Insider /
outsider Perspective in Religious and Islamic Studies
Oleh: Zainur
Rofik
Abstrak
Kajian
kim knott memberi tawaran baru dalam studi agama. Hal ini muncul karena banyaknya
kendala yang dialami oleh para akademisi di berbagai perguruan tinggi seputar
studi agama, mulai stagnasi metodologis dan pendekatan. Apakah para pengkaji Islam dari
outsider benar-benar objektif, dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki
validitas data dari sudut pandang insider. Maka dari itu, Kim Knott memberikan tawaran baru dengan
pendekatan spasial
Kata kunci: insider, outsider dan teori spasial
A.
Pendahuluan
Pertarungan wacaan antara antara
barat dan timur tidak akan pernah selesai untuk dibahas. Islam dan Barat
rupanya telah memiliki muataan konseptual ideologis, sebagaimana juga istilah
orientalisme yang memiliki konotasi negatif karena dinilai memiliki agenda tersembunyi dari para intelektual Barat non
Muslim yang sengaja mempelajari Islam dan dunia Islam disertai niat yang tidak
tulus atau bahkan sengaja mencari kelemahan Islam dalam rangka penaklukan. Jika
dicermati, secara intelektual akademis barangkali perhatian sarjana-sarjana
Muslim terhadap Barat( tradisi Kristiani) tidak seimbang apabila dibandingkan
dengan perhatian intelektual Barat terhadap Timur (Islam). Posisi yang tidak
seimbang ini pada akhirnya memunculkan setereotip-setereotip yang meuncul dari
ketidaktahuan dan sikap penuh dengan prasangka negatif tentang Islam.[1]
Kesulitan
menjadikan agama sebagai bahan kajian, mengikuti pendapat Wardenburgh, paling
kurang berawal dari dua hal. Pertama, mengkaji berarti melakukan objektivasi, atau
penjarakan terhadap objek kajiannya. Dalam kajian terhadap agama, objektivitas
bukan hanya kepada pihak lain, teteapi juga pada diri sendiri. Setiap manusia
akan memiliki keterlibatan dengan aspek keagamaan., dalam kontinum positif
hingga negatif, dengan mengambil komitmen agama tertentu sampai menolaknya sama
sekali. Untuk benar-benar mampu melakukan objektivasi terhadap kesadaran diri
sendiri, tentu tidak hanya memrlukan keseriusan usaha, melainkan juga latihan
dan ketekunan. Kedua, agama secara tradisional dipahami sebagai sesuatu
yang suci, sakral dan agung. Menempatkan
hal-hal semacam itu sebagai objek netral akan dianggap mereduksi, melecahkan
atau bahkan merusak nilai tradisional agama.[2]
Seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, paradigma pemahaman tentang
agama mengalami pergeseran kearah yang lebih luas. Dari dahulu yang terbatas
pada “idealitas” kearah “historisitas”, dari yang hanya pada “doktrin” kearah
entisitas “ sosiologis”, dari diskursus “esensi” kearah “eksistensi”. Dalam
pergaulan dunia yang semakin terbuka dan transparan, orang tidak dapat
dipermasalahkan dalam melihat fenomena “agama” secara aspektual, dimensional
dan bahkan multi dimensional approaches.[3]
Studi
agama merupakan salah studi yang memilik posisi penting dalam pengembangan
keilmuan. Dalam makalah ini, studi agama yang dimaksud lebih menjurus agama
sebagai religious lives atau kehidupan keberagamaan yang berbeda jauh
dengan theologi keagamaan.[4] Kajian
agama sangat berbeda degan kajian-kajian yang lainnya, kajian agama selalu
memunculkan hal-hal baru. Knott dalam tulisannya menyebutkan bahwa hal ini
muncul karena agama merupakan wilayah yang tidak mudah diakses bagi orang luar.
