Saturday, March 9, 2013

outsider dan insider dalam studi agama dan umum



Insider / outsider Perspective in Religious and Islamic Studies
Oleh: Zainur Rofik

Abstrak
Kajian kim knott memberi tawaran baru dalam studi agama. Hal ini muncul karena banyaknya kendala yang dialami oleh para akademisi di berbagai perguruan tinggi seputar studi agama, mulai stagnasi metodologis dan pendekatan.  Apakah para pengkaji Islam dari outsider benar-benar objektif, dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki validitas data dari sudut pandang insider. Maka dari itu, Kim Knott memberikan tawaran baru dengan pendekatan spasial
Kata kunci: insider, outsider dan teori spasial

A.    Pendahuluan

Pertarungan wacaan antara antara barat dan timur tidak akan pernah selesai untuk dibahas. Islam dan Barat rupanya telah memiliki muataan konseptual ideologis, sebagaimana juga istilah orientalisme yang memiliki konotasi negatif karena dinilai memiliki agenda  tersembunyi dari para intelektual Barat non Muslim yang sengaja mempelajari Islam dan dunia Islam disertai niat yang tidak tulus atau bahkan sengaja mencari kelemahan Islam dalam rangka penaklukan. Jika dicermati, secara intelektual akademis barangkali perhatian sarjana-sarjana Muslim terhadap Barat( tradisi Kristiani) tidak seimbang apabila dibandingkan dengan perhatian intelektual Barat terhadap Timur (Islam). Posisi yang tidak seimbang ini pada akhirnya memunculkan setereotip-setereotip yang meuncul dari ketidaktahuan dan sikap penuh dengan prasangka negatif  tentang Islam.[1]
            Kesulitan menjadikan agama sebagai bahan kajian, mengikuti pendapat Wardenburgh, paling kurang berawal dari dua hal. Pertama,  mengkaji berarti melakukan objektivasi, atau penjarakan terhadap objek kajiannya. Dalam kajian terhadap agama, objektivitas bukan hanya kepada pihak lain, teteapi juga pada diri sendiri. Setiap manusia akan memiliki keterlibatan dengan aspek keagamaan., dalam kontinum positif hingga negatif, dengan mengambil komitmen agama tertentu sampai menolaknya sama sekali. Untuk benar-benar mampu melakukan objektivasi terhadap kesadaran diri sendiri, tentu tidak hanya memrlukan keseriusan usaha, melainkan juga latihan dan ketekunan. Kedua, agama secara tradisional dipahami sebagai sesuatu yang suci, sakral dan agung.  Menempatkan hal-hal semacam itu sebagai objek netral akan dianggap mereduksi, melecahkan atau bahkan merusak nilai tradisional agama.[2]
            Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, paradigma pemahaman tentang agama mengalami pergeseran kearah yang lebih luas. Dari dahulu yang terbatas pada “idealitas” kearah “historisitas”, dari yang hanya pada “doktrin” kearah entisitas “ sosiologis”, dari diskursus “esensi” kearah “eksistensi”. Dalam pergaulan dunia yang semakin terbuka dan transparan, orang tidak dapat dipermasalahkan dalam melihat fenomena “agama” secara aspektual, dimensional dan bahkan multi dimensional approaches.[3]
            Studi agama merupakan salah studi yang memilik posisi penting dalam pengembangan keilmuan. Dalam makalah ini, studi agama yang dimaksud lebih menjurus agama sebagai religious lives atau kehidupan keberagamaan yang berbeda jauh dengan theologi keagamaan.[4] Kajian agama sangat berbeda degan kajian-kajian yang lainnya, kajian agama selalu memunculkan hal-hal baru. Knott dalam tulisannya menyebutkan bahwa hal ini muncul karena agama merupakan wilayah yang tidak mudah diakses bagi  orang luar.  Pada tahun 1991 para sarjana Barat mengkaji mengenai Sikhism, McLeod Darshan Singh menyatakan:
“para penulis Barat berusaha untuk menafsirkan dan memahami Sikhism sebagai outsider. Yang paling penting, agama adalah sebuah area yang tidak mudah dipahami oleh outsider, orang asing atau partispan. Agama secara mendalam tidak dapat dipahami kecuali oleh partisipan dengan mematuhi beberapa syarat”.[5]

