Pribumisasi
Islam dalam Bingkai Budaya Nusantara
Oleh:
Zainur Rofik
pendahuluan
Orang-orang
nusantara (khususnya orang jawa) menggelar upacara tradisi, ritual
selamatan atau gelar sajen (sesaji) adalah peristiwa yang sudah diakrabi sejak
lahir. Setiap orang jawa yang lahir sudah diperkenalkan dengan ritual selamatan
kelahiran dengan segala ubo rampe ( perlengkapan) nya. Budaya
peninggalan nenek moyang yang adiluhung itu merupakan modal sosial yang besar
yang mempunyai nilai yang agung dalam menciptakan kebersamaan, gotong royong,
guyub rukun dan saling menghargai sesama.
Permohonan yang
tulus itu diwujudkan dalam rasa keikhlasan sang penderma ketika membelanjakan
syarat ubo rampe atau pernak-pernik aneka sesajen tanpa sedikitpun merasa berat
atau terbebani. Belum lagi bila sajen selesai di doakan maka sesajen itu di
bagi-bagikan atau dimakan bersama-sama. Setidaknya peristiwa ini mewujudkan
rasa ikhlas untuk bersedekah.[1]
Budaya ini yang kemudian dipergunakan oleh para penyebar islam untuk menanamkan
nilai dasar keislaman tentang pentingnya bersedekah.
Nenek moyang orang
jawa percaya adanya kekuasaan yang ada didalam luar dirinya ( Tuhan). Mereka
mensifati Tuhan dengan gusti ingkang murbeng dumadi, Gusti ingkang Murbo
meseso, Gusti ingkang moho widhi, gusti ingkang moho suci, gusti ingkang moho
wikan dan seterusnya sebagai mana sifat-sifat Allah yang di yakini oleh
pengikut islam pada umumnya. Orang jawa memiliki tipologi hidup damai, selaras,
serasi dan seimbang. Itu tercermin bahwa orang jawa tidak mau di ganggu dan
mengganggu. Dalam prakteknya meskipun mereka meyakini sepenuh hati dan
bertauhid kepada Allah, tetapi mereka masih melakukan tegur sapa pada hal-hal
yang bersifat gaib. Ini dilakukan untuk menjaga keharmonisan hidup.
Orang-orang kuno
dalam menigkatkan kualitas supranaturalnya melakukannya dengan berbagai
macam cara, mulai laku tirakatan,
bertapa hingga berpuasa dengan berbagai macamnya. Tujuannya adalah untuk
mendekatkan kepada Yang Maha Kuasa. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
manusia modern, yang kadang karena ke tidak tahuannya atau mungkin adanya
kepentingan-kepentingan politik, menolak fenomena tersebut dan bahkan
menghukuminya sebagai orang kolot yang menyimpang dari agama.
Gambaran diatas
menjelaskan tentang keadaan masyarakat nusantara yang berbeda dengan masyarakat
di belahan dunia lain. Negara yang “ gemah ripah loh jinawi”, mengakibatkan
tidak disibukkan lagi dengan urusan-urusan bertahan hidup yang diakibatkan oleh
kerasnya iklim, sulitnya mencari makan karena semua dapat diambil secara mudah
dari alam. Mereka kemudian lebih banyak
memikirkan hal-hal yang supranatural.
Melihat wajah
budaya Indonesia yang seperti itu menarik sekali ketika dihubungkan dengan
statemen van peursen bahwa, manusia mencari strategi dalam menemukan hubungan
yang tepat antara daya dan kekuatan-kekuatan alam. Hal ini akan menjadi titik
tolak pembahasan pada tulisan ini
berkenaan cara manusia mendekatkan pada Tuhan lewat jalur tarikat.