Pada tahun 1991 para sarjana Barat mengkaji mengenai Sikhism, McLeod
Darshan Singh menyatakan:
“para
penulis Barat berusaha untuk menafsirkan dan memahami Sikhism sebagai
outsider. Yang paling penting, agama adalah sebuah area yang tidak mudah
dipahami oleh outsider, orang asing atau partispan. Agama secara mendalam tidak
dapat dipahami kecuali oleh partisipan dengan mematuhi beberapa syarat”.[5]
Pembahasan
outsider dan insider sebagaimana yang ditulis oleh Kim Knott muncul karena
dilatar belakangi oleh kajian tentang Sikh pada tahun 1980-an di India. Yang
ditandai dengan adanya perdebatan seputar motivasi dan kontribusi para sarjana
yang menulis agama Sikh. Sehingga muncul pertanyaan siapa yang dianggap
memahami dan merepresentasikan Sikh?, kepentingan-kepentingan politis apa yang
melatar belakangi hal itu?, serta pendirian epistemology para pengkaji
tersebut.[6]
Persoalan
utama dalam insider dan outsider adalah persoalan obyektifitas dan
subjektifitas. Persoalan ini sangat menarik dalam studi ilmu-ilmu sosial,
termasuk dalam studi fenomena keagamaan masyarakat. Karena antara peneliti dan
obyek yang diteliti (masyarakat) punya cara pandang dan pengalaman yang
berbeda. Hal ini tidak mudah, sehingga diperlukan partisipasi dari masyarakat.
B.
Insider dan outsider
sebelum masuk pada pembahasan yang lebih dalam, disini
perlu dijelaskan pengertian insider dan outsider. Insider adalah para pengkaji
agama yang berasal dari agamanya sendiri (orang dalam). Sedangkan outsider
adalah para pengkaji agama yang bukan penganut agama yang bersangkutan. Yang
menjadi persoalan adalah apakah dari kalangan insider maupun outsider dalam penilaian
benar-benar obyektif dan bisa di pertanggungjawabkan, karena
latar belakang dan jerat histosris yang melekat pada insider maupun outsider. Banyak kalangan yang
menaruh pandangan negatif pada
pendapat outsider. Adanya indikasi kecurigaan bukannya tanpa alasan, banyaknya
kepentingan-kepentingan Barat terhadap Islam
adalah salah satu bentuk jerat propaganda politik untuk terus menguasai
wilayah negara Islam dan menguatkan akar pendudukan pada
wilayah tersebut.
Dari gambaran diatas memberikan indikasi bahwa banyak
analisis dari kalangan outsider yang tidak bisa di terima oleh insider,[7]
dan begitu juga banyak analisis insider yang dipandang sebelah mata oleh outsider
karena adanya subjektifitas yang menjerat insider. Apabila hal ini dibiarkan
berlarut-larut hanya akan menimbulkan miss-understanding yang dapat
berujung pada konflik. Ketidakpuasan dalam menghadapi kenyataan yang ada, para
pakar dan peneliti berusaha mengidentifikasi dan menyusun bangunan teori untuk
memecahkan persoalan seputar studi agama. Ditengah-tengah keadaan itu Kim Knott
melontarkan gagasan untuk mengatasi kebuntuan dan akan dibahas dibawah ini.
1.
Permasalahan (kegelisahan akademik)
Kegelisahan akademik Kim Knott diawali dengan persoalan yang dialami oleh mahasiswa yang menempuh studi agama
adalah pengembangan pemahaman agama. Dalam studi agama mereka memahami riwayat
hidup orang-orang yang beragama dan posisinya pada saat ini adalah sebagai
outsider. Akan tetapi mahasiswa juga
bisa menjadi insider dalam kasus yang lain. Yaitu, ketika mereka memiliki
pengalaman subjektif tersendiri mengenai agama yang mereka gambarkan dan yang
mereka tulis. Kemudian muncul pertanyaan selanjutnya, dapatkah kita memahami
persoalan mendalam tentang pemahaman keagamaan seseorang? Apa bedanya antara
pendapat insider dan outsider tentang agama? Apakah ada jurang pemisah antara
orang yang menulis riwayat hidup (pengalaman keagamaan) dengan mereka yang
membaca riwayat hidup (pengalaman agama orang lain)?
