sains

Dialektika Antara Sains dan Agama Menuju Kesatuan Keilmuan
Oleh : Zainur Rofik
Dunia mengalami kemajuan dengan berbagai penemuan yang diambang batas. Penemuan-penemuan sains telah menciptakan beragam teknologi canggih yang banyak memberikan manfaat kepada manusia. Hasil yang telah diraih sains telah membuat decak kagum bagi manusia yang telah merasakan langsung manfaatnya. Betapa tidak, dengan sains manusia mampu mengubah segala aspek kehidupan tampak lebih benderang, cepat, mudah, dan menyenangkan.
Namun, disisi lain dengan sains pula manusia mengalami banyak bencana. Sederet fenomena besar yang tersebut di atas, terjadi lantaran adanya sains yang kian hari semakin jauh dari nilai (free value). Sains dan nilai (agama) merupakan dua hal yang terpisah. Keduanya tidak dapat disatukan karena dianggap dapat mengurangi obyektifitas sains dan sakralitas agama. Sains berangkat dari keragu-raguan yang menerapkan konsep kebebasan dalam penjelajahan dunia sains dengan menggunakan metode ilmiah sebagai landasan dalam pencarian kebenaran, sementara agama berangkat dari sebuah keyakinan yang tidak dapat diganggu gugat. Agama dimulai dari keyakinan dengan metode yang dogmatis dan menggunakan teori kebenaran yang doktriner.
Sains dan agama nampaknya semakin jauh berpisah namun. keduanya dapat dipertemukan kembali. Beberapa ilmuwan tersebut sebut saja misalnya, Ismail Raji Al-Faruqi dan Naquib Al-Attas muncul dengan gerakan islamisasi ilmu pengetahuan, M. Amin Abdullah dengan menawarkan konsep integrasi-interkoneksi, A.M. Saefudin, dengan konsep tauqifi dan ijtihadi dan sebagainya.
Agama versus Sains 
Dalam bentangan sejarah, agama dan sains memiliki sejarah kelam, klaim kebenaran yang didengungkan dua entitas, antara agama dan sains tidak sedikit berimplikasi negatif dalam ranah pengembangan ilmu pengetahuan. Pembakaran perpustakaan Iskandaria oleh kaum kristiani akibat dari pandangan bahwa ilmu pengetahuan sama dengan paganisme.[1] Sains dan agama merupakan dua entitas yang sama-sama telah mewarnai sejarah kehidupan umat manusia. Perdebatan sengit antara agama dan sains bukanlah masalah yang baru muncul. Kehadirannya telah ada sekitar dua abad silam, tatkala perkembangan ilmu-ilmu modern terasa semakin “mengancam” kehidupan beragama.[2]
Apabila ditelusuri melalui sejarah, para ilmuwan Barat abad pertengahan pernah terlibat “konfrontasi sengit” dengan kaum agamawan. Hal ini terjadi lantaran dominasi dan hegemoni Gereja yang demikian kuat terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat Barat, termasuk aktivitas ilmiah. Semua aktivitas ilmiah harus sepengetahuan, seizin, dan tunduk pada Gereja. Sanksi hukum bagi ilmuwan yang tidak tunduk pada aturan Gereja sangatlah berat. Dalam lintasan sejarah tercatat bahwa copernicus pernah dihukum mati lantaran mengeluarkan teori Heliosentris, yang meyakini bahwa matahari merupakan pusat tata surya. Teorinya tersebut dianggap menyalahi doktrin Gereja yang mengimani bahwa pusat tata surya adalah bumi bukan matahari.[3] Kemudian pasca copernicus Bruno dengan lantang mengumandangkan teori heliosentrisnya copernicus hingga dia dibakar hidup-hidup oleh kaum pendeta. Demikian juga dengan Galileo yang dipenjara seumur hidup karena ajarannya dianggap menyesatkan dan menyimpang dari ajaran gereja.
agama menempatkan kebenaran tidak hanya meliputi hal-hal yang terjangkau oleh indra tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu yang datangnya dari Tuhan harus diterima dengan keyakinan, kebenaran di sini akan menjadi rujukan bagi kebenaran-kebenaran yang lain. Sains dan agama berbeda[4], karena mungkin mereka berbeda paradigma.