A. Tradisi Syawalan
Selama ini, budaya sering dianggap sebagai sesuatu yang tercipta
begitu saja, terjadi secara alami dan apa adanya. Tetapi pada era sekarang
setelah adanya penelusuran panjang baru disadari bahwa budaya adalah ciptaan manusia secara
kolektif yang punya tujuan tertentu. Kebudayaan pada umumnya dikatakan sebagai
proses atau hasil cipta, rasa dan karsa
manusia dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam
sekelilingnya. Alam yang kita tempati
ini disamping membeikan fasilitas yang indah juga menghadirkan tantangan yang
harus diatasi.[2]
Hasil pemikiran cipta dan karsa manusia merupakan kebudayaan yang berkembang
pada masyarakat. Pikiran dan perbuatan yang dilakukan manusia secara terus
menerus pada akhirnya menjadi sebuah tradisi. Sejalan dengan adanya penyebaran
agama, tradisi yang ada dalam masyarakat dipengaruhi oleh ajaran agama yang
berkembang.[3]
Kebudayaan
mencakup makna-makna yang terjalin
secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang diwariskan secara historis, yang di
dalamnya terdapat suatu simbolik, sehingga dengan cara ini manusia dapat
berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, serta sikapnya dalam masyarakat.
Idul fitri merupakan tradisi yang sudah mengakar dalam budaya
Indonesia. Idul fitri yang bertujuan
mengembalikan kesucian diri dengan
mendekatdiri kepada sang Khalik agar mendapatkan kebersiahan jiwa sebagaimana
dahulu ketika pertama kali menghirup udara dunia, dan kemudian dilengkapi
dengan meminta maaf kepada sesama manusia, yang dalam perjalanan hidupnya pasti
pernah berbuat salah dan khilaf, kemudian terlupakan oleh sebagian besar umat
Islam, yang ada hanya tinggal gegap
gempitanya liburan dengan berbagai acara yang justru jauh dari tujuan semula.
Maka dari itu, kiranya perlu
disadari oleh semua pihak, terutama bagi mereka yang mempunyai peran di
masyarakat, seperti para tokoh, para
pejabat di berbagai instansi, para lurah sampai presiden untuk menguri-uri
budaya positif ini dengan tetap mempertahankan
silaturrahmi, dengan cara mempelopori gerakan ini diwilayahnya masing-masing. Bukankah silaturrahmi ini dapat dijadikan sarana yang sangat efektif
untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan-pesan penting dalam kerangka kinerja
yang dibangun dan diinginkan. Disamping
itu apabila dilihat dari perspektif agama, silaturrahmi ini menurut Nabi
Muhammad saw. juga dapat menambah panjang usia dan menambah luasnya rejeki,
bagi yang melaksanakannya.
Durenan adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten
Trenggalek. Kota Durenan ini terletak persis di tengah-tengah antara jalan raya
yang menghubungkan kota Trenggalek dengan Tulungagung. Terletak 17 km dari
Trenggalek, dan 17 km dari Tulungagung. Gampang sekali menjangkau kota Durenan.
Anda bisa naik bus atau angkutan umum lainnya dari Trenggalek maupun
Tulungagung. Durenan ini terkenal dengan kota santri dan terdapat pondok
pesantren yang cukup dikenal. Asal kata Durenan ini menurut sejarahnya berasal
kata dari duren atau durian. Entah, mungkin jaman dulu kita bisa menemukan
dengan mudah durian ini tumbuh di Durenan.
Di Durenan, lebaran ketupat selalu menjadi tradisi yang lebih
meriah dan ramai dibandingkan dengan lebaran Idul Fitri 1 Syawal. Lebaran
ketupat – orang Jawa sering menyebutnya dengan lebaran syawal, syawalan atau
kupatan – merupakan tradisi turun-temurun yang hingga sekarang masih
dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat Durenan, Trenggalek. Bahkan,
Lebaran Ketupat Durenan ini menjadi salah satu objek pariwisata kuliner,
religi, dan hiburan pada saat idul fitri.
Tradisi Hari Raya Ketupat di Kecamatan Durenan berawal dari
kebiasaan seorang ulama setempat yang hidup sekitar abad XIX. Saat itu, setelah
melaksanakan Sholat Ied, seperti tradisi pada umumnya, warga Durenan saling
bersilaturahmi. Lepas tanggal 1 Syawal, mereka melaksanakan puasa sunah selama enam
hari, yaitu tanggal 2 sampai 7 Syawal. Usai puasa sunah tersebut pada hari
ketujuh, mereka mengadakan perayaan ketupat atau lazim disebut dengan “Bada
Ketupat atau Kupatan”.