Melihat hal
diatas berarti ada beberapa kegelisahan akademik kim knott yang dapat
dipetakan. Pertama,sangat sulit membuat batas antara wilayah agama dan
yang bukan. Kedua, adanya kesulitan antara memahami agama sebagai
tradisi dan keimanan. Ketiga, terjadinya stagnasi metodologis dan
pendekatan dikalangan akademisi mengenai agama. Mereka dituntut se obyektif
mungkin dalam memahami agama disisi lain, mereka harus meletakkan agama dalam
nilai transendensi yang harus di junjung tinggi. Tapi yang menjadi pokok permasalahan utama
adalah objektifitas, Inilah kegelisahan akademik knott.
2.
Pentingnya topik penelitian
Pentingnya topik ini dibahas adalah untuk mengetahui
objektifitas penelitian. Adanya klaim-klaim kebenaran dan absolusitas keyakinan
yang datang dari insider dinilai sebagai hambatan teologis. Truth claim
ketika berada dalam wilayah metafisik-teologis ini dianggap wajar dan bahkan
menjadi sebuah keharusan dalam sebuah tradisi agama, tetapi membawanya pada
ranah fenomenologi keagamaan akan menjadi masalah. Masalah yang dihadapi oleh insider dalam
mengkaji agamanya adalah sikap netral
dan obyektif. Namun yang sering terjadi adalah kecenderungan
subjektifitas insider. Begitu juga dengan outsider, dengan adaanya beberapa
kepentingan yang muncul dari outsider menjadikan penelitian yang dilakukan bias
dengan berbagai macam kepentingan. Ini berarti bahwa seorang peneliti tidak
mungkin lepas dari jerat historisnya sendiri. Maka dari itu, tidak bisa untuk
mengatakan bahwa ada seorang peneliti yang benar-benar obyektif mutlak. Oleh
karena itu Kim Knott mencoba untuk berusaha menuju pada penelitian yang
objektif dengan menggunakan gagasannya yang akan dibahas berikut ini.
3.
Hasil penelitian terdahulu
Kim Knott telah menelaah karya-karya penelitian terdahulu
sebelum memberi tawaran barunya dalam studi agama, diantara karya-karya yang di
baca seperti Mircea Eliade, Rudolf Otto, Wilfred C. Smith, Cornelius Teile, Van
der Leeuw, Kenneth Pike, Ninian Smart dan lain-lainnya. Berangkat dari
karya-karya ini maka Kim knott mencoba untuk memberikan tawaran pemikiran
terhadap studi agama. Memcahkan problem-problem dalam penelitian agama yang
selama ini terdapat kendala dikalangan akademisi maupun penganut agama itu
sendiri.
4.
Tawaran Kim knott
Metode-metode dalam penelitian agama terdahulu seperti munculnya
orientalisme dan oksidentalisme, insider dan outisder masih belum bisa menampakkan objektifitas
penelitian, sehingga Kimm knott memberikan tawaran baru mengenai hal tersebut.
Dia menuliskan ada 4(empat) kategori dalam persoalan ini, yaitu partisipan
murni, peneliti murni, peneliti sebagai partisipan, partisipan sebagai
peneliti.
outsider insider
Etik emik
|
Complete
observer
|
Observer
as participant
|
Participant
as observer
|
Complete
participant
|
a.
Pertama, Complete Participant
(partisian murni),
mereka adalah para sarjana
yang menulis agama mereka sendiri, seperti sarjana Theologi, mufti,
pendeta dan sebagainya. Bagi mereka objektifitas bukan merupakan sesuatu yang
penting dan menjadi tujuan utama. Mereka melakukan hal ini adalah untuk
mengembangkan keilmuan dalam kepercayaan mereka sendiri. Kim Knott mengambil
contoh Fatimah Mernisi dalam hal ini. Mernisi adalah seorang insider yang
kritis dalam memahami Islam. Mernisi menulis sebuah gagasannya dengan tujuan
untuk meluruskan dan memperjuangkan hak-hak perempuan yang mempunyai tradisi
kelam terhadap perempuan di dunia Islam.
