Saturday, March 9, 2013

pribumisasi tasawuf

PRIBUMISASI TASAWUF
( Dari sufistik pribumi menuju manunggaling kawulo gusti modern )

a. Menyelami dunia mitis pribumi
Mitis yang meliputi kebudayaan primitif ternyata masih sangat menarik sekali bagi kita. Upacara-upacara, bertapa dalam gua serta tari-tarian merupakan contoh kecil usaha manusia dalam rangka menjalin hubungan dengan alam.[1]  Dunia mitis ditandai oleh rasa takut dalam diri manusia terhadap daya-daya purba dalam hidup dan alam raya. Manusia mencari semacam strategi dalam rangka menemukan hubungan yang tepat antara manusia dan daya-daya kekuatan tersebut. [2]
            Orang-orang nusantara (khususnya orang jawa) menggelar upacara tradisi, ritual selamatan atau gelar sajen (sesaji) adalah peristiwa yang sudah diakrabi sejak lahir. Setiap orang Jawa yang lahir sudah diperkenalkan dengan ritual selamatan kelahiran dengan segala ubo rampe ( perlengkapan) nya. Budaya peninggalan nenek moyang yang adiluhung itu merupakan modal sosial yang besar yang mempunyai nilai yang agung dalam menciptakan kebersamaan, gotong royong, guyub rukun dan saling menghargai sesama.
            Permohonan yang tulus itu diwujudkan dalam rasa keikhlasan sang penderma ketika membelanjakan syarat ubo rampe atau pernak-pernik aneka sesajen tanpa sedikitpun merasa berat atau terbebani. Belum lagi bila sajen selesai di doakan maka sesajen itu di bagi-bagikan atau dimakan bersama-sama. Setidaknya peristiwa ini mewujudkan rasa ikhlas untuk bersedekah.[3] Budaya ini yang kemudian dipergunakan oleh para penyebar islam untuk menanamkan nilai dasar keislaman tentang pentingnya bersedekah.
            Nenek moyang orang Jawa percaya adanya kekuasaan yang ada didalam luar dirinya ( Tuhan). Mereka mensifati Tuhan dengan gusti ingkang murbeng dumadi, Gusti ingkang Murbo meseso, Gusti ingkang moho widhi, gusti ingkang moho suci, gusti ingkang moho wikan dan seterusnya sebagai mana sifat-sifat Allah yang di yakini oleh pengikut Islam pada umumnya. Orang jawa memiliki tipologi hidup damai, selaras, serasi dan seimbang. Itu tercermin bahwa orang jawa tidak mau di ganggu dan mengganggu. Dalam prakteknya meskipun mereka meyakini sepenuh hati dan bertauhid kepada Allah, tetapi mereka masih melakukan tegur sapa pada hal-hal yang bersifat gaib. Ini dilakukan untuk menjaga keharmonisan hidup.
            Orang-orang kuno dalam menigkatkan kualitas supranaturalnya melakukannya dengan berbagai macam  cara, mulai laku tirakatan, bertapa hingga berpuasa dengan berbagai macamnya. Tujuannya adalah untuk mendekatkan kepada Yang Maha Kuasa. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh manusia modern, yang kadang karena ke tidak tahuannya atau mungkin adanya kepentingan-kepentingan politik, menolak fenomena tersebut dan bahkan menghukuminya sebagai orang kolot yang menyimpang dari agama.
            Gambaran diatas menjelaskan tentang keadaan masyarakat nusantara yang berbeda dengan masyarakat di belahan dunia lain. Negara yang “ gemah ripah loh jinawi”, mengakibatkan tidak disibukkan lagi dengan urusan-urusan bertahan hidup yang diakibatkan oleh kerasnya iklim, sulitnya mencari makan karena semua dapat diambil secara mudah dari alam.  Mereka kemudian lebih banyak memikirkan hal-hal yang supranatural.