Dalam perayaan tersebut, para ulama setempat mengadakan silaturahmi
ke Trenggalek untuk menghadap Bupati yang saat itu lazim dipanggil “Ndoro
Kanjeng”. Pada saat itu sudah menjadi kebiasaan bagi Penguasa Trenggalek bahwa
Ndoro Kanjeng mengadakan semacam Open House pada Hari Raya Idul Fitri ke-tujuh.
Konon sebagai oleh-oleh dari Durenan, para tamu mempersembahkan ketupat kepada
Ndoro Kanjeng.
Tradisi ini terus berlanjut sampai sekarang dan dari tahun ke tahun
pelaksanaannya semakin meriah. Semua tamu, baik sudah kenal atau belum, akan
memperoleh hidangan ketupat setiap bersilaturahmi ke rumah-rumah warga Durenan. Lebaran
ketupat ini dilaksanakan setiap hari ke-delapan di bulan syawal. Lebaran
ketupat ini merupakan wujud apresiasi masyarakat Durenan setelah mereka
berhasil menunaikan puasa sunnah enam hari selama bulan Syawal. Mereka menjalankan
puasa Syawal mulai dari tanggal 2 Syawal hingga tanggal 7 Syawal. Nah, pada 8
Syawal diadakan lebaran ketupat. Kurang lebih ada delapan desa yang merayakan
lebaran ketupat ini di Durenan. Masing-masing adalah desa Durenan, Kendalrejo,
Semarum, Pakis, Sumbergayam, Ngadisuko, Pandean, dan Kamulan. Namun pada saat ini perayaan syawalan telah
menyebar kedalam 8 kecamatan di Trenggalek dan Tulungagung
Pada saat lebaran ketupat, siapa saja yang datang dan bertamu ke
Durenan akan disambut dengan aneka makanan dengan sajian ketupat. Ketupat yang
disajikan bagi para tamu itu biasanya dihidangkan lengkap beserta sayur dan
lauk-pauknya. Sayur bisa berupa opor ayam, dan sayur lodeh. Sayur lodeh yang
umumnya disajikan berupa lodeh nangka maupun lodeh kacang panjang, bisa juga
lodeh jenis lain. Tinggal pilih saja.
Di desa tersebut saat hari raya kupatan, setiap rumah memang
menyediakan makanan ‘gratis’ berupa ketupat. Nah, semua makanan tersebut pada
dasarnya disajikan ‘gratis’ untuk para tamu, tak perduli tamu yang datang itu
dikenal maupun tidak dikenal. Pokoknya tamu-tamu itu berhak dan bahkan wajib
diberikan ‘sajian makanan gratis’ berupa ketupat dan aneka sayurnya itu. Kalau
dulu orang yang datang kebanyakan dikenal, sekarang kebalikannya.
Banyak sekali orang yang tak dikenal datang ke Durenan, Trenggalek. Mereka
datang hanya untuk mencicipi sajian makanan ‘gratis’ yang dihidangkan secara
cuma-cuma untuk para tamu.
Para tamu yang datang kebanyakan dari kabupaten di sekitar
Trenggalek. Mereka datang dari Kabupaten Kediri, Tulungagung, Blitar, Ponorogo,
atau bahkan dari Surabaya, dan kabupaten maupun propinsi lain. Ini bisa dilihat
dari variasi plat nomer kendaraan yang menyerbu Trenggalek. Akibatnya
bisa ditebak, setiap hari raya lebaran ketupat ini kota Durenan penuh sesak
dengan para pendatang dari luar kota. Puluhan ribu orang datang berduyun-duyun
dengan kendaraan charteran, mobil, bus, dan yang lebih banyak lagi mereka yang
bersepeda motor.
Tak pelak, setiap hari raya lebaran ketupat di Durenan, polisi lalu
lintas dan pengguna jalan yang kena imbasnya. Jalan raya selebar 10 meter dan
sepanjang daerah yang merayakan lebaran ketupat di Durenan itu penuh dengan
kendaraan, baik yang datang menuju Durenan maupun kendaraan yang sedang parkir.