Pada era pasca-pencerahan, yang sering menjadi tema dalam hubungan antara sains dan agama adalah otonomi, bukan konflik. Selama berabad-abad, dinamika sekularisasi telah memindahkan agama dari lingkungan publik ke lingkungan privat dan menekankan pertentangan antara iman dan agama. Banyak penulis dalam sejarah pemikiran Barat yang meninjau dikotomi epistemologis antara pengetahuan religius dan pengetahuan ilmiah, yang masing-masing memiliki wilayah dan metode sendiri. Gilkey, seorang teolog membuat pembedaan antara agama dan sains. Sains mengajukan pertanyaan-pertanyaan “bagaimana” yang bersifat objektif, sedangkan agama mengajukan pertanyaan-pertanyaan “mengapa” mengenai makna dan tujuan di dunia dan tentang asal usul nasib akhir manusia. Sains berupaya menjelaskan data yang bersifat publik, objektif, dan bisa diulang-ulang, sedangkan agama memikirkan eksistensi tatanan dan keindahan dunia serta pengalaman kehidupan batin. Koherensi logis dan adekuasi eksperimental menjadi landasan otoritas sains, sedangkan yang menjadi landasan otoritas puncak dalam agama adalah yang-Ilahi dan pewahyuan melalui pelaku manusia sebagai perantara pencerahan dan wawasan. Sains melakukan peramalan kuantitatif, sedangkan agama menggunakan bahasa simbolis dan analogis.[5]
Dalam pemikiran pihak gereja, perdebatan agama dan sains telah berlangsung selama beberapa fase dan telah menyaksikan lahir dan tenggelamnya sejumlah metodologi. Hampir tak perlu dikatakan lagi bahwa tidak ada pandangan tunggal dan seperangkat perspektif tunggal Kristen tentang hubungan antara agama dan sains. Adapun yang tampak hanyalah pandangan yang konservatis dan liberal. Kaum konservatif menolak jurang yang tak dapat dijembatani antara sains dan agama Kristen, baik dari segi pandangan umum Kristen tentang alam maupun dari segi doktrin Kristen tertentu, seperti penciptaan dan pemeliharaan. Akan tetapi, sejumlah penulis Kristen (terutama pada masa modern), bukannya secara pasif mempertahankan Kristen dari serangan sains sekuler, justru menunjukkan penolakkan yang kuat mengenai pandangan saintis tentang alam dan kehidupan yang sangat tidak akurat. Lebih jauh, mereka menegaskan bahwa ketidakakuratan ini hanya dapat diluruskan malalui pandangan-dunia keagamaan.[6]
Hubungan konflik antara agama dan sains tidak berupa peperangan yang berlangsung secara terus-menerus, melainkan bersifat sporadis, dan biasanya dipicu oleh penemuan ilmiah yang mengancam dogma religius.[7]  Artinya bahwa perseteruan antara agamawan dan ilmuan lebih mengarah pada  soal pengaruh dan kekuasaan. Ini dapat kita lihat jika seandainya membuat satu statemen yang keliru maka secara otomatis fatwa gereja tidak akan lagi dipercaya oleh umat. Maka yang dilakukan Gereja  untuk menyelesaikan hal itu adalah dengan cara menghukum ilmuan.