            Pembahasan outsider dan insider sebagaimana yang ditulis oleh Kim Knott muncul karena dilatar belakangi oleh kajian tentang Sikh pada tahun 1980-an di India. Yang ditandai dengan adanya perdebatan seputar motivasi dan kontribusi para sarjana yang menulis agama Sikh. Sehingga muncul pertanyaan siapa yang dianggap memahami dan merepresentasikan Sikh?, kepentingan-kepentingan politis apa yang melatar belakangi hal itu?, serta pendirian epistemology para pengkaji tersebut.[6]
            Persoalan utama dalam insider dan outsider adalah persoalan obyektifitas dan subjektifitas. Persoalan ini sangat menarik dalam studi ilmu-ilmu sosial, termasuk dalam studi fenomena keagamaan masyarakat. Karena antara peneliti dan obyek yang diteliti (masyarakat) punya cara pandang dan pengalaman yang berbeda. Hal ini tidak mudah, sehingga diperlukan partisipasi dari masyarakat.
B.     Insider dan outsider
sebelum masuk pada pembahasan yang lebih dalam, disini perlu dijelaskan pengertian insider dan outsider. Insider adalah para pengkaji agama yang berasal dari agamanya sendiri (orang dalam). Sedangkan outsider adalah para pengkaji agama yang bukan penganut agama yang bersangkutan. Yang menjadi persoalan adalah apakah dari kalangan insider maupun outsider dalam penilaian benar-benar obyektif dan bisa di pertanggungjawabkan, karena latar belakang dan jerat histosris yang melekat pada insider maupun outsider. Banyak kalangan yang menaruh pandangan negatif pada pendapat outsider. Adanya indikasi kecurigaan bukannya tanpa alasan, banyaknya kepentingan-kepentingan Barat terhadap Islam  adalah salah satu bentuk jerat propaganda politik untuk terus menguasai wilayah negara Islam dan menguatkan akar pendudukan pada wilayah tersebut.
Dari gambaran diatas memberikan indikasi bahwa banyak analisis dari kalangan outsider yang tidak bisa di terima oleh insider,[7] dan begitu juga banyak analisis insider yang dipandang sebelah mata oleh outsider karena adanya subjektifitas yang menjerat insider. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut hanya akan menimbulkan miss-understanding yang dapat berujung pada konflik. Ketidakpuasan dalam menghadapi kenyataan yang ada, para pakar dan peneliti berusaha mengidentifikasi dan menyusun bangunan teori untuk memecahkan persoalan seputar studi agama. Ditengah-tengah keadaan itu Kim Knott melontarkan gagasan untuk mengatasi kebuntuan dan akan dibahas dibawah ini.
1.      Permasalahan (kegelisahan akademik)
Kegelisahan akademik Kim Knott diawali dengan persoalan yang dialami oleh mahasiswa yang menempuh studi agama adalah pengembangan pemahaman agama. Dalam studi agama mereka memahami riwayat hidup orang-orang yang beragama dan posisinya pada saat ini adalah sebagai outsider.  Akan tetapi mahasiswa juga bisa menjadi insider dalam kasus yang lain. Yaitu, ketika mereka memiliki pengalaman subjektif tersendiri mengenai agama yang mereka gambarkan dan yang mereka tulis. Kemudian muncul pertanyaan selanjutnya, dapatkah kita memahami persoalan mendalam tentang pemahaman keagamaan seseorang? Apa bedanya antara pendapat insider dan outsider tentang agama? Apakah ada jurang pemisah antara orang yang menulis riwayat hidup (pengalaman keagamaan) dengan mereka yang membaca riwayat hidup (pengalaman agama orang lain)?
Melihat hal diatas berarti ada beberapa kegelisahan akademik kim knott yang dapat dipetakan. Pertama,sangat sulit membuat batas antara wilayah agama dan yang bukan. Kedua, adanya kesulitan antara memahami agama sebagai tradisi dan keimanan. Ketiga, terjadinya stagnasi metodologis dan pendekatan dikalangan akademisi mengenai agama. Mereka dituntut se obyektif mungkin dalam memahami agama disisi lain, mereka harus meletakkan agama dalam nilai transendensi yang harus di junjung tinggi. Tapi yang menjadi pokok permasalahan utama adalah objektifitas,  Inilah kegelisahan akademik knott.
2.      Pentingnya topik penelitian
Pentingnya topik ini dibahas adalah untuk mengetahui objektifitas penelitian. Adanya klaim-klaim kebenaran dan absolusitas keyakinan yang datang dari insider dinilai sebagai hambatan teologis. Truth claim ketika berada dalam wilayah metafisik-teologis ini dianggap wajar dan bahkan menjadi sebuah keharusan dalam sebuah tradisi agama, tetapi membawanya pada ranah fenomenologi keagamaan akan menjadi masalah.  Masalah yang dihadapi oleh insider dalam mengkaji agamanya adalah sikap netral  dan obyektif. Namun yang sering terjadi adalah kecenderungan subjektifitas insider. Begitu juga dengan outsider, dengan adaanya beberapa kepentingan yang muncul dari outsider menjadikan penelitian yang dilakukan bias dengan berbagai macam kepentingan. Ini berarti bahwa seorang peneliti tidak mungkin lepas dari jerat historisnya sendiri. Maka dari itu, tidak bisa untuk mengatakan bahwa ada seorang peneliti yang benar-benar obyektif mutlak. Oleh karena itu Kim Knott mencoba untuk berusaha menuju pada penelitian yang objektif dengan menggunakan gagasannya yang akan dibahas berikut ini.
3.      Hasil penelitian terdahulu
Kim Knott telah menelaah karya-karya penelitian terdahulu sebelum memberi tawaran barunya dalam studi agama, diantara karya-karya yang di baca seperti Mircea Eliade, Rudolf Otto, Wilfred C. Smith, Cornelius Teile, Van der Leeuw, Kenneth Pike, Ninian Smart dan lain-lainnya. Berangkat dari karya-karya ini maka Kim knott mencoba untuk memberikan tawaran pemikiran terhadap studi agama. Memcahkan problem-problem dalam penelitian agama yang selama ini terdapat kendala dikalangan akademisi maupun penganut agama itu sendiri.
4.      Tawaran Kim knott
Metode-metode dalam penelitian agama terdahulu seperti munculnya orientalisme dan oksidentalisme, insider dan outisder  masih belum bisa menampakkan objektifitas penelitian, sehingga Kimm knott memberikan tawaran baru mengenai hal tersebut. Dia menuliskan ada 4(empat) kategori dalam persoalan ini, yaitu partisipan murni, peneliti murni, peneliti sebagai partisipan, partisipan sebagai peneliti.
outsider                                                                                                                             insider
Etik                                                                                                                                      emik   
Complete observer
Observer as participant
Participant as observer
Complete participant
 