            Melihat wajah budaya Indonesia yang seperti itu menarik sekali ketika dihubungkan dengan statemen van peursen bahwa, manusia mencari strategi dalam menemukan hubungan yang tepat antara daya dan kekuatan-kekuatan alam. Hal ini akan menjadi titik tolak pembahasan pada tulisan ini  berkenaan cara manusia mendekatkan pada Tuhan lewat jalur tarekat.
b.      Tarekat dan tasawuf
Dalam dunia mitis manusia belum merupakan seorang pribadi yang bulat dan utuh. Dalam alam pikiran ontologis subyek dan obyek, manusia dan dunia mulai berhadapan muka. Tetapi dalam pandangan fungsionil bukan distansi yang diutamakan melainkan relasi.[4] Pernyataan van Peursen tersebut sangat menarik ketika kita hubungkan dengan dunia sufi. Dalam dunia tasawuf manusia dengan segala aktifitasnya berusaha mendekatkan pada yang Maha Kuasa dengan berbagai macam cara. Tidak terkecuali di Indonesia yang  sudah lama sekali mengenal hal tersebut.
Berlangsungnya perpindahan agama baik secara damai maupun kekerasan memunculkan perdebatan yang sangat panjang. Tapi secara umum penyebaran agama islam di Nusantara di sebarkan secara damai. Ada anggapan dan data yang menunjukkan bahwa tasawuf dan berbagai tarekat telah memainkan peranan yang menentukan dalam proses ini. Tren islamisasi nusantara bebarengan dengan merebaknya tasawuf abad pertengahan dan pertumbuhan tarekat. Al-ghazali yang telah menguraikan konsep tasawuf akhlaqi yang dapat diterima dikalangan fuqoha, an-Najib Al-Suhrowardi, Abulkhasan as-Sadzili, Bahauddin an-Naqsabandy merupakan para tokoh yang sangat berpengaruh di dunia tasawuf.
Islam yang diajarkan pada orang asia tenggara sangat diwarnai oleh berbagai ajaran dan amalan sufi. Para sejarawan menyebutkan bahwa inilah yang membuat islam menarik bagi orang asia tenggara. Dengan kata lain perkembangan tasawuf merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan islam di asia tenggara berjalan sangat cepat. Ajaran-ajaran kosmologi dan metafisis yang dapat dipadukan secara mudah dengan ide-ide sufistik pribumi merupakan alasan yang sangat jelas bahwa islam dapat di terima dengan mudah. Konsep insan kamil, sangat potensial sebagai legitimasi religius para raja.[5]
Penyebaran islam secara cepat ini menarik peneliti Australia (Anthony Johns)[6], dia mensinyalir bahwa perkembangan islam pada awal-awal dilakukan oleh para sufi yang bergabung dengan para pedagang. Hal ini didapatkan dari berbagai laporan pribumi.[7] Sehingga islam pada saat ini masih dipengaruhi dengan sikap-sikap sufistik.[8] Kegagalan para reformis puritan untuk menyingkirkan tarekat dan tasawuf ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Hal ini ditandai dengan semakin semaraknya tarikat.
Telah manjadi hal yang tidak asing lagi bahwa antara tarikat dan tasawuf memiliki hubungan yang sangat erat. Untuk melihat sedekat apa hubungan antara keduanya, biasanya dengan melihat hakikat dari tasawuf yatiu sebagai wadah yang menempung metode spiritual yang termanifestasi dalam sebuah usaha mendekatan diri pada Allah SWT.[9] Sedang usaha untuk mendekatkan diri itu membutuhkan jalan atau cara yang kemudian dinamakan dengan tarikat. Sehingga pada kenyataan praktek spiritualnya seoarang pelaku tasawuf (salik) selalu berusaha mensucikan batinnya dari hal-hal kotor yang masih melekat pada kalbunya yang semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah. [10]