 Pada tahun 1984, sebuah komisi Vatikan mengakui bahwa para pejabat gereja pada abad ke-17 telah melakukan kesalahan besar karena mengutuk Galileo. Kemudian, pada tahun 1988, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan pernyataan yang menggaris bawahi pentingnya upaya mencari “wilayah bersama” dalam bidang sains dan agama. Menurut Paus, pencarian bersama yang didasarkan atas keterbukaan kritis dan pertukaran pendapat merupakan satu hal yang sangat penting dan harus dilakukan pengembangan yang mendalam secara terus-menerus, baik dalam bentuk maupun cakupannya.[8]
Pergulatan Etika dalam Sains
Etika merupakan salah satu bagian dari teori tentang nilai atau yang dikenal dengan istilah aksiologi. Selain etika yang termasuk dalam kajian aksiologis adalah estetika atau teori mengenai keindahan. Etika sering disamakan dengan moralitas. Moralitas adalah nilai-nilai perilaku-perilaku orang atau masyarakat yang bisa ditemukan dalam kehidupan real manusia sehari-hari, namun belum disestimatisasi sebagai suatu teori. Ketika perilaku-perilaku moral dirumuskan menjadi teori-teori, maka ia disebut etika. Etika mencakup persoalan-persoalan tentang hakikat kewajiban moral, prinsip-prinsip moral dasar apa yang harus manusia ikuti, dan apa yang baik bagi manusia.[9]
Dalam kebanyakan agama di dunia, konsep tentang hukum moral dikaitkan dengan tujuan penciptaan alam semesta, dan kebenaran suatu kegiatan manusia ditentukan atas dasar kesesuainnya dengan tujuan tersebut. Dalam dunia yang tidak memiliki tujuan, nilai-nilai tidak memiliki kerangka rujukan dan hanya merupakan sarana temporer untuk menangani urusan manusia. Landasan yang sebenarnya dari perilaku moral adalah keyakinan kepada sebuah alam semesta yang memiliki tujuan dan tata moral yang mendasarinya.[10]
Sains berurusan dengan kajian tentang alam melalui eksperimentasi, observasi, dan kerja intelektual. Etika digunakan sebagai aturan-aturan perilaku, atau yang disebut nilai-nilai moral. Sains berurusan dengan fakta-fakta empiris, sementara etika berkaitan erat dengan apa yang seharusnya. Atas dasar logika saja, orang tidak bisa menderivasi pernyataan-pernyataan normatif dari pernyataan-pernyataan faktual. Sekalipun demikian, kita yakin bahwa para ilmuwan tidak bisa mengabaikan isu etika, sebab sains dan etika berkaitan baik pada level metafisik maupun level praktis. Jadi, klaim bagi netralitas moral dalam penelitian ilmiah dan penerapan-penerapannya hanyalah ilusi.[11]
Pada masa sekarang, dua pertimbangan utama dalam mengejar sains yaitu; “sains demi sains” dan “sains demi tujuan material dan kekuasaan”. Pandangan materealistik yang dominan, yang mereduksi segala sesuatu ke level materi dan mengecap apapun yang berada di luar sains sebagai tak ilmiah, memandang alam semesta sebagai suatu kebetulan kosmik semata yang tak memiliki makna dan tujuan. Tetapi, pengembangan sains dan teknologi demi sains dan teknologi itu sendiri, dan bebas dari dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan, telah melahirkan krisis serius bagi umat manusia. Akar krisis ini terletak pada penafsiran sekuler yang merata mengenai status manusia di kosmos; pada hubungan yang diasumsikan antara manusia dan makhluk-makhluk lainnya, yakni ilmu pengetahuan dari aturan perilaku. Dengan demikian, sains perlu ditempatkan dalam kerangka yang lebih luas, dalam suatu metafisika yang mendasari, yang memperhatikan semua aspek kehiduapan manusia. Kepedulian ini mencakup hubungan manusia dengan Tuhan dan kosmos, dan pada gilirannya memuculkan isu kebijaksanaan dan nilai-nilai moral, dan mengimplikasikan bahwa harus ada orientasi etika dalam kegiatan ilmiah. Sehingga sains dan teknologi akan menjadi pelayan bagi perkembangan integral umat manusia.[12]