Jalur yang menghubungkan kota Trenggalek dengan Tulungagung menjadi lumpuh
seketika saat lebaran ketupat.
da sebuah ungkapan Arab yang berbunyai: Laisal `id liman kana
tsaubuhu jadid walakinnal `id liman kana taqwahu yazid. Bukanlah `id itu bagi orang yang pakaiannya
baru, tetapi `id itu bagi orang yang taqwanya bertambah. Ungkapan ini apabila dicermati dalam konteks
keindonesiaan, akan mengandung makna yang sangat dalam dan luas. Idul Fitri bagi masyarakat Indonesia
merupakan momentum yang sangat strategis untuk bersilaturrahmi, untuk saling memaafkan, dan untuk saling melepaskan kerindauan diantara kawan dan
keluarga. Untuk keperluan tersebut,
orang rela merogoh koceknya buat sekedar mudik ke kampung halaman, bertemu
dengan sanak keluarga, tetangga lama, dan tentu saja ziarah kepada orang tua,
baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.
Kebiasaan yang terjadi dan telah membudaya di
masyarakat kita adalah kenyataan bahwa idul fitri merupakan hari raya yang tidak boleh
terlewatkan begitu saja. Segala keperluan jauh-jauh hari dipersiapkan sedemikian rupa, mulai dari pakaian, makanan,
kendaraan, dan ubo rampe lainnya.
Sedikitpun tidak boleh terlewatkan, baik bagi orang yang berkecukupan
secara finansial maupun bagi mereka yang pas-pasan, bahkan bagi mereka yang
berkekuranganpun tidak mau ketinggalan.
Akhirnya idul fitri tidak menjadi arena
introspeksi dan evaluasi setelah satu bulan lamanya berpuasa, melainkan
hanya untuk menyenangkan diri, yang kadang-kadang juga berbau pemborosan.
B.
Dialektika Budaya dan Agama
Sejak kehadiran islam di Nusantara, para ulama mencoba mengadopsi
kebudayaan lokal secara selektif. Sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang sudah pas
tidak di ubah. Termasuk adat istiadat banyak yang dikembang dalam perspektif
islam. Hal itu yang memungkinkan menjadi faktor budaya yang ada di Nusantara
sangat banyak dan beragam. Islam sangat mempengaruhi kebudayaan yang ada di
berbagai pelosok daerah. Dari segi cara berpakaian ulama telah sepakat
membolehkan pakaian yang dianggap sesuai dengan norma agama.
Kalangan islam nusantara memang telah berhasil
mengintegrasikan antara keislaman Arab dan Indonesia. Sehingga apa yang ada
diwilayah ini telah dianggap sesuai dengan nilai keislaman. Karena jangkauan
islam sangat luas dan mencakup seluruh lini kehidupan. Karena itu jika nilai
islam telah sesuai dengan norma islam, maka tidak perlu di ubah lagi dengan
selera adat arab dan ideologi Arab. Sebab, bila itu dilakukan akan menimbulkan
gempa budaya sehingga tidak akan ada keharmonisan dengan budaya lokal yang syarat
degan nilai. Disisi lain, mengisi Islam dengan kedalam struktur nilai budaya
jauh lebih efektif dari pada mengganti kebudayaan itu sendiri.
Strategi ini dilakukan untuk memperakrab islam
dengan budaya setempat, juga memberikan peluang bagi faktor perekonomian yang
ada di wilayah tersebut. Sebuah contoh dengan tradisi lebaran ketupat, masyarakat
dapat menjadikan ketupat sebagai lahan bisnis berkaitan dengan perekonomian.[4]
Seandainya budaya ini harus mengikuti Arab, makanan dan minuman harus sesuai Arab,
bukan tidak mungkin akan mempengaruhi ekonomi. Dengan adanya dialektika budaya
jawa dengan Islam yang harmonis, ekonomi mereka akan berkembang.
Gerakan islamisasi yang dilakukan oleh para
ulama kuno telah berhasil mengintegrasikan diri dengan peradaban yang ada,
sehingga tidak ada ketegangan lagi antara agama dan adat. Semua sistem
kebudayaan diolah dan diramu sesuai dengan norma yang ada dalam Islam. Sehingga
menjadi kebudayaan baru yang lebih relevan. Tetapi keadaan itu lambat laun
mengalami kejumudan. Ketika hubungan islam jawa dan islam yang ada di Makkah
(Wahabi) semakin intensif, puritanisasi islam yang menolak islam warna lokal
berubah menjadi arabisasi.[5]
Kalangan islam yang mengatasnamakan dirinya
sebagai islam murni jelas menolak tradisi lokal. Pendangan semacam ini muncul
sebagai akibat dari cara baca mereka terhadapa tradisi berdasarakan kacamata
al-Qur`an dan Hadist. Padahal dalam kenyataannya al-Qur`an dan Hadist di
konstruk baerdasarkan tradisi yang bersifat
partikular dan historis. Bagi kalangan Islam Nusantara, islam bukanlah agama
yang sekali jadi. Dengan kata lain, Islam tidak hadir dalam lembaran kosong.
