalam ruang kehidupan serta akan berlaku untuk selamanya. Namun, seseorang tidak bisa secara langsung mengenyam apa yang ada didalam al-Qur`an. Karena, konteks yang ada pada saat al-Qur`an jelas berbeda dengan apa yang dialami oleh manusia saat ini. Maka al-Qur`an perlu di pahami ulang serta ditafsirkan kembali dengan berbagai macam metode dan pendekatan. Namun metode dan pendekatan yang ada sudah barang tentu tidak bisa kita terapkan semuanya  dalam penafsiran al-Qur`an. sebagai penganut agama yang salih dan cerdas lebih utama apabila kita menggunakan metode dan pendekatan penafsiran yang sesuai dengan the nature of the Qur`an sebagai wahyu allah SWT. Wallahu a`lam.


[1]Quraiys Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, volume 1, (Jakarta: Lentera Hati , 2000), hlm. X V
[2] Lihat al-Qur`an dan Terjemahannya Depag RI. Surat Luqman ayat 27.
[3]Baca Khaled Abou El  Fadl, Atas  Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke fikih Otoritatif. Terj. Cecep Lukman Hakim,  (Jakarta : Serambi, 2004),  hlm. 25 - 45.
[4]Toshihiko Izutzu, Relasi Tuhan Dan Manusia, Pendekatan Semantik Terhadap al-Qur’an, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997, hlm. 171-173.
[5]Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an,, Yogyakarta: LKis, 2003, hlm. 30.
[6]Definisi wahyu adalah sebuah hubungan komunikasi antara dua pihak yang mengandung pemberian informasi pesan secara samar dan rahasia. Oleh karena itu pemberian informasi dalam proses komunikasi dapat berlangsung apabila melalui kode tertentu maka dapat dipastikan bahwa konsep kode melekat di dalam konsep wahyu. Ibid,,, hlm. 31.
[7]Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al- Qur’an,, hlm. 54-55.
[8]Hasan Hanafi, Hermenetika al-Qur’an, Yogyakarta: Nawesea Press, 2009, hlm. 5.
[9]Penulis mengambil sebagian dari ayat Tuhan yang berbunyi: “Sesungguhnya kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa arab agar kamu memahaminya” (Qs. Yusuf: 2) dan lihat, Muhammad Ata Al-Sid, Sejarah Kalam Tuhan, Jakarta: Teraju, 2004,  hlm. 86.
[10]Arkoun menulis, Mushaf diangkat pada status korpus Resmi yang ditutup menurut prosedur-prosedur yang dikembangkan dan dibimbing oleh sarjana-sarjana: Resmi, karena teks-teks ini sebagai akibat dari seperangkat keputusan yang diambil oleh “otoritas-otoritas” yang diakui oleh komunitas: Tertutup, karena tidak seorang-pun diperkenankan untuk menambah atau mengurangi kata-kata, memodifikasi suatu bacaan dalam korpus yang sekarang dinyatakan otentik, Lihat Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer, hlm 59, dan lihat, Aksin Wijaya, Studi Ulum al-Qur’an, Memburu Pesan Tuhan Dibalik Fenomena Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 91.
[11]Sesungguhnya sebagian ulama berbeda perdapat tentang bacaan dalam shalat dengan menggunakan bahasa persi dan perbedaan itu terjadi pada Imam Abu hanifah dengan dua sahabatnya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa al-Qur’an hanyalah nama bagi sebuah makna, sebaliknya dua sahabatnya berpendapat bahwa al-Qur’an meliputi lafadz dan makna. Dengan pendapatnya ini, Imam Abu Hanifah membolehkan memakai bahasa selain dari bahasa arab dalam menggunakan shalat, sedangkan dua sahabat tidak membolehkannya. Ibid,, hlm. 25-26.  
[12] Umar shihab, Kontekstualitas al-Qur`an: Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam al-Qur`an Jakarta: Penamadani, 2005. hlm.13.
[13] Ibid.,hlm. 13.
[14] Ibid.,hlm. 14-15.
[15]  Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LkiS, 2010. Hlm. 166
[16] Ibid., 166-167.
[17] Ibid.,hlm. 170.
[18] Muhammad Syahrur, Prinsip-Prinsip Dasar Hermeneutika Kontemporer, Yogyakarta: Elsaq, 2007. hlm. 259.
[19] Baca: Mana`Khalil Qattan, Mabahis fi `ulum al-Qur`an,Beirut: Muassat al-Riyadh, 1993  hlm.225. Muhammad Hadi Makrifat, Al-takwil fi mukhtalifilmadzahib wa al-ara, Teheran: al-Jam`ul alami, 2006.  hlm. 9.
[20] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer.,hlm.209.