Hubungan antara etika dan ilmu sangat lekat dengan pandangan ilmu bebas nilai (free value) atau tidak bebas nilai (value bond). Mengenai hubungan antara ilmu dan nilai, setidaknya memiliki tiga pandangan. Pertama, berpendapat bahwa ilmu merupakan suatu system yang saling berhubungan dan konsisten dengan sifat bermakna atau tidak bermakna (meaningfull or meaningless) dapat ditentu,kan. Ilmu dipandang semata-mata berupa aktivitas ilmiah, logis, dan berbicara tentang fakta semata. Prinsip yang dipakai adalah science for science. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa etika berperan dalam pembentukan tingkah laku ilmuwan seperti pada bidang penyelidikan, putusan-putusan mengenai baik tidaknya penyingkapan hasil-hasil dan petunjuk mengenai penerapan ilmu, tetapi tidak dapat berpengaruh terhadap ilmu itu sendiri. Dengan kata lain, ada tanggung jawab dalam diri ilmuwan, namun dalam struktur logis ilmu itu sendiri tidak ada petunjuk-petunjuk untuk putusan-putusan yang secara etis dipertanggungjawabkan. Etika baru mulai ketika ilmu berhenti. Sementara pendapat yang ketiga adalah bahwa aktivitas ilmiah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari aspek-aspek kemanusiaan, sebab tujuan utama ilmu adalah untuk kesejahteraan manusia. Ilmu hanya merupakan instrument bagi manusia untuk mencapai tujuan yang lebih hakiki, yakni kebahagiaan umat manusia. Prinsip yang berlaku bukan science for science, melainkan science for mankind, ilmu ditujukan untuk kebaikan umat manusia.[13]

Hubungan antara Sains dan Agama dalam Pandangan Islam
Al-Qur’an bukanlah menerangkan persoalan-persoalan ilmiah, tapi tujuannya adalah memberikan petunjuk kepada manusia demi kebahagiaan hidupnya di akhirat kelak. Ada sekian banyak kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh al-Qur’an, tetapi tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan Ke-Esa-an-Nya, serta mendorong manusia untuk mengadakan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan kepada-Nya. Mengenai ini, Mahmud Syaltut mengatakan dalam tafsirnya: “Sesungguhnya Tuhan tidak menurunkn a-Qur’an untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, problem-problem seni, serta aneka warna pengetahuan”.[14] Akan tetapi, al-Qur’an memperingatkan kepada kita bahwa kajian tentang alam hanya bisa membawa kita dari penciptaan kepada Sang Pencipta jika telah memiliki modal iman kepada Tuhan:[15]
È@è% (#rãÝàR$# #sŒ$tB Îû ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 $tBur ÓÍ_øóè? àM»tƒFy$# âäY9$#ur `tã 7Qöqs% žw tbqãZÏB÷sムÇÊÉÊÈ

Artinya: “Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".


            Menurut M. Quraish Shihab, membahas hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula menunjukkan teori-teori ilmiah yang ada di dalamnya. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.[16] Dalam pandangan Islam, sains dan agama memiliki dasar metafisika yang sama, dan tujuan pengetahuan yang diwahyukan maupun pengetahuan yang diupayakan adalah mengungkapkan ayat-ayat Tuhan dan sifat-sifatnya kepada umat manusia. Jadi, kita bisa mempertimbangkan kegiatan ilmiah sebagi bagian dari kewajiban agama, dengan catatan bahwa ia memiliki metodologi dan bahasanya sendiri.[17]
            Jadi, jika seorang ilmuwan mendekati alam dengan iman kepada Tuhan, imannya akan diperkuat oleh kegiatan ilmiahnya. Jika tidak demikian, kajian tentang alam tidak dengan sendirinya akan membawa kepada Tuhan. Hal ini disebabkan oleh kegiatan ilmiah selalu disertai dengan praanggapan-praanggapan metafisik dari si ilmuwan meskipun dia mungkin tidak menyadarinya. Jadi, kajian kealaman hanya bisa membawa orang kepada Tuhan jika kerangka kerja metafisiknya bersesuaian.
            Seorang ahli fisika juga ahwa persinggungan antara sains dan agama juga dapat dicermati dari adanya persinggungan antara iman sebagai elemen agama dan akal sebagai elemen utama sains. Pengadilan yang dilakukan pihak gereja terhadap Galileo Galilei. Padahal, menurut Barbour, titik pokok persoalan ini berpangkal dari penafsiran terhadap al-Kitab, maka kitab Suci ipni harus ditafsirkan secara qiyas.  Menurutnya masalah yang perlu dikaji lagi adalah persoalan antara pengalaman dan interpretasi dalam agama.  Beberapa hal yang dapat ditarik dari tema itu adalah bahwasanya dalam pandangan Barbour struktur dasar pengalaman dan interpretasi dalam agama dapat disejajarkan dengan yang ada dalam sains. [18]
            Jika kita tarik kesimpulan dengan memakai pemahaman Barbour, sangat mungkin sekali mendialogkan antara sains dan agama. Kemudian langkah selanjutnya adalah membangun teori baru yang sesuai dengan kemajuan sains tetapi juga harus berpijak pada teologi yang ada pada masa klasik yang syarat dengan nilai. Integrasi yang lahir dari rahim agama akan menghasilkan suatureformasi sains yang sangat bijak.