Al-Qur`an misalnya, meskipun diakui sebagai firman Tuhan Yang Maha Gaib,
kenyataannya kalam Tuhan tersebut telah dimasuki wilayah historis. Sekurang-kurangnya
terdapat dua argumen bisa dinyatakan
disini. pertama, Tuhan telah memilih bahasa manusia-dalam hal ini bahasa
Arab-sebagai kode komunikasi antara Tuhan dan Rasul-Nya. Dalam pandangan
Muhammad Arkoun, Tuhan mengungkapkan dengan bahasa yang khas, yaitu memakai
pengungkapan yang diwujudkan dari dalam ruang pikir Arab.[6]
Kedua, sejak turunnya al-Qur`an sampai sekarang telah
berdialog dengan realitas. Banyak hal –hal yang mengiringi realitas turunnya
ayat dan sekaligus menjadi pertanyaan umat pada waktu itu. Ini mengandung arti
bahwa islam yang hadir disetiap jengkal bumi
ini selalu merupakan racikan hasil dialektik antara Islam dan tradisi
Arab. Begitu juga Islam yang ada di Nusantara. Karena sifatnya yang selalu berdialektika dengan relaita, maka tradisi
agama dapat berubah sesuai dengan kontes sosial dan kultural suatu masyarakat.
Melihat fenomena Idulfitri di Indonesia,
nampaknya sangat berbeda jauh dengan kebiasaan idulfitri yanng ada di luar
negara ini, di negeri ini idulfitri mempuyai makna yang sanagat luar biasa dan
banyak dikagumi oleh bangsa lain. Sehingga tradisi yang semacam ini lambat laun
menular ke luar negeri. Tradisi silaturrahmi merupakan suatu tradisi yang
sangat positif yang bisa mengantarkan kepada kerukunan suatu bangsa. Talian
persaudaraan akan semakin erat ketika setiap setahun sekali kita melakukan
hubungan antara sesama saudara. Bersilaturrahmi ketempat sanak famili akan
terasa bermakna dan banyak meinmbulkan hal-hal positif.
Sesungguhnya bentuk silaturrahmi semacam ini
dapat dilaksanakan dan bahkan dianjurkan kapan saja, namun idul fitri merupakan mementum yang sangat
strategis dan sangat mungkin serta mudah dilaksanakan, karena masih kental dengan suasana religius. Dalam kesempatan dan suasanan seperti itulah introspeksi dan evaluasi diri masih sangat
mendukung dilakukan oleh siapa saja dengan tanpa rasa sungkan
dan ewuh pakewuh atau bahkan gengsi yang biasanya selalu menjadi kendala utama. Dalam suasana yang demikian, orang tidak akan dengan mudah dan merasa terpaksa
mengakui kesalahan diri sendiri dan sekaligus memaafkan kesalahan orang lain,
yang hal seperti itu sangat sulit dilakukannya pada saat di luar idul fitri.
Barangkali perlu digarisbawahi bahwa bentuk
silaturrahmi yang dimaksudkan untuk acara idul fitri tidak hanya sebatas acara
formal, seperti halal bihalal yang selama ini
kita kenal, tetapi lebih dari itu silaturrahmi tersebut dapat
dilaksanakan secara personal dengan
saling berkunjung ke rumah beserta keluarga dalam suasana yang kekeluargaan
pula. Mungkin
cara yang terakhir ini justru akan lebih memberikan atsar atau dampak positif
bagi kesinambungan hubungan, baik kekeluargaan maupun dinas. Tetapi sekali lagi justru bentuk silaturrahmi
yang seperti ini sekarang mulai mengendur, terutama pada kalangan menengah keatas, dan
perkotaan. Dan itulah sesungguhnya yang
harus menjadi perhatian semua pihak untuk mempertahankan tradisi yang telah
mengakar di masyarakat kita sejak zaman
dahulu, tentu dengan segala variasinya.