Tarekat adalah tempat pendidikan kerohanian bagi setiap orang yang melakukan kehidupan tasawuf untuk mencapai tingkat kerohanian tertentu. Tarikat merupakan sebuah perkumpulan atau organisasi yang didirikan menurut aturan yang telah ditetapkan oleh seorang guru yang menganut suatu ajaran tarekat tertentu.[11] Sehingga tarekat mempunyai jalan yang sangat signifikan bagi mereka yang akan menjadi seorang sufi dalam melalui tahapan-tahapan (maqamat) tertentu dalam ajaran tasawuf. Bagi mereka yang menjalankan akan mendapat bimbingan yang intens dari seorang guru untuk melakukan serangkaian cara untuk melalui lintasan yang berupa laku batin, latihan, riyadhoh dan juga perjuangan yang sungguh-sungguh dalam kerohanian hingga berakhir pada tahap tertinggi yaitu fana` fil haq
. Guru-guru tarekat harus mempunyai silsilah sampai  kanjeng Nabi. Dalam beberapa kitab-kitab tentang tarekat dijelaskan pentingnya kejelasan seorang guru serta kedudukan silsilah atau sanad. Seperti yang di jabarkan dari kitab majmu` musytamil jilid I:
1.      Sanad iku setengah saking kebenerane agama, jalaran lamun ora ono sanad uwong-uwong podo ngaku sak karepe dewe. ( sanad adalah indikasi dari kebenaran agama, karena kalau tidak ada sanad pasti setiap orang mengklaim akan kebenarannya sendiri)
2.      Sing sopo wonge ora nduwe guru kang nuduh ake, mongko nuntun sopo syetan ing  wong mau ing sak karepe dewe ( barang siapa tidak mempunyai guru yang member petunjuk, maka syetan akan menuntun orang tersebut dengan semaunya sendiri)
3.      Sing sopo wonge ora nduwe guru mongko gurune syetan ( barang siapa tidak mempunyai guru maka gurunya syetan
4.      Sing sopo wae ora ketemu silsilahe rante-rantene gurune tumeko kanjeng nabi, mongko wong iku maqtu` ul faidh inggih puniko bumpet mboten pikantuk luberane por masyayikh tumeka kanjeng Nabi. (barang siapa tidak bertemu silsilah mata rantai guru sampai kanjeng nabi, maka orang tersebut (maqtu` ul faidh) tersumbat tidak memperoleh berkah dari ilmunya para guru sampai kanjeng nabi
5.      Wit iku menowo tukul dewe ra ono kang nandur yo biso subur godonge tapi ora gelem uwoh.( pohon itu apabila tumbuh dengan sendirinya tanpa ada yang menanam (merawat) ia dapat subur daunnya tetapi tidak berbuah[12]
Berdasarkan uraian diatas  pentingnya  silsilah sanad yang menghubungkan antara satu guru dengan guru yang lain sampai kepada nabi Muhammad.
            Karel Steenbrink dalam bukunya beberapa aspek tentang islam menjelaskan panjang lebar mengenai guru tarekat dan jaringannya. Dalam buku ini pembahasan tarekat lebih menekankan pada sepak terjang seorang tokoh. Para ulama yang ada di nusantara mayoritas adalah orang –orang yang mengikuti jalur sufi dan tarekat hal ini disebabkan karena penyebaran islam dilakukan oleh kalangan sufi[13]. Meskipun ada juga para ulama yang menentang tarekat di sekitar abad 19. Perkembangan tarekat di Indonesia menarik bagi Karel, dia manyimpulkan ada 2 jenis tarekat yang berkembang yaitu tarekat yang tidak memntingkan  pada bidang syari`at  (tarekat Syattariyah) dan tarekat yang  menekankan pada bidang syari`at (tarekat Naqsabandiyah). Namun dalam perkembangannya tarekat Naqsabandiyah jauh lebih popular dikarenakan lebih moderat dengan berpegang pada ajaran al-Ghazali. [14]
            Jejak tarekat di Indonesia dalam bahasan buku karel sangat banyak ditemukan dan mempunyai hubungan yang sangat erat diantara pengikut aliran tarekat. Selain mahir dalam bidang tasawuf seorang mursyid juga mahir dalam bidang fiqh dan beberapa keilmuan. Syekh Arsyad al-Banjari yang di tulis dalam buku Karel banyak menguasai berbagai macam bidang keilmuan.[15]haji Ahmad Rifa`I dari kali sasak, Imam Nawawi al-Bantani adalah tokoh tasawuf yang menguasai banyak ilmu. sehingga dengan menguasai berbagai macam keilmuan para tokoh ini menjadi di segani dan sangat berpengaruh di daerahnya. Tak elak pada masa-masa ini pemerintahan Belanda menaruh curiga sepak terjang para tokoh tarekat. Dari sini peran tarekat dapat kita baca sudah masuk pada tahapan fungsional.