Sains Islami
Disisi lain keberadaan sains modern memiliki keberadaan  yang jelas dan gamblang. Tanpa sains modern, pabrik-pabrik tidak akan dapat berproduksi, tentara tidak akan dapat berperang dan penyakit tidak dapat dibasmi. Pesawat-pesawat jet mampu menembus jantung benua satu dengan yang lainnya. Sains sangat meungkinkan adanya penhubung antara planet yang satu dengan yang lain. Diciptakannya jenis varietas baru  dari  tumbuan maupun binatang. Dalam masyarakat industri, sains menentukan kehidupan penduduknya.  Membentuk cara pandang dan kebiasaan berpikir mereka dan bahkan mempengaruhi hubungan antar manusia. Sebagian diantaranya disesalkan  dan sebagian lagi diterima lagi dengan baik. Tetapi tidak ada seorangpun yang membantah bahwa kekuatan sains modern adalah nyata dan sangat besar. [19]
Sedangkan sains Islam, meskipun selama beberapa abad telah beredar argumen-argumen bersemangat yang menjelaskan mengapa sains Islam itu harus ada dan meskipun konferensi besar telah dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut namun usaha itu belum menampakkan keberhasilannya.[20]banyaknya kontroversi dengan sains islam melingkupi masalah paradigm dan para saintis muslim yang nampaknya meletakkan sains mengarahkan penelitiannya pada masalah yang ada di luar sains, menjadi penyebab belum munculnya sains islam.
Usaha yang harus dilakukan adalah melakukan dialog. Dialog sebagai model untuk menghubungkan sains dan agama mencakup pertanyaan-pertanyaan seputar batas dab kesejajaran metodologi, walau sains mengungkapkan kepada kita banyak hal tentang dunia, ada beberapa pertanyaan yang terletak diujung atau batas sains yaitu pertanyaan yang ditimbulkan sains, tetapi ia sendiri tidak pernah mampu menjawabnya. Apabila alam semesta memiliki awal, apakah yang terjadi sebelum itu? Mengapa kita merasakan belas kasihan altruisme? Mengapa alam semesta  itu ada? Pihak lain mengklaim, cara-cara yang digunakan sains untuk menguji teorinya tidak seluruhnya berbeda dari yang digunakan teologi. Keduanya menggunakan data (fakta-fakta empiris untuk sains; kitab suci, pengalaman religius, liturgi untuk agama), keduanya melibatkan komunitas cendekiawan yang bekerjasama untuk menemukan apa yang benar, keduanya menggunakan akal dann juga nilai-nilai estetika untuk memilih dari sekian banyak teori yang bersaing satu dengan yang lain ( dalam teologi, teori disebut “doktrin”) dan seterusnya.[21]
Dalam menjembatani antara agama dan sains Barbour, mencoba memetakan empat mazhab tentang hubungan sains dan agama yaitu Konflik, Independensi, Dialog dan Integrasi.[22] Penjabaran hal tersebut terbukti cukup memadai untuk membaca lengkap isu, gagasan, usulan solusi yang terbentang dalam wacana seputar hubungan agama dan sains. Barbour dalam langkah selanjutnya, menerapkan tipologi empat kategori ini ke dalam disiplin-disiplin keilmuan yang sering memunculkan isu-isu krusial dalam konteks hubungan sains dan agama: evolusi, kosmologi, fisika kuantum, genetika dan neurosains.[23]
Ian G. Barbour melihat bahwa pada beberapa abad terakhir telah terjadi pergeseran paradigma dalam memberi penilaian hubungan keduanya tidak lagi setegang dahulu, tetapi telah terjadi persentuhan antara keduanya, persentuhan agama dan sains dalam beberapa dekade terakhir seiring perkembangan paradigma ilmu pengetahuan dan agama menyepakati bahwa kedua entitas ini mampu saling meneguhkan, mendukung, menghidupkan satu dengan lainnya.