C. Integrasi Budaya ke Dalam Ranah Pendidikan Nasional
Indonesia adalah
sebuah bangsa yang majemuk. Betapa tidak, negeri yang dihuni sekitar 230
juta manusia[7]
ini memiliki keragaman agama, etnis, bahasa, dan budaya.[8] Apabila dapat dikelola
secara baik, kemajemukan sejatinya merupakan modal sosial yang amat berharga
bagi pembangunan bangsa. Sebaliknya, jika tidak dapat dikelola secara baik,
maka kemajemukan berpotensi menimbulkan konflik dan gesekan-gesekan sosial.
Faktanya, bangsa Indonesia ternyata belum cukup mampu me-manage kemajemukan dengan baik, sehingga konflik dan tindak
kekerasan (violence) terjadi di
berbagai belahan bumi nusantara ini. Kalau dikaji secara sosio-psikologis,
merebaknya konflik dan tindak kekerasan di Indonesia, disadari atau tidak,
berakar dari prasangka-prasangka sosial (social
prejudice).
Pada setiap masyarakat majemuk seperti
Indonesia, akan kerap muncul prasangka-prasangka yang berpengaruh terhadap
interaksi sosial antara berbagai golongan masyarakat. Berbagai prasangka sosial
tersebut biasanya diwariskan dari generasi sebelumnya. Masyarakat pribumi,
misalnya, hidup dengan sejumlah prasangka terhadap keturunan China, dan
sebaliknya. Umat Islam menyimpan sejumlah prasangka terhadap umat Kristiani,
dan sebaliknya.
Berbagai prasangka sosial dalam masyarakat
majemuk tidak bersifat statis, akan tetapi dinamis. Ia dapat berubah-ubah
seiring dengan berjalannya proses interaksi sosial suatu masyarakat. Ia dapat
menuju interaksi sosial yang lebih baik ataupun lebih buruk. Dalam kurun waktu
tertentu, golongan-golongan penduduk bisa menjadi lebih saling mencurigai,
saling membenci, tetapi juga bisa menjadi saling memahami dan saling
menghormati. Hal ini ditentukan oleh cara berbagai golongan penduduk dalam
suatu masyarakat majemuk mengelola prasangka-prasangka sosial yang ada dalam
diri masyarakat.[9]
Pada gilirannya, prasangka sosial akan memunculkan stereotipe dan diskriminasi
satu kelompok terhadap kelompok lain.[10]
Untuk dapat mengelola prasangka-prasangka
sosial supaya tidak mengarah pada hal-hal yang destruktif-disintegratif, maka
diperlukan upaya untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai multikultural yang apreciate terhadap segenap perbedaan ke
seantero negeri, sehingga akan mengikis prasangka-prasangka sosial. Salah satu
ranah yang dapat digarap untuk mendakwahkan nilai-nilai multikultural adalah
melalui pendidikan. Hal ini lantaran pendidikan menyediakan ruang-ruang bagi
penanaman dan pengimplimentasian nilai-nilai etika dan kebajikan. Pendidikan
bukan semata-mata transfer of knowledge saja,
tetapi juga transfer of values. Transfer of values yang dimaksud adalah
pewarisan nilai-nilai etis-religius-humanis dari generasi terdahulu kepada
generasi berikutnya.
Dalam konteks ke-Indonesia-an yang
demikian multikultural, pendidikan yang tepat untuk menanamkan dan menggaungkan nilai-nilai
pluralitas atau multikultural adalah pendidikan multikultural. Pendidikan
multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghargai, tulus, dan toleran
terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.[11] Pendidikan multikultural
merupakan usaha kolektif suatu masyarakat plural untuk mengelola berbagai
prasangka sosial yang ada dengan cara-cara yang baik. Tujuannya, menciptakan
hubungan yang lebih serasi dan kreatif di antara berbagai golongan penduduk dalam
masyarakat.