a.   Pertama, Complete Participant (partisian murni),
mereka adalah para sarjana  yang menulis agama mereka sendiri, seperti sarjana Theologi, mufti, pendeta dan sebagainya. Bagi mereka objektifitas bukan merupakan sesuatu yang penting dan menjadi tujuan utama. Mereka melakukan hal ini adalah untuk mengembangkan keilmuan dalam kepercayaan mereka sendiri. Kim Knott mengambil contoh Fatimah Mernisi dalam hal ini. Mernisi adalah seorang insider yang kritis dalam memahami Islam. Mernisi menulis sebuah gagasannya dengan tujuan untuk meluruskan dan memperjuangkan hak-hak perempuan yang mempunyai tradisi kelam terhadap perempuan di dunia Islam.
Fatimah Mernisi merupakan seorang insider yang aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan meski banyak kalangan menentangnya dan menyebut dirinya sebagai pembohong syari`ah. Fatimah Mernisi dalam pandangannya menjelaskan bahwa konsep demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan dan partisipasi dalam ranah politik tidak diambil dari nilai Barat, namun diambil dari nilai Islam sendiri. Kim Knott mengutip pendapatnya dalam statemen yang ditulis oleh Fatimah mernisi sebagai berikut:
We Muslim women can walk into modern world with pride, knowing that the quest for dignity, democracy, and human right, for full participation in the political and social affairs of our country, stems from no imported Western values, but is true part of the Muslim tradition.[8]