c.    Pergerakan tarekat  antara agama dan politik
Menjelang abad ke-18, berbagai tarekat berkembang pesat di nusantara. Orang-orang yang baru pulang dari Makkah dan Madinah mulai menyebarkan ajaran-ajaran tarekat. [16] ajaran tarekat merupakan jurus jitu dalam menyebarkan islam. Selain dibimbing berbagai macam wirid dan akhlak, ajaran tarekat juga mengajarkan syari`at. Beberapa sumber primbumi mengatakan bahwa tarekat memiliki pengikut pertama-tama di lingkungan istana kemudian merembes ke masyarakat awam.[17] Seiring bertambahnya waktu tarekat memiliki pengikut yang banyak dan menyeluruh di sebuah kawasan tertentu. Kenyataan ini yang melatarbelakangi mobilisasi pergerakan tarekat dalam konflik terbuka dengan penjajah.
            Pemberontakan- pemberontakan yang melibatkan tarekat ini terjadi sejak awal abad 19 sampai abad 20. Sebagian gerakannya adalah menentang masuknya pemerintah Kolonial, sedangkan pemberontakan lainnya menentang peraturan-peraturan tertentu yang ditetapkan pemerintah atau respons terhadap kemerosotan kehidupan ekonomi masyarakat dan penindasan. Seperti yang terekam dalam buku Karel tentang pemberontakan di Cilegon Banten[18]. Studi klasik Sartono Kartodirdjo tentang pemberontakan besar di Banten, yakni pemberontakan 1888, telah menarik perhatian pada peranan penting yang dimainkan oleh kelompok tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah dimasyarakat Banten pada paruh abad ke-19. Walaupun banyak kalangan menilai tarekat ini bukanlah yang mengambil inisiatif untuk melakukan perlawanan, namun ia menyediakan suatu jaringan komunikasi yang memunculkan mata rantai yang diklaim sebagai jaringan untuk mobilisasi masa.[19]
            Di Kalimantan selatan tarekat Samaniyah melakukan peran penting dalam rangka melawan belanda yang mau menduduki kota. Gerakan rakyat yang sangat kuat disebabkan adanya amalan-amalan sufi yang di sebut ratib beramal.[20]bahkan jauh sebelum itu di Palembang tarekat samaniyah melakukan perlawanan terhadap Belanda yang akan menduduki kota mereka. Disebutkan bahwa beberapa kelompok berpakaian putih, berdzikir keras samapai mencapai ekstase  dan kemudian tanpa gentar melakukan perang terbuka . mereka mempunyai semacam kekebalan dengan perantara dzikir tersebut.[21] Tarekat juga memainkan peran besar di Lombok (1891) ditujukan kepada orang Bali yang menguasai peranan besar di pulau tersebut. Gerakan tarikat ternyata mempunyai dampak yang luar biasa dan sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan.
d.   Penolakan dan pelarang tarekat sebagai intrik politik penjajah
Penolakan terhadap tarekat sebenarnya datang dari orang Indonesia sendiri. Buku yang dikarangnya yang berjudul izharu Zaghblil Kadzibin fi tasyabbubihim bis shadiqin yang dicetak pada tahun 1906 di Padang. Buku ini merupakan karangan syeh Ahmad khatib al-Minangkabawy  seorang pengikut madzhab Syafi`I tentang  penolakan tarekat. Dalam mengarang buku ini sang syekh mengambil referensi dari kitab al-ba`its ila inkar al-Bid`ah wal hawadits, sebuah kitab karangan Imam Syihabuddin bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ismail bin Ibrahim yang namanya masyhur dengan Abu Syamah. Kitab ini bercorak dengan kumpulan Qur`an dan hadits. Kitab ini khusus menyerukan agar menjauhkan diri dari bid`ah.
            Karangan Ahmad khatib ini tidak memulai dengan pendekatan sejarah tetapi dengan penyelidikan, Ahmad khatib adalah orang yang sangat cepat mengkafirkam orang lain sebagaimana yang ada pada statemennya. Dibidang fiqh Ahmad khatib adalah orang yang bertaqlid pada Imam Syafi`I . selain Ahmad Dahlan, Muhammad Jamil jambek, Haji Amrullah dan haji Abdullah Ahmad adalah muridnya. Tetapi para muridnya tidak mau secara konskwen mengikuti gurunya. Hal ini memang hal yang tidak aneh dalam dunia pendidikan.[22]
            Menurut informasi yang diterima oleh Snouck Hurgronje alasan Ahmad Khatib yang paling tepat untuk menolak tarekat adalah sikap iri hati yang tersimpan di hati Ahmad Khatib terhadap Syekh Jabal Kubis atau Sulaiman Efendi. [23]Disisi lain, ada ulama yang netral terhadap tarekat yaitu Imam Nawawi al-Bantani. Beliau tidak melarang dan tidak juga memenganjurkan.