Pentingnya topik penelitian yang dilakukan Ian G Barbour adalah mampu menyuguhkan suatu paparan yang menarik tentang metode-metode sains, dalam upaya melakukan ‘dialog’ antara sains dan agama, karena menurutnya, studi sains tidak selamanya bersifat obyektif, dan memandang metode-metode dalam agama ternyata bersifat lebih rasional daripada bersifat dogmatis. Artinya bahwa sains dan agama akan menjadi saudara yang satu dapat menguatkan yang lain. Sehingga konflik yang selama ini muncul akan hilang dengan mencari titik temu antara sains dan agama. Pada bagian akhir, Barbour menjelaskan pola relasi antara konsep ilmiah dengan realitas, dengan menelaah pandangan paham positivisme, instrumentalisme, idealisme, dan realisme.[24]
Realitas pendidikan Islam menuju integrasi keilmuan
Paradigma ilmu yang diikuti masyarakat Indonesia yang dikotomik ternyata berdampak pada terjadinya ketimpangan pengembangan keilmuan yang mengarah pada ilmu yang sekularistik dan ilmu yang fundamentalistik. Konsekwensi logis yang harus diambil dengan adanya hal ini terbentuknya karakter pendidikan yang mendua. Untuk menyatukan ilmu agama dan umum supaya membentuk sebuah kesatuan dibutuhkan paradigma baru. Memang, apabila di telisik kebelakang, pendidikan Islam  yang ada di Indonesia  lahir dari, dan untuk masyarakat Indonesia.  Lembaga pendidikan Islam tidak dapat digantikan oleh lembaga pendidikan lain, karena mempunyai visi, misi dan karakteristik yang sangat spesifik.
Pada masa pemerintah kolonial, sesuai dengan misi kolonial pendidikan Islam dianaktirikan. Pendidikan Islam dikategorikan sebagai sekolah liar. Bahkan, pemerinltah kolonial telah melahirkan peraturan-peraturan yang membatasi bahkan mematikan sekolah-sekolah partikuler dengan mengeluarkan peraturan yang terkenal wide schoolen ordonantie tahun 1933.[25] Akibat dari perlakuan yang negatif dari pemerintah kolonial, maka pendidikan Islam mengahadapi kesulitan dan terisolasi dari arus modern. Selanjutnya dimasa kemerdekaan, tidak sendirinya pendidikan Islam dimasukkan kedalam system pendidikan nasional. Organisasi penddikan Islam terus hidup tetapi tidak memperoleh perhatian sepenuhnya dari pemerintah. Lembaga-lembaga pendidikan Islam terus hidup meski dalam keadaan yang sangat sederhana dan apa adanya.[26]
Perhatian pemerintah mulai ditunjukkan pemerintah setelah adanya SKB 3 menteri pada tanggal 24 maret 1975 yang mengatakan bahwa kedudukan madrasah sama dengan kedudukan sekolah formal lain.[27] Kemudian diikuti dengan UU. No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Didalam UU tersebut madrasah diakui sebagai sub sistem pendidikan nasional sebagaimana di dalam PP No. 28 Tahun 1990 tentang pendidikan dasar dan PP No. 29 tentang pendidikan menengah. Masuknya madrasah sebagai sub- pendidikan mempunyai berbagai konskwensi. Antara lain dimulainya suatu pola pembinanan yang mengikuti satu ukuran yang mengacu kepada sekolah-sekolah pemerintah. Madrasah mengikuti kurikulum nasional serta ikut dalam UNAS dan berbagai peraturan yang diatur oleh Diknas.[28]
            Dualisme yang terjadi dalam tubuh lembaga pendidikan Indonesia melaju begitu saja. Hampir disemua lini pendidikan, kesemerawutan dalam bidang menejemen berdampak pada mpembinaan sekolah yang ada pada naungan Depag. pembinaan yang bersifat dualistik sangat merugikan sekolah-sekolah yang berada dibawah naungan Depag. dapat dikatakan integrasi yang ada pada madrasah dengan sekolah umum hanya terbatas pada keseteraan dalam bidang struktur dan muatan kurikulum. Usaha menegerikan madrasah merupakan jembatan untuk memajukan lembaga pendidikan dibawah naungan Depag. Bantuan guru-guru negeri yang diperbantukan di Madrasah adalah faktor penopang untuk menjadikan madrasah lebih maju dan tetap eksis.