b.   Peneliti murni (complete Observer)
Yaitu para sarjana yang meneliti keagamaaan dari sisi luar secara penuh dan menjauhkan diri dari partisipasi. Posisi yang kedua ini biasanya ada dalam kajian sosiologi dan psikologi agama. Sebagian sarjana menggunakan sikap kedua ini biasanya membuat bangunan pertanyaan yang terstruktur terhadap responden atau informan. Peneliti mengamati gejala-gejala keagamaan dan menganalisis jawaban dari responden atau informan dari sisi luar (critical distance) dengan menggunakan frame keilmuan tertentu.  Festinger, Riecken dan Schaster telah melakukan hal tersebut di tahun 1956.
Sikap ini ditandai dengan perspektif etik dimana dalam kajian ilmu sosial menjelaskan tentang perilaku keagamaan yang berasal dari keyakinan. Dalam perspektif ini, prinsip dasar dari ilmu pengetahuan adalah netralitas, objektifitas, menunjukkan validitas hasil dan melakukan generalisasi dair hasil-hasil itu. Pendekatan kuantitatif tidak tepat untuk complete observer ini. Dalam mengadakan penelitian mereka mengambil peran-peran insider sebagai informan tetapi penelitiannya tidak diketahui oleh insider. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk menghindari rekayasa kelompok yang diteliti. [9]
c.    Observer as participant
Eileen Berker menolak penelitian dengan model complete observer yang dilakukan secara tersembunyi, dengan alasan praktis ataupun etis. Disebabkan dia bukan seoran moonie (non sektarian) dan tidak mau berpura-pura sebagai penganut salah satu sekte. Ketika meneliti kaum Moonie (persekututan gereja), dia hidup di pusat gereja, bercakap-cakap dengan mereka, mendengarkan sebagai anggota dan sekaligus memberikan pertanyaan-pertanyaan pada mereka. Dengan sikap sebagai partisipan ini, Eilen Berker bisa memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tidak semestinya bisa ditanyakan oleh peneliti yang bukan anggota Moonie. Lebih dari itu informasi-informasi tentang Moonie bisa dilacak dari para mantan anggota. Hal ini dinilai sangat penting karena untuk mengetahui kelemahan Moonie tersebut. Sudah menjadi kebiasaan bahwa ketika dia keluar dari keanggotaan pasti ada hubungan buruk dengan instansi atau tokoh dalam persekutuan itu.  Dengan masuk sebagai anggota Moonie secara langsung akan memilki hak bertanya dan mendengar. Disamping mengetahui data anggota Moonie yang selanjutnya untuk dimintai keterangan. [10]
            Barker meminjam pola pendekatan Mark Weber dalam meneliti kaum Moonie. Verstehen merupakan proses penelitian dimana seorang peneliti mengambil pemahaman dan kesimpulan dari perspektif yang diteliti.[11] Niniam Smart menggunakan metode agnostisisme yang menjelaskan pentingnya netralitas dam keluar dari truth claim dalam penelitian agama. Metode ini kemudian dilanjutkan oleh Barker hingga pada akhirnya mendominasi studi agama pada era 1970-an sampai 1980-an.[12]

d.   Partisipan sebagai peneliti
Yaitu partisipan yang mengambil peran sebagai observer ditengah keagamaan mereka sendiri. Mereka lebih mengutamakan pemikiran kritis ketimbang sebagai partisipan penuh dalam kehidupan keberagamaan mereka. Kimm Knott membarikan contoh peneliti yang masuk dalam wilayah ini adalah Samuel Heilman, sosiolog dan modernis Yahudi tahun 1980-an. [13] para sarjana agama dalam kategori ini menganggap bahwa insider yang meneliti agamanya sendiri secara kritis dan adil adalah sangat mungkin. [14] mereka orang yang menulis dan meneliti agama mereka sendiri seoalah-olah sebagai peneliti yang obyektif dan kritis. Sikap yang demikian dilakukan tidak lain untuk memberikan pemahaman tentang agama mereka kepada outsider agar bisa dimengerti, baik tentang keyakinan-keyakinan atau praktek keagamaan.