[21] Ibid.,209
[22]  Kurdi dkk, Hermeneutika al-Qur`an dan Hadis, Yogyakarta : ElsaQ, 2010. hlm. 306-307.
[23] Ibid.,hlm.308.
[24] Abdul Mustaqim, Epistemologi., hlm.227
[25] Baca: Syahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur`an, Yogyakarta: Nawesea Press, 2009. hlm.11-12
[26]Ada tiga kelompok pemikir dalam menyikapi penggunaan hermeneutika dalam studi al-Quran: kelompok yang menolak, kelompok yang menerima tanpa reserver, dan kelompok yang menerima dengan catatan. Kelompok yang pertama, menolak penggunaan hermeneutika dalam studi al-Quran dengan alasan hermeneutika berasal dari tradisi yunani kemudian diadopsi oleh Kristen. Pandangan dunia yang melahirkan hermeneutika berbeda dengan pandangan dunia Islam. Kelompok yang kedua menerima secara mentah-mentah dan bahkan penggunaan hermeneutika apa saja kedalam studi al-Quran tanpa memilah-milah model hermeneutika yang membawa manfaat dan tidak dalam studi al-Quran. Mereka berkeyakinan dari manapun datangnya sesuatu, selama ia membawa manfaat bagi umat Islam harus diambil. Kelompok yang ketiga, muncul mengambil jalan tengah sebagai alternatif dari sikap ekstrim diatas. Kelompok ini mengambil teori hermeneutika tertentu guna mendukung upaya mengungkap pesan ilahi tanpa mengesampingkan keilahian al-Quran. Lihat, Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Quran,,,, hlm. 176-177.   
[27]Relasi teks dengan pengarang dan pembaca, ada dua aspek yang memiliki subyek penafsiran, yang pertama rekonstruksi subyektif historis yakni memperlakukan teks sebagai produk diri pribadi. Sedangkan yang kedua, yaitu subyektif strukturalis, yakni mendefinisikan cara-cara proses penulisan berpengaruh terhadap berbagai ide internal pengarang. Lihat, Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan Dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. Jakarta: ICIP, 2004, hlm. 17.
[28]Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulmul al-Quran, Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 183

[29]Ibid,,, hlm.184.
[30] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS,  2010), hlm. 236.
[31]Kendati meyakini apa yang ada pada kita saat ini adalah al-Quran, dan makna yang dikandungnya berbeda dengan al-Quran. Namun didalam hal ini, istilah keduanya tetap akan digunakan secara acak. Sebab kedua bahkan ketiga nama itu; wahyu, al-Quran dan mushaf usmani, telah lumrah disematkan pada wahyu Tuhan. Karena itu, saya tetap meyakini, bahwa muatan ketiga nama itu berbeda dan memuat pesan yang berbeda pula. Sementara obyek yang menjadi interpretasi saya dan kita pada umumnya adalah mushaf usmani yang didalamnya telah tercampur antara makna yang dimasudkan Tuhan dengan makna yang dimiliki masyarakat arab sebagai pemilik bahasa arab.
[32]"Sesungguhnya agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam", (QS. Ali-Imran:19); "Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima agama itu daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. " (QS. Ali-Imran: 85); dan "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu, " (QS. al-Maidah: 3).
[33]Tosihiku Izutsu, Relasi Tuhan Dan Manusia,, hlm. 221.
[34]Hasan Hanafi, Agama, Kekerasan, Dan Islam Kontemporer, Yagyakarta: Jendela Grafika, 2001, hlm. 127.
[35]Senada dengan kata "salam" dalam arti kedamaian adalah kata "silm". "Hai Orang-oarang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam (al-Silmi) secara menyeluruh," (QS. al-Baqarah: 208).
[36] Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur`an al-Haki>m, Jilid IV, hlm. 257.
[37]Zuhairi Misrawi, Al-Qur`an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme,  (Jakarta:Fitrahdan P3M, 2007),  hlm. 205.
[38]Kautsar Ashari Noer,”Menyemarakkan Dialog  Agama, (Perspektif Kaum Sufi)” dalam A. Edi Efendi (ed),  Deskontruksi Islam Madzhab Ciputat (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999), hlm. 87. Alwi Shihab, “Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam, Sebuah Pengantar” dalam Sururin (ed), Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam, Bingkai Gagasan Yang Berserak, (Bandung: Nuansa, 2006), hlm. 17.
[39] M.Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multirelegius (Jakarta: PSAP, 2005), hlm. 132-133.
[40] Dr. Noorhaedi, disampaikan pada seminar “ Kontra Terorism, Deradikalisasi dan HAMdi Gedung Convention Hall Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, tgl 22 juni 2011 baca: Agus Nuryatno,mencari format paradigma pendidikan agama. Kompas. 12 januari 2012..