Fatimah Mernisi merupakan seorang insider yang aktif dalam
memperjuangkan hak-hak perempuan meski banyak kalangan menentangnya dan
menyebut dirinya sebagai pembohong syari`ah. Fatimah Mernisi dalam pandangannya
menjelaskan bahwa konsep demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan dan
partisipasi dalam ranah politik tidak diambil dari nilai Barat, namun diambil
dari nilai Islam sendiri. Kim Knott mengutip pendapatnya dalam statemen yang
ditulis oleh Fatimah mernisi sebagai berikut:
We Muslim women can walk into modern
world with pride, knowing that the quest for dignity, democracy, and human
right, for full participation in the political and social affairs of our
country, stems from no imported Western values, but is true part of the Muslim
tradition.[8]
b. Peneliti murni (complete
Observer)
Yaitu para sarjana yang meneliti keagamaaan dari sisi
luar secara penuh dan menjauhkan diri dari partisipasi. Posisi yang kedua ini biasanya ada dalam kajian sosiologi dan
psikologi agama. Sebagian sarjana menggunakan sikap kedua ini biasanya membuat
bangunan pertanyaan yang terstruktur terhadap responden atau informan. Peneliti
mengamati gejala-gejala keagamaan dan menganalisis jawaban dari responden atau
informan dari sisi luar (critical distance) dengan menggunakan frame
keilmuan tertentu. Festinger, Riecken
dan Schaster telah melakukan hal tersebut di tahun 1956.
Sikap ini
ditandai dengan perspektif etik dimana dalam kajian ilmu sosial menjelaskan
tentang perilaku keagamaan yang berasal dari keyakinan. Dalam perspektif ini,
prinsip dasar dari ilmu pengetahuan adalah netralitas, objektifitas,
menunjukkan validitas hasil dan melakukan generalisasi dair hasil-hasil itu.
Pendekatan kuantitatif tidak tepat untuk complete observer ini. Dalam
mengadakan penelitian mereka mengambil peran-peran insider sebagai informan
tetapi penelitiannya tidak diketahui oleh insider. Tujuan dari hal tersebut
adalah untuk menghindari rekayasa kelompok yang diteliti. [9]
c. Observer as participant
Eileen Berker
menolak penelitian dengan model complete observer yang dilakukan secara
tersembunyi, dengan alasan praktis ataupun etis. Disebabkan dia bukan seoran
moonie (non sektarian) dan tidak mau berpura-pura sebagai penganut salah satu sekte. Ketika
meneliti kaum Moonie (persekututan gereja), dia hidup di pusat gereja,
bercakap-cakap dengan mereka, mendengarkan sebagai anggota dan sekaligus
memberikan pertanyaan-pertanyaan pada mereka. Dengan sikap sebagai partisipan
ini, Eilen Berker bisa memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tidak semestinya
bisa ditanyakan oleh peneliti yang bukan anggota Moonie. Lebih dari itu
informasi-informasi tentang Moonie bisa dilacak dari para mantan anggota. Hal
ini dinilai sangat penting karena untuk mengetahui kelemahan Moonie tersebut.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa ketika dia keluar dari keanggotaan pasti ada
hubungan buruk dengan instansi atau tokoh dalam persekutuan itu. Dengan masuk sebagai anggota Moonie secara
langsung akan memilki hak bertanya dan mendengar. Disamping mengetahui data
anggota Moonie yang selanjutnya untuk dimintai keterangan. [10]
Barker meminjam pola
pendekatan Mark Weber dalam meneliti kaum Moonie. Verstehen merupakan
proses penelitian dimana seorang peneliti mengambil pemahaman dan kesimpulan
dari perspektif yang diteliti.[11]
Niniam Smart menggunakan metode agnostisisme yang menjelaskan pentingnya
netralitas dam keluar dari truth claim dalam penelitian agama. Metode
ini kemudian dilanjutkan oleh Barker hingga pada akhirnya mendominasi studi
agama pada era 1970-an sampai 1980-an.[12]
d.
Partisipan sebagai peneliti
Yaitu partisipan yang mengambil peran sebagai observer ditengah keagamaan
mereka sendiri. Mereka lebih mengutamakan pemikiran kritis ketimbang sebagai
partisipan penuh dalam kehidupan keberagamaan mereka. Kimm Knott membarikan
contoh peneliti yang masuk dalam wilayah ini adalah Samuel Heilman, sosiolog
dan modernis Yahudi tahun 1980-an. [13]
para sarjana agama dalam kategori ini menganggap bahwa insider yang meneliti
agamanya sendiri secara kritis dan adil adalah sangat mungkin. [14]
mereka orang yang menulis dan meneliti agama mereka sendiri seoalah-olah
sebagai peneliti yang obyektif dan kritis. Sikap yang demikian dilakukan tidak
lain untuk memberikan pemahaman tentang agama mereka kepada outsider agar bisa
dimengerti, baik tentang keyakinan-keyakinan atau praktek keagamaan.