            Namun integrasi lembaga pendidikan Islam hendaknya tetap mempertimbangan tiga kepentingan.pertama, kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama umat Islam. Yakni, sebagai wahana untuk membangun ruh dan praktik hidup islami. Kedua, kebijakan itu harus memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian dan produktif setara dengan sistem sekolah. Ketiga, kebijakan itu harus dapat menjadikan madrasah mampu merespons tuntutan masa depan.[29]
Maraknya kenakalan remaja dari tawuran hingga kasus terakhir di Situbondo (arisan PSK), semakin memantapkan langkah Lembaga Pendidikan Islam untuk menunjukkan pilarnya sebagai Lembaga yang mengintegrasikan antara ilmu sekuler dan agama. Pendidikan Islam dituntut bertanggung jawab terhadap generasi masa kini. Muhtar Buchori melihat perlunya pendidikan membekali peserta didik dengan the basics (kemampuan dasar) yang ditandai dengan tiga keseimbangan yaitu (1) keseimbangan antara jasmani dan rohani, (2) keseimbangan antara pengetahuan alam, eksakta dengan pengetahuan sosial budaya, (3) keseimbangan antara pengetahuan tentang masa kini dan masa yang akan datang. [30]  
Peranan guru, merupakan faktor yang sangat penting. Dalam tradisi Islam, peserta didik disarankan untuk tidak tergesa-gesa dalam belajar pada sembarang guru. Tapi, perlu dicermati dalam lembaga paendidikan, faktor  keluarga seringkali di dahulukan dalam perekrutan tenaga pengajar.  Hal ini bukan hanya terjadi pada masa sekarang namun, telah menjalar di zaman abad pertengahan, di Kairo sendiri terjadi (family connection) hubungan kekerabatan mempunyai kaitan dengan perekrutan tenaga administrasi dan pengajar.[31] Sisi negatif dari perekrutan ini adalah terjadinya pengesampingan profesional seorang guru dan lebih mengutamakan relasi. Keadaan seperti ini sering ditemuai pada lembaga pendidikan termasuk Depag. Sudah saatnya para pengelola lembaga ini bersikap amanah dalam menjalankan tugasnya demi tercapainya tujuan yang dicita-citakan.
kesimpulan
Dengan melihat pembacaan diatas maka tampak dengan jelas bahwa antara sains dan agama akan dapat di dialogkan merupakan hal sangat mungkin sehingga antara satu dan yang lainnya tidak menimbulkan konflik. Pandangan yang mengagungkan ilmu pengetahuan dan merendahkan agama merupakan sebuah kesalahpahaman yang harus dihilangkan.  Agama tidak hanya mengatur hubungan dengan hal-hal yang gaib saja. Melainkan agama di gunakan untuk mengatasi realitas. Orang-orang Barat kadang kurang menyadari bahwa sains yang mereka temukan adalah bersumber dari Tuhan yaitu berangkat dari mimpi, imajinasi. Tapi, mereka kurang menyadarinya dan mengatasnamakan akal saja yang menjadi faktor utama.
Untuk mengakhiri konflik yang terjadi antara sains dan agama jalan yang terbaik adalah melakukan dialog. Dialektika antara sains dan agama tidak hanya untuk mendamaikan antara kedua belah pihak, melainkan untuk mencapai etika, dan ketika etika itu muncul dari sains maka kehidupan akan terpelihara dengan baik. Dalam hubungannya dengan pendidikan ke-Islaman padangan yang menyatakan hanya ilmu-ilmu keislaman saja yang perlu dikaji merupakan sebuah kekeliruan besar. Maka jalan yang harus ditempuh adalah mempelajari semua keilmuan agar tercapai keseimbangan antara Agama dan sains.