            Pemberontakan-pemberontakan yang di dalangi oleh beberapa tarekat menyita perhatian khusus pihak kolonial. Pemberontakan yang paling mendapat perhatian dari pihak kolonial adalah pemberontakan Cilegon di tahun 1888. Hal ini mengakibatkan dilarangnya semua tarekat diberbagai daerah di Indonesia. Perintah untuk mengawasi tarekat sangat di galakkan, dan cara yang paling mudah untuk mengawasi tarekat adalah dengan jalan melarangnya.
            Pengasingan tiga guru tarekat di Jogjakarta pada tahun 1904 sebagai bentuk usaha pemerintah kolonial untuk mengantisipasi gerakan –gerakan dari pengikut tarekat yang tidak di inginkan. Usaha yang dilakuakan pemerintah koloial adalah berkat usulan dari residen yogyakarta untuk mengasingkan kyai Krapyak. Dengan alasan kyai ini telah mengajarkan tarekat Naqsabandiyah dan Syattarniyah. Sultan pun sebenarnya telah  melarang tarekat didaerah ini. Karena tarekat dilarang maka data statistik tarekat di jogjakarta sama sekali tidak ditemukan. Usulan residen Yogyakarta ditanggapi dengan keras oleh Snouck Horgronje, dia menentang usulan tersebut. Perburuan guru tarekat secara besar-besaran terjadi dimana-mana, bersamaan dengan terjadinya peristiwa Sidoarjo pada bulan mei 1904.  
e.    Analisa kritis
Uraian yang ada dalam buku Karel Steenbrink untuk memperlihatkan peta dinamika ajaran-ajaran tasawuf dan tarekat yang lahir dari tangan-tangan ulama nusantara. Tentu masih banyak sekali ulama-ulama yang belum disebutkan. Lepas dari semua itu buku ini dipandang cukup untuk memberikan penjelasan tentang keragaman ajaran tasawuf dan sekaligus betapa kayanya ajaran-ajaran tasawuf yang di miliki oleh negeri ini. Ulama-ulama tarekat tidak hanya melahirkan karyanya dalam bidang tasawuf saja, melainkan dalam bidang-bidang lain. Ajaran-ajaran tasawuf yang pada awalnya hanya bertujuan sebagai usaha mendekatkan pada Tuhan, tetapi lama kelamaan berubah tidak hanya mengacu pada akdemis belaka tetapi menjadi media perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
            Karel dalam bukunya ingin menampakkan bahwa Ajaran-ajaran tasawuf yang dihasilkan oleh para ulama nusantara sangat berbeda dengan ajaran tasawuf  Timur tengah. Ajaran yang dihasilkan juga melakukan pergumulan dengan isu-isu lokalitas dan masalah yang terjadi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa suatu ajaran lahir tidak bisa lepas dari ruang sosial, politik dan budaya yang berkembang ketika itu. Perpaduan antara ajaran tarekat dan tradisi lokal merupakan suatu strategi dakwah. Bayangkan saja, jika dulu orang-orang jawa hanya mengenal nama-nam tokoh seperti kresna; Werkudara, Arjuna setelah islam datang tiba-tiba ia harus mengenal nama-nama seperti; Abu bakar, Umar, Utsman dan sebagainya. Jelas dalam kasus ini terjadi “gempa budaya” yang dahsyat. Maka dari itu tokoh-tokoh islam melakukan akulturasi dengan budaya setempat. Tidak terkecuali dalam bidang tasawuf sebagaiamana yang dijelaskan dalam pembahasan tarekat, disitu ada tarekat lokal jawa yang menggabungkan antara Hindu dan Islam.