5.      Pendekatan Spatial dalam Studi Agama
Bercampur aduknya aspek doktrinal-teologis dalam pergumulan kultural sosiologis menambah semakin rumitnya persoalan kegamaan pada wilayah historisitas kemanusiaan. Mana yang doktrin(yang bersifat normatif), dan mana pula yang disebut interpretasi seseorang atau kelompok yang terhadap doktrin yang sering kali termuati atau tercampur oleh kepentingan kepentingan kultural-sosiologis, yang mana pada banyak kasus sangat sulit untuk dibedakan.[15] Bagi para peneliti untuk melerai atau setidaknya menjernihkan bercampur aduknya dimensi doktrinal-teologi dan kultural sosiologi perlu dengan menggunakan pendekatan spasial.
Berangkat dari pandangan para ahli, menyatakan ada hubungan antara agama, budaya dan masyarakat. Kim Knott pada tahun 2001 mulai mengembangkan metode ilmiah dengan pendekatan spasial untuk menganalisis lokasi agama dalam masyarakat. Kim knott melihat perbedaan ketika agama yang berada di suatu organisasi, pergerakan, masyarakat, tempat-tempat ibadah. Pertanyaan besar Kim Knott adalah mengapa agama itu berbeda padahal berasal dari sumber yang sama? Dan bagaimana agama mengambil tempat dalam dimensi tersebut?.[16]
Pendekatan spasial Kim Knott berangkat dari teori ruang Martin Heiddeger, Maurice Merleau-Ponty, edward Cassey dan Cristopher Tilley. Dari teoriteori teori-teori tersebut Knoot mengembangkannya dan diterapkan pada seputar lokasi agama. Unsur-unsur tersebut adalah: 1). Tubuh sebagai sumber dari ruang, 2) Dimensi ruang, 3). Sifat ruang , 4).aspek ruang dan 5). Dinamika ruang.[17] Penjelasan tubuh sebagai sumber ruang adalah seseorang dapat melakukan penafsiran berkaitan dengan lingkungan, sifat dan pola hubungan masyarakat serta nilai kesakralan dalam masyarakat. [18] dimensi ruang dimana dalam dimensi tersebut individu dan sosial serta perbedaan budaya membaur menjadi satu kesatuan. Perbedaan tempat akan berpengaruh pada budaya dan disitu terdapat reproduksi budaya dan agama yang baru. [19] sifat ruang adalah bukan sebuah gambaran ruang yang kosong. Ruang yang dimaksud disini adalah multi dimensi. Dimana disitu ada jaringan ekonomi antar negara, budaya dan bahasa menjadi satu dan saling membentuk jaringan.[20] Aspek ruang, dalam aspek ruang ada tiga hal yang saling terkait dimana ruang itu dipahami, dirasakan dan dan ditempati oleh orang-orang. [21] dinamika ruang adalah sangat terkait dengan kekuasaan, sejarah dan waktu[22] dalam artian agama akan selalu terkait dan dipengaruhi oleh kekuasaan, sejarah dan waktu.
Metode spasial merupakan metode yang digunakan dalam pemetaan agama, untuk mengetahui dimensi-dimensi yang ada dalam agama. Dalam konteks studi Islam. Metode spasial sangat berguna untuk mengetahui bagian-bagian agama dan unsur-unsur budaya. Agama yang dipahami saat ini apabila di bedah dengan metode spasial akan dpat ditemukan unsur yang asli (benar-benar berasal dari kitab suci) dan unsur yang berasal dari agama. Pada saat ini antara unsur yang asli dan budaya masih saling bercampur.
6.      Ruang Lingkup dan Istilah kunci
Ruang lingkup kajian Kim Knott adalah seputar insider dan outsider . dalam rangka menemukan objektifitas penelitian. Dia menuliskan ada 4(empat) kategori dalam persoalan ini, yaitu partisipan murni, peneliti murni, peneliti sebagai partisipan, partisipan sebagai peneliti. Untuk membedah penelitiannya dia mennggunakan pendekatan spasial. Maka kata kunci yang digunakan adalah: insider, outsider dan teori spasial