Azyumardi Azra
mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk atau tentang
keragaman kebudayaan dalam merespons perubahan demografis dan kultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.[12] H.A.R. Tilaar
mengemukakan bahwa fokus program pendidikan multikultural tidak lagi diarahkan
semata-mata kepada kelompok rasial, agama, dan kultural dominan atau mainstream, namun pula diarahkan kepada
kelompok kultural minoritas.[13]
Untuk dapat
mengelola prasangka-prasangka sosial supaya tidak mengarah pada hal-hal yang
destruktif-disintegratif, maka diperlukan upaya untuk menumbuhkembangkan
nilai-nilai multikultural yang apreciate terhadap
segenap perbedaan ke seantero negeri, sehingga akan mengikis prasangka-prasangka
sosial. Salah satu ranah
yang dapat digarap untuk mendakwahkan nilai-nilai multikultural adalah melalui
pendidikan. Hal ini lantaran pendidikan menyediakan ruang-ruang bagi penanaman
dan pengimplimentasian nilai-nilai etika dan kebajikan. Pendidikan bukan
semata-mata transfer of knowledge saja,
tetapi juga transfer of values. Transfer of values yang dimaksud adalah
pewarisan nilai-nilai etis-religius-humanis dari generasi terdahulu kepada
generasi berikutnya.
Dalam konteks ke-Indonesia-an yang
demikian multikultural, pendidikan yang tepat untuk menanamkan dan menggaungkan nilai-nilai
pluralitas atau multikultural adalah pendidikan multikultural. Pendidikan
multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghargai, tulus, dan toleran
terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.[14] Pendidikan multikultural
merupakan usaha kolektif suatu masyarakat plural untuk mengelola berbagai
prasangka sosial yang ada dengan cara-cara yang baik. Tujuannya, menciptakan
hubungan yang lebih serasi dan kreatif di antara berbagai golongan penduduk
dalam masyarakat.
Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan
multikultural sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam
merespons perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau
bahkan dunia secara keseluruhan.[15] H.A.R. Tilaar
mengemukakan bahwa fokus program pendidikan multikultural tidak lagi diarahkan
semata-mata kepada kelompok rasial, agama, dan kultural dominan atau mainstream, namun pula diarahkan kepada
kelompok kultural minoritas.[16]
Choirul Mahfud menegaskan bahwa pendidikan
multikultural sesungguhnya merupakan respons terhadap perkembangan keragaman
populasi sekolah sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.
Pendidikan multikultural mencakup seluruh siswa tanpa membedakan
kelompok-kelompoknya semisal gender, etnis, ras, budaya, strata sosial, dan
agama.[17]
Dalam era yang multikultural ini, persolan hubungan antar agama
masih menyisakan persoalan yang setiap saat bisa merledak dan menjadi konflik
yang menakutkan. Salah satu yang menjadikan kelemahan dalam sistem pendidikan
di Indonesia adalah kurang diikutsertakannya guru agama (guru agama apapun)
dalam proses dialog antar umat beragama. Barangkali yang dijadikan alasan
mereka dianggap kurang penting, tidak punya daya jual, terlalu rendah atau
tidak sederajat untuk diajak dialog mendiskusikan persoalan pluralitas
beragama, tidak memiliki terlalu banyak umat atau tidak mempunyai peran yang
sangat strategis dalam mensosialisasikan ide baru.