            Penjelasan Karel mengenai tarekat lokal lebih cenderung ke arah kesempurnaan hidup. Syari`at memang mampu menghadapi kehidupan sehari-hari, tetapi untuk mencari kehidupan agama yang sempurna diperlukan pedoman yang lain. Maka dari itu perlu adanya mengambil sikap kompromis dengan tradisi lama yang diberi corak islam. Kesatuan yang sempurna merupakan tujuan hidup. Dalam teori modern seperti yang disebutkan van peursen bahwa, manusia dan alam raya saling meresapi dan oleh karena itu kekuatan manusia dan ilahi juga saling melebur. [24] dalam tarekat lokal kesatuan itu mengambil bentuk kesatuan antara mikrokosmos dan makrokosmos sehingga bentuk itu disebut dengan kesatuan yang sempurna.[25]
            Tarekat dan tasawuf merupakan bentuk dari evolusi agama. Artinya amalan-amalan pada suatu ajaran agama seiring berjalannya roda peradaban mengalami transformasi. Ajaran dari wahyu dan sunnah nabi ketika berbenturan dengan sebuah kebudayaan akan terjadi perubahan bentuk dan praktek. Seperti halnya tarekat pada mulanya adalah amalan dan wirid yang tercecer kemana-mana diantara kalangan sahabat. Kemudian dikumpulkan oleh seorang guru tarekat dan diajarkan kepada siapa saja yang menginginkan.
            Adanya aliran yang menentang tarekat menurut buku karel terjadi karena beberapa sebab. Dalam kasus Syekh Ahmad Khatib, penolakan disebabkan karena cara pandang yang digunakan dalam menilai tarekat memakai kacamata yang beda. Ahmad Khatib mengkaji tarekat dengan berlandaskan al-Qur`an dan hadist yang khusus menyerukan agar menjauhkan diri dari bid`ah. Sehingga dia tidak menemukan dalam al-Qur`an dan hadis praktek tarekat pada masa Nabi.  Ahmad khatib tidak menggunakan pendekatan sejarah dalam menilai tarekat. Ini sangat menarik untuk diteliti, bahwa dalam Islam ada tradisi lisan. Hadist tidak mungkin bisa merekam seluruh lini kehidupan Nabi. Maka dalam islam tradisi atau kebiasaan ahli madinah bisa dijadikan ajaran agama. Aliran tarekat merupakan usaha inovasi para ulama untuk mengemas ajaran Nabi dalam satu wadah sehingga bisa dilakukan secara mudah oleh masyarakat awam. Disisi lain, dalam penolakannya terhadap tarekat disebabkan karena rasa iri hatinya kepada Syekh Jabal Kubis atau Sulaiman Efendi. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa penolakannya terhadap tasawuf dan tarekat disebabkan karena banyaknya terekat  yang menyimpang.
            Murid-murid Syeh Ahmad Khatib secara tidak langsung cenderung mmengikuti gurunya. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka berseberangan. Keterangan Karel tentang pelarangan tarekat pada masa kolonial sangat menarik untuk dibahas. Pengasingan tiga guru tarekat yang diusulkan oleh Residen Yogyakarta serta pelarangan tarekat di kawasan kraton Yogyakarta oleh raja menimbulkan tanda tanya. Mengapa kraton melarang tarekat? Apakah hal ini ada kaitannya dengan pelarangan tarekat oleh salah satu Ormas Islam (Muhammadiyah)? Atau mungkinkah ada kerjasama antara kraton dan kyai Ahmad dahlan untuk berfatwa melarang tarekat?, yang jelas hal ini membutuhkan penelitian panjang. Memang secara formal Muhammadiyah menolak tasawuf dengan alasan klasiknya yang sering kali tasawuf  diselewengkan menjadi tarekat dengan organisasi dan praktek-praktek ritual yang ketat. Alasan seperti ini lambat laun tidak bisa di pertahankan. Penolakan ini, membuat  tradisi keberagamaan Muhammadiyah dianggap terlalu kering. Meskipun tradisi-tradisi sufi juga berkembang dilingkungan Muhammadiyah. Berbeda dengan NU yang secara selektif menyaring tarekat dan mengelompokkan kedalam tarekat mu`tabaroh, yaitu tarekat yang mempunyai jalur resmi sampai pada Nabi Muhammad.