7.      Kebaharuan (contribution of knowledge)
Penelitian Kim Knott memberikan beberapa kontribusi terhadap pengetahuan (knowledge) antara lain: pertama, memberikan sumbangan mengenai pemetaan insider dan outsider dalam studi agama. Kedua, memberikan sumbangan pemikiran yang berkaitan dengan pendekatan dalam penelitian studi agama. Dengan pendekatan spasial Kim Knott berusaha membedah masalah seputar agama. Namun, apabila kita kaji kembali tawaran Kim Knott ini tidak hanya bisa untuk mengkaji studi agama saja, lebih dari itu, bisa masuk pada wilayah kelimuan lain.
8.      Sistematika
Penulisan Kim Knott diawali dengan pembukaan singkat mengenai problem-problem akademik yang dihadapinya. Lalu melanjutkan dengan masalah insider dan outsider untuk mencari objektifitas dalam sebuah penelitian. Yang mana selama ini masih ditemukan subjektifitas dalam berbagai macam penelitian. Dia memberi tawaran baru dalam penelitian yaitu menempatkan 4 macam: partisipan murni, peneliti murni, peneliti sebagai partisipan, partisipan sebagai peneliti. Pada proses selanjutnya untuk membedahnya denganmenggunakan pendekatan spasial.  
C.    Refleksi  akhir
Mencari objektifitas penelitian merupakan sebuah tujuan utama yang diharapakan oleh berbagai pihak. Namun, masih banyak penelitian yang menunjukkan adanya subjektifitas. Masalah objektifitas merupakan masalah yang sangat penting namun sering terkontaminasi oleh banyak faktor. Banyak kritik yang dilontarkan oleh kalangan outsider kepada insider dan begitu sebaliknya. Namun, yang terpenting bagi kedua belah pihak adalah saling terbuka untuk mau saling mendengarkan.  Bagi kalangan outsider, perlu menyadari bahwa agama bukan merupakan fenomena sosial belaka namun dibalik agama ada nilai kesakralan. Dengan tidak menjadikan agama sama dengan budaya diharapkan akan tercipta pemahaman agama yang lebih utuh. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih utuh maka pandangan orang diluar agama harus dipadukan dan bukan hal yang harus di musuhi. Karena sangat memungkinkan (outsider) menemukan hal yang baru yang tidak di temukan oleh (insider). Outsider bahkan bisa memotret agama insider pada hal- hal yang tidak pernah di pikirkan oleh insider.
 Harus disadari bahwa kajian Islam yang dilakukan oleh para outsider mampu menggerakkan dan memicu gerakan intelektual dalam dunia Islam. Disetujui atau tidak bahwa lahirnya nalar kritis dalam Islam, salah satunya adalah pengaruh dari kajian-kajian outsider. Dengan lahirnya ilmu baru dan metodologi dalam studi agama yang semakin mendekati pada objektifitas nampaknya kecurigaan-kecurigaan yang berlebihan terhadap kajian outsider harus dikurangi. Fatwa  Abdul Rauf perihal penolakannya terhadap validitas para pengkaji dari kalangan outsider harus di kaji ulang dan di revisi. Begitu juga dengan pendapat fazlur Rahman yang mengatakan bahwa outsider tidak mungkin merasakan pengalaman agama dari insider perlu dipertanyakan. Dengan munculnya tawaran dari Kim Knott (partispant as observer dan observer as partisipant) tidak menutup kemungkinan  bahwa outsider mampu merasakan pengalaman istimewa yang dirasakan insider dan insider mampu lebih bersifat kritis tentang agamanya.
Krisis-krisis ilmu ke-Islaman yang terjadi selama ini yang telah menghasilkan semacam irrelevansi antara ilmu-ilmu ke-Islaman dengan realitas kontemporer dalam tingkat yang sangat parah sedikit demi sedikit dapat diatasi. Tidak bisa di pungkiri bahwa outsider memberikan sumbangan yang luar biasa terhadap Islam. Sisi-sisi  keagamaan yang tidak terbaca dari pandangan insider, sedikit demi sedikit telah di resapi oleh kalangan insider. Tawaran Kimm Knott untuk mencari objektifitas apa bila kita dorong jauh keluar, ternyata bisa masuk tidak hanya pada ranah studi agama, bahkan dimungkinkan masuk dalam semua ranah keilmuan dan kehidupan. Contohnya politik, pemerintahan, organisasi dan banyak lagi yang lainnya. Sebagai contoh: dalam politik, pandangan Anas Urbaningrum tentang partai Demokrat pasti berbeda antara dulu dan sekarang. Dulu dia masih dalam ranah complete partisipan dan sekarang sebagai partisipan as observer yang berdiri sebagai outsider. Pandangan Joko Susilo  terhadap kepolisian yang sekarang sedang tersandung beberapa kasus.
Sebagai refleksi paling akhir, ada diwilayah mana kita saat ini? Contoh sebagai seorang NU atau Muhammadiyah. Sebagai seorang NU, pertanyaanya apakah masih tetep berkutat pada doktrin-doktrin keagamaan yang berasal dari fiqh klasik, padahal di luar sana telah ada fikh kontemporer yang lebih relevan. Dan begitu sebaliknya apakah harus tetep menjadi orang-orang yang taqlid pada majlis tarjih yang penuh dengan kepentingan politik. Nampaknya, untuk menjadi Muslim yang kaffah kita harus menjalankan teori-teori yang telah di tawarkan oleh Knott. Kita tidak boleh  terus menerus berkutat pada apa yang teleh menjadi doktrin, karena di luar sana ada sisi kebenaran yang tak terbaca oleh insider.wallahu `alam.
Daftar Pustaka
Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau historisitas, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2011)
Amin Abdullah dkk, Antalogi Studi Islam: Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga press, 2000)
Hasan hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, terj. (Jakarta: Paramadina, 2000)
Kim knott, Insider / outsider Perspectives dalam the Routledge Companion to the Study of religion, Edited by John R. Hinnels (London: Routledge  Taylor and Fancis Group, 2005)
Kim Knott, Spatial Theory and method For the Study of religion, (The Finish Sosiety for the study of relegion, Temenos, Volume 41 no 2, 2005) http://eprints.whiterose.ac.uk
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)