Dialog antar umat beragama yang hanya terbatas melibatkan
tokoh-tokoh elit agama , seperti ulama, biksu, pendeta dan pastur, sampai pada
tokoh-tokoh pemuda, wanita, intelektual, mahasiswa dan seterusnya. Namun jarang
sekali forum-forum dialog ini melibatkan guru-guru agama. Guru-guru agama yang
menjadi ujung tombak pendidikan agama nyaris tidak tersentuh oleh gelombang
pergumulan diskursus pemikiran seputr agama. Guru seharusnya memperoleh akses
input serta informasi yang cukup akurat dan tepat mengenai kepelikan dan
kompleksitas kehidupan beragama dalam era kemajemukan dan selanjutnya mampu
memberikan alternatif-alternatif pemecahan yang menyejukkan. Lebih-labih dapat
mengemas ulang pesan-pesan dan nilai-nilai agama yang mereka peluk dalam era
pluralitas. Maka, anak didik dari sejak dini dapat diantarkan untuk memahami
perbedaan(bukan menegasikan dan menolaknya), menghargai serta menghormati
kepercayaan orang lain, bukan malah membenci dan memusuhinya. Sehingga pada
saatnya nanti mereka dapat mengambil sikap dalam menghadapi realitas pluralitas
agama, budaya, ras, suku, dan golongan secara lebih arif, santun, matang dan
dewasa.[18]
Guru agama seharusnya dapat mengemas ulang nilai-nilai agama yang
ada, dengan tanpa menampilkannya dengan bahasa formalitas ke-Araban. Namun
dapat menampilkannya dalam bahasa budaya setempat. Dalam ruang kelas yang multi
agama, dan budaya menampilkan nilai-nilai agama dengan bahasa budaya setempat
akan menimbulkan hal sangat positif. Seorang siswa secara tidak sadar akan
melaksanakan nilai-nilai agama tanpa harus masuk pada wilayah legalitas formal
keagamaan atau dalam arti lain membahasakan agama dengan bahasa yang nyata.[19]
Namun hal ini masih jarang terjadi, kebanyakan guru-guru agama menampilkan
nilai-nilai universalitas keagamaan dengan bahasa ke-Araban dan membawa bentuk
legal formal suatu ajaran.
Kesimpulan
Dari hasil
pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa antara agama dan budaya
daaerah setempat akan menjadi faktor yang sangat dominan untuk melestarikan
tumbuhnya agama. Keduanya merupakan sebuah entitas yang sangat menguatkan.
Budaya akan kuat dengan dukungan agama dan begitu juga sebaliknya. Dengan
masuknya agama kedalam ranah budaya, dimungkinkan akan semakin cepat agama itu
tersebar. Penolakan budaya oleh kaum puritan merupakan sebuah masalah baru yang
harus di selesaikan dengan arif dan didialogkan oleh berbagai pihak. Dalam hal
ini Negara sangat berperan penting.
Seorang guru agama harus paham
sebuah kebudayaan yang ada dalam lingkungan ia mengajar. Guru agama saat ini
nyaris tidak tersentu dalam pergulatan diskursus kebudayaan. Sehingga apa yang
disampaikan di kelas terasa sangat gersang dari unsur budaya anak didik.
Sehingga anak didik merasa gersang akan kebudayaan dan menjadi kemungkinan
mereka akan lupa degan budaya. agama tanpa sentuhan budaya lambat laun hanya
menjadi praktik-praktik yang membosankan.
[1] Wahyana Giri, Sajen
dan Ritual orang Jawai (Yogyakarta: Narasi, 2009) hlm. 15.m
[2] Simuh, Islam
dan Pengumpulan Budaya Jawa (Yogyakarta: Teraju, 2003), hlm. 1.
[4] Sebelum hari raya ketupat ribuan pedagang dipasar menjual ketupat dan sayur
mayur yang diperlukan pada saat lebaran tersebut. Sayur mayur bahkan
didatangkan dari luar daerah seperti Blitar dan Malang. Ini merupakan sebuah
potret adanya denyut nadi perekonomian menjadi lebih baik. Para pedagang banyak
meraup keuntungan yang besar
[5] Fenomena penetangan adat syawalan juga muncul di daerah ini yang dilakukan
oleh kelompok Islam (Wahabi). Mereka menentang orang-orang yang mengadakan
tradisi syawalan sebagai budaya yang
tidak islami. Sehingga tidak jarang menimbulkan polemik di masyarakat.
[8] Bukti
bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang majemuk (plural) dapat dilihat
dari kondisi sosio-kultural-geografis Indonesia yang beragam. Tercatat, jumlah
pulau yang ada di Indonesia sekitar 13.000 pulau, baik pulau besar maupun
kecil. Populasinya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku
yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu, penduduk Indonesia
menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen
Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu serta bermacam-macam aliran kepercayaan. M.
Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural:
Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta:
Pilar Media, 2005), hlm. 4.
[10] Hairus Salim
dan Suhadi, Membangun Pluralisme dari
Bawah, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 16-17.
[18] M.Amin
Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multirelegius (Jakarta:
PSAP, 2005), hlm. 132-133.
[19] Dr. Noorhaedi,
disampaikan pada seminar “ Kontra Terorism, Deradikalisasi dan HAM” di Gedung Convention Hall Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, tgl 22 juni 20011.
No comments:
Post a Comment