5. Pendekatan Spatial dalam Studi Agama
Bercampur aduknya
aspek doktrinal-teologis dalam pergumulan kultural sosiologis menambah semakin rumitnya persoalan kegamaan
pada wilayah historisitas kemanusiaan. Mana yang doktrin(yang bersifat
normatif), dan mana pula yang disebut interpretasi seseorang atau kelompok yang
terhadap doktrin yang sering kali termuati atau tercampur oleh kepentingan
kepentingan kultural-sosiologis, yang mana pada banyak kasus sangat
sulit untuk dibedakan.[15]
Bagi para peneliti untuk melerai atau setidaknya menjernihkan bercampur aduknya
dimensi doktrinal-teologi dan kultural sosiologi perlu dengan menggunakan
pendekatan spasial.
Berangkat dari pandangan para ahli, menyatakan ada
hubungan antara agama, budaya dan masyarakat. Kim Knott pada tahun 2001 mulai
mengembangkan metode ilmiah dengan pendekatan spasial untuk menganalisis lokasi
agama dalam masyarakat. Kim knott melihat perbedaan ketika agama yang berada di
suatu organisasi, pergerakan, masyarakat, tempat-tempat ibadah. Pertanyaan
besar Kim Knott adalah mengapa agama itu berbeda padahal berasal dari sumber
yang sama? Dan bagaimana agama mengambil tempat dalam dimensi tersebut?.[16]
Pendekatan spasial Kim Knott berangkat dari teori ruang
Martin Heiddeger, Maurice Merleau-Ponty, edward Cassey dan Cristopher Tilley.
Dari teoriteori teori-teori tersebut Knoot mengembangkannya dan diterapkan pada
seputar lokasi agama. Unsur-unsur tersebut adalah: 1). Tubuh sebagai sumber
dari ruang, 2) Dimensi ruang, 3). Sifat ruang , 4).aspek ruang dan 5). Dinamika
ruang.[17]
Penjelasan tubuh sebagai sumber ruang adalah seseorang dapat melakukan
penafsiran berkaitan dengan lingkungan, sifat dan pola hubungan masyarakat
serta nilai kesakralan dalam masyarakat. [18]
dimensi ruang dimana dalam dimensi tersebut individu dan sosial serta perbedaan
budaya membaur menjadi satu kesatuan. Perbedaan tempat akan berpengaruh pada
budaya dan disitu terdapat reproduksi budaya dan agama yang baru. [19]
sifat ruang adalah bukan sebuah gambaran ruang yang kosong. Ruang yang dimaksud
disini adalah multi dimensi. Dimana disitu ada jaringan ekonomi antar negara,
budaya dan bahasa menjadi satu dan saling membentuk jaringan.[20]
Aspek ruang, dalam aspek ruang ada tiga hal yang saling terkait dimana ruang
itu dipahami, dirasakan dan dan ditempati oleh orang-orang. [21]
dinamika ruang adalah sangat terkait dengan kekuasaan, sejarah dan waktu[22]
dalam artian agama akan selalu terkait dan dipengaruhi oleh kekuasaan, sejarah
dan waktu.
Metode spasial merupakan metode yang digunakan dalam
pemetaan agama, untuk mengetahui dimensi-dimensi yang ada dalam agama. Dalam
konteks studi Islam. Metode spasial sangat berguna untuk mengetahui
bagian-bagian agama dan unsur-unsur budaya. Agama yang dipahami saat ini
apabila di bedah dengan metode spasial akan dpat ditemukan unsur yang asli
(benar-benar berasal dari kitab suci) dan unsur yang berasal dari agama. Pada
saat ini antara unsur yang asli dan budaya masih saling bercampur.