[1] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin & Peradaban (Jakarta Selatan: Paramadia, 2008), hlm. xix.

[2] Zainal Abidin Bagir, “kata pengantar” dalam Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. xssi.
[3] Amin Abdullah, “Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama”, dalam Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum, Jarot Wahyudi, dkk. (ed.), (Yogyakarta: Suka Press, 2003), hlm. 3.
[4]  Baca: M. Amin Abdullah,”Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama (Dari Paradigma Positivistik-Sekjularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik)”, dalam Amin Abdullah, dkk., Integrasi Sains Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains (Pilar Relegia dan SUKA Press, Yogyakarta, 2004), hlm. 3. Selain itu, ”banyak pemikir sangat yakin bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Menurut mereka, apabila saudara seorang ilmuwan, sulitlah membayangkan bagaimana saudara secara jujur juga dapat serentak saleh-beriman, setidak-tidaknya dalam pengertian percaya akan Tuhan. Alasan utama mereka bahwa agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas. Sedangkan sains dapat melakukan hal itu, yaitu dapat membuktikan kebenaran temuannya John F. Haught, 1995, ”Science and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York, terj. Fransiskus Borgias, 2004, ”Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, Mizan, Bandung, hlm.2. 
[5] Audrey R. Chapman, “Sains, Agama dan lingkungan”, dalam Audrey R. Chapman, dkk, Bumi yang Terdesak: Perspektif Ilmu dan Agama Mengenai Konsumsi, Populasi, dan Keberlanjutan, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 23-24.
[6] Mustansir Mir, “ Perspektif Kristen tentang Agama dan Sains dan Signifikansinya bagi Pemikiran Muslim Modern”, dalam Ted Peters, dkk, Tuhan, Alam, Manusia: Perspektif Sains dan Agama, (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 126.
[7] Dengan beberapa pengecualian, berupa sekelompok kecil kaum literalis alkitabiah, sebagian besar kaum religius zaman modern, setidak-tidaknya yang berada di Barat, sudah tidak lagi mencoba melakukan temuan-temuan ilmiah, Ibid, hlm. 24.
[8] Ibid., hlm. 24-25.
[9] Bachri Ghazali, dkk, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pokja Akademik Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 120.
[10] Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 86.
[11] Ibid., hlm. 87-88.
[12] Ibid., hlm. 92.
[13] Bachri Ghazali, dkk, Filsafat Ilmu, hlm. 124-125.
[14] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 51
[15] Mehdi Golshani, Melacak Jejak…, hlm. 8.
[16] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung; Mizan, 2007), hlm. 41.
[17] Mehdi Golshani, Melacak Jejak…, hlm. 8.
[18] Maftukhin dkk, Nuansa Study Islam Sebuah Pergulatan Pemikiran, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 215.
[19] Perves Hodboy, ikhtiar menegakkan Rasionalitas antara Sains dan ortodoksi Islam, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 139.
[20] Ibid.,140
[21] Eko Muliadi, Metode-Metode dalam Penyelidikan Ilmiah dan Agama, disampaikan pada diskusi kelas pada tgl 20 januari 2013.
[22]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama,terj. E. R. Muhammad (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 40-42.
[23] Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, terj. Fransiskus Borgias. M (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 33.
[24]  Ian G Barbour, Isu Dalam Sains Dan Agama, terj. Damayanti & Ridwan (Yogyakarta: UIN Suka, 2006), hlm. 187-237.
[25] H.A.R. Tilaar,Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 169.
[26]Abdul Rahman Saleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) , hlm. 67-68.
[27]A. Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, cet II, (Bandung : Mizan, 1999), hlm. 7.
[28] Abdul Rahman Saleh, Madrasah.,hlm. 69.
[29] A. Malik Fajar, Reorientasi PendidikanIslam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999),  hlm. 95-96.
[30] Muhtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 40-41
[31] Jonathan Berkey,The transmission of  Knowledge in Medieval  Cairo: A Social History of Islamic Education , (Pricenton: Princenton University Press, 1992),  hlm. 120.

No comments:

Post a Comment