[1] Hasan hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, terj. (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. XV
[2] Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 13-14.
[3] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau historisitas, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2011), hlm. 9.
[4] Kim knott, Insider / outsider Perspectives dalam the Routledge Companion to the Study of religion, Edited by John R. Hinnels (London: Routledge  Taylor and Fancis Group, 2005), hlm 243,
[5] Kim knott. Insider / outsider Perspectives, hlm 244.
[6] Ibid.,hlm.244
[7] Makanya berangkat dari hal tersebut, W.C. Smith menegaskan pentingnya dialog antara pemeluk agama dan peneliti guna memperoleh validitas data. Bagi Smith kajian agama baru dikatakan valid apabila pemeluk agama mengatakan ya (membenarkan hasil kajian itu) karena pemeluk agama punya hak yang istimewa. Baca: , W.C. Smith dalam Comparative Religion dalam Mircea Eliade and Joseph Kitagawa (ed). Dalam Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm XXII.
[8] Kim Knott, Insider / outsider Perspectives.hlm.,245.
[9] Ibid.,hlm. 249.
[10] Kim Knott., 251.
[11]Verstehen merupakan gejala-gejala yang bersifat spesifik, baca: Heru Nugroho, menumbuhkan Ide-Ide Kritis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)., hlm8.
[12] Kim knott., 251-252
[13] Kimm Knott., 247.
[14] Ibid.,hlm. 252.
[15] Amin Abdullah dkk, Antalogi Studi Islam: Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga press, 2000),  hlm. 15.
[16] Kim Knott, Spatial Theory and method For the Study of religion, (The Finish Sosiety for the study of relegion, Temenos, Volume 41 no 2, 2005) http://eprints.whiterose.ac.uk/ hlm. 2.
[17] Ibid.,hlm. 4.
[18] Ibid., hlm. 5.
[19] Ibid., hlm. 8.
[20] Ibid., hlm. 10.
[21] Ibid., hlm. 12.
[22] Ibid., hlm. 16

No comments:

Post a Comment