6. Ruang Lingkup dan Istilah kunci
Ruang lingkup kajian Kim Knott adalah seputar
insider dan outsider . dalam rangka menemukan objektifitas penelitian. Dia menuliskan
ada 4(empat) kategori dalam persoalan ini, yaitu partisipan murni, peneliti
murni, peneliti sebagai partisipan, partisipan sebagai peneliti. Untuk membedah penelitiannya dia mennggunakan
pendekatan spasial. Maka kata kunci yang digunakan adalah: insider, outsider dan teori spasial
7.
Kebaharuan
(contribution of knowledge)
Penelitian Kim Knott memberikan beberapa kontribusi terhadap pengetahuan
(knowledge) antara lain: pertama, memberikan sumbangan mengenai pemetaan
insider dan outsider dalam studi agama. Kedua, memberikan sumbangan
pemikiran yang berkaitan dengan pendekatan dalam penelitian studi agama. Dengan
pendekatan spasial Kim Knott berusaha membedah masalah seputar agama. Namun,
apabila kita kaji kembali tawaran Kim Knott ini tidak hanya bisa untuk mengkaji
studi agama saja, lebih dari itu, bisa masuk pada wilayah kelimuan lain.
8.
Sistematika
Penulisan Kim Knott diawali dengan pembukaan singkat mengenai
problem-problem akademik yang dihadapinya. Lalu melanjutkan dengan masalah
insider dan outsider untuk mencari objektifitas dalam sebuah penelitian. Yang
mana selama ini masih ditemukan subjektifitas dalam berbagai macam penelitian. Dia
memberi tawaran baru dalam penelitian yaitu menempatkan 4 macam: partisipan murni, peneliti murni, peneliti sebagai partisipan,
partisipan sebagai peneliti. Pada proses selanjutnya untuk membedahnya
denganmenggunakan pendekatan spasial.
C. Refleksi akhir
Mencari objektifitas penelitian merupakan sebuah tujuan utama yang
diharapakan oleh berbagai pihak. Namun, masih banyak penelitian yang menunjukkan
adanya subjektifitas. Masalah objektifitas merupakan masalah yang sangat
penting namun sering terkontaminasi oleh banyak faktor. Banyak kritik yang
dilontarkan oleh kalangan outsider kepada insider dan begitu sebaliknya. Namun,
yang terpenting bagi kedua belah pihak adalah saling terbuka untuk mau saling
mendengarkan. Bagi kalangan outsider,
perlu menyadari bahwa agama bukan merupakan fenomena sosial belaka namun
dibalik agama ada nilai kesakralan. Dengan tidak menjadikan agama sama dengan
budaya diharapkan akan tercipta pemahaman agama yang lebih utuh. Untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih utuh maka pandangan orang diluar agama harus
dipadukan dan bukan hal yang harus di musuhi. Karena sangat memungkinkan
(outsider) menemukan hal yang baru yang tidak di temukan oleh (insider). Outsider
bahkan bisa memotret agama insider pada hal- hal yang tidak pernah di pikirkan
oleh insider.
Harus disadari bahwa kajian Islam
yang dilakukan oleh para outsider mampu menggerakkan dan memicu gerakan
intelektual dalam dunia Islam. Disetujui atau tidak bahwa lahirnya nalar kritis
dalam Islam, salah satunya adalah pengaruh dari kajian-kajian outsider. Dengan
lahirnya ilmu baru dan metodologi dalam studi agama yang semakin mendekati pada
objektifitas nampaknya kecurigaan-kecurigaan yang berlebihan terhadap kajian
outsider harus dikurangi. Fatwa Abdul
Rauf perihal penolakannya terhadap validitas para pengkaji dari kalangan
outsider harus di kaji ulang dan di revisi. Begitu juga dengan pendapat fazlur
Rahman yang mengatakan bahwa outsider tidak mungkin merasakan pengalaman agama
dari insider perlu dipertanyakan. Dengan munculnya tawaran dari Kim Knott (partispant
as observer dan observer as partisipant) tidak menutup
kemungkinan bahwa outsider mampu
merasakan pengalaman istimewa yang dirasakan insider dan insider mampu lebih
bersifat kritis tentang agamanya.
Krisis-krisis ilmu ke-Islaman yang terjadi selama ini yang telah
menghasilkan semacam irrelevansi antara ilmu-ilmu ke-Islaman dengan realitas
kontemporer dalam tingkat yang sangat parah sedikit demi sedikit dapat diatasi.
Tidak bisa di pungkiri bahwa outsider memberikan sumbangan yang luar biasa
terhadap Islam. Sisi-sisi keagamaan yang
tidak terbaca dari pandangan insider, sedikit demi sedikit telah di resapi oleh
kalangan insider. Tawaran Kimm Knott untuk mencari objektifitas apa bila kita
dorong jauh keluar, ternyata bisa masuk tidak hanya pada ranah studi agama,
bahkan dimungkinkan masuk dalam semua ranah keilmuan dan kehidupan. Contohnya
politik, pemerintahan, organisasi dan banyak lagi yang lainnya. Sebagai contoh:
dalam politik, pandangan Anas Urbaningrum tentang partai Demokrat pasti berbeda
antara dulu dan sekarang. Dulu dia masih dalam ranah complete partisipan dan
sekarang sebagai partisipan as observer yang berdiri sebagai outsider.
Pandangan Joko Susilo terhadap
kepolisian yang sekarang sedang tersandung beberapa kasus.
Sebagai refleksi paling akhir, ada diwilayah mana kita saat ini? Contoh
sebagai seorang NU atau Muhammadiyah. Sebagai seorang NU, pertanyaanya apakah
masih tetep berkutat pada doktrin-doktrin keagamaan yang berasal dari fiqh
klasik, padahal di luar sana telah ada fikh kontemporer yang lebih relevan. Dan
begitu sebaliknya apakah harus tetep menjadi orang-orang yang taqlid pada
majlis tarjih yang penuh dengan kepentingan politik. Nampaknya, untuk menjadi
Muslim yang kaffah kita harus menjalankan teori-teori yang telah di tawarkan
oleh Knott. Kita tidak boleh terus
menerus berkutat pada apa yang teleh menjadi doktrin, karena di luar sana ada
sisi kebenaran yang tak terbaca oleh insider.wallahu `alam.
Daftar Pustaka
Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000).
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau historisitas, (Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 2011)
Amin Abdullah dkk, Antalogi Studi Islam:
Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga press, 2000)
Hasan hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita
Terhadap Tradisi Barat, terj. (Jakarta: Paramadina, 2000)
Kim knott, Insider /
outsider Perspectives dalam the Routledge Companion to the Study of
religion, Edited by John R. Hinnels (London: Routledge Taylor and Fancis Group, 2005)
Kim Knott, Spatial Theory and method For
the Study of religion, (The Finish Sosiety for the study of relegion, Temenos, Volume 41 no 2, 2005) http://eprints.whiterose.ac.uk
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010)
[1] Hasan hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat,
terj. (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. XV
[2] Ahmad Norma
Permata, Metodologi Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
hlm. 13-14.
[3] Amin Abdullah,
Studi Agama: Normativitas atau historisitas, (Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 2011), hlm. 9.
[4] Kim knott, Insider / outsider Perspectives dalam the Routledge Companion to
the Study of religion, Edited by John R. Hinnels (London: Routledge Taylor and Fancis Group, 2005), hlm 243,
[7] Makanya berangkat dari hal tersebut, W.C. Smith menegaskan pentingnya
dialog antara pemeluk agama dan peneliti guna memperoleh validitas data. Bagi
Smith kajian agama baru dikatakan valid apabila pemeluk agama mengatakan ya
(membenarkan hasil kajian itu) karena pemeluk agama punya hak yang istimewa.
Baca: , W.C. Smith dalam Comparative Religion dalam Mircea Eliade and Joseph
Kitagawa (ed). Dalam Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), hlm XXII.
[11]Verstehen merupakan gejala-gejala yang bersifat spesifik, baca: Heru
Nugroho, menumbuhkan Ide-Ide Kritis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003)., hlm8.
[15] Amin Abdullah dkk, Antalogi Studi Islam: Teori dan Metodologi,
(Yogyakarta: Sunan Kalijaga press, 2000),
hlm. 15.
[16] Kim Knott, Spatial Theory and method For the Study of religion, (The Finish Sosiety for the study of relegion, Temenos, Volume 41 no 2, 2005) http://eprints.whiterose.ac.uk/ hlm.
2.
No comments:
Post a Comment