            Terlepas dari semua itu tarekat merupakan tradisi yang mengakar di kalangan masyarakat indonesia. Sehingga setiap event apapun yang ada di Indonesia selalu berkaitan dengan mitis. Tak elak, aktor-aktor politik telah merambah guru-guru mitis yang karismatik. Tidak hanya legitimasi tetapi untuk mengubah pilihan suara, memberikan nasihat spiritual, dan terutama sebagai kekuatan supranatural untuk mendukung diri mereka sendiri. Tarekat dan gerakan mitis merasakan tekanan untuk melakukan rasionalisasi dan mengadopsi bentuk yang lebih formal. Munculnya tokoh-tokoh birokrat dari kalangan sufi menunjukkan bahwa sufisme kontemporer di Indonesia bukan melulu pada urusan akhirat saja, tetapi sebaliknya sufisme terlibat aktif dalam politik praktis.[26] Ini merupakan gerakan transisi dari yang dulu mitis sekarang menjadi fungsional.
f.    Kritik terhadap tarekat
pada masa kolonial banyak sekali perlawanan yang datang dari tarekat, namun setelah kemerdekaan tarekat seperti telah kehilangan peran. Padahal, pada masa sekarang imperialisme masih tetap ada di Negara-negara Islam termasuk Indonesia. Bahkan sangat membahayakan. Semua itu karena imperialism modern memiliki sifat yang berbeda dari imperialisme klasik. Jika imperialism klasik berupa pendudukan langsung maka imperialisme modern bukan melalui pendudukan militer secara langsung, namun melalui hegemoni pengetahuan dan ideology. Secara otomatis penjajahan seperti ini tidak dapat ditangkap dengan mudah oleh setiap orang.
            Sebenarnya tarekat memiliki jaringan yang sangat luas dan basis masa yang sangat banyak, sinstem ke-organisasian yang sangat kuat dan memiliki pengaruh yang sangat luas di masyarakat. Hal ini merupakan modal yang sangat besar untuk melakukan perlawanan terhadap imperialisme modern. Modal yang begitu besar semestinya sangat efektif untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan dan menegakkan keadilan. Tarekat harus mampu menampakkan kehadiran Tuhan dalam alam nyata dan diwujudkan dalam aspirasi untuk pembebasan dan perjuangan agar tercipta masyarakat yang lebih adil dan manusiawi.
            Tarekat yang menjadi sarana pendidikan yang bertujuan untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Keberislaman seseorang tidak bisa dilepaskan dari tuntutan amar ma`ruf nahi munkar. Memerangi penindasan dan ketidak adilan adalah sebuah harga mati dan tidak boleh dinafikan oleh seorang pengikut tarekat. Meskipun ia harus mati sebagaiamana syeh siti jenar dan al-Hallaj, yang mati semata-mata hanya membela hak-hak rakyat kecil manusia pinggiraan. Disinilah sebenarnya hakikat dari manunggaling kawulo gusti, ajaran yang telah di amalkan oleh syeh siti jenar. Dia mewakili Tuhan kealam nyata menolong orang-orang yang lemah dan terhina. Seolah-olah ia menyatu dengan Tuhan tanpa mengenal rasa takut sedikitpun dari penguasa.
            Keluar dari penindasan imperialisme modern tidak bisa kecuali melalui taubat penyadaran kritis. Tarekat dituntut untuk memberikan penyadaran terhadap masyarakat tentang pentingnya melawan penindasan. Panindasan bukan hanya menyengsarakan manusia tetapi juga meupakan hal yang sangat dibenci oleh Allah. Guru dan murid (sebutan santri tarekat) tarekat bukan hanya membahas masalah-masalah keagamaan dan keakhiratan, namun harus pula mempersoalkan segala persoalan yang menyusahkan masyarakat. Murid diharuskan untuk melaporkan yang mereka alami, dan bukan hanya melaporkan kondisi jiwa (hal) yang sedang dialaminya. Dari persoalan yang dialami dan yang telah dikemukakan oleh murid, sang Guru (mursyid) menuntun untuk memahami persolan tersebut secara kritis.
            Tanpa adanya penyadaran seperti itu seorang murid hanya mampu memahami persoalan hidupnya secara mitis. Dia tidak mampu memahami persoalan hidupnya secara ontologis dan bahkan fungsional. Yang dimaksud dalam tahapan mitis disini adalah seorang murid tidak mampu melihat kaitan antar satu faktor dengan faktor lainnya. Contohnya, pada sebuah masyarakat miskin. Dia tidak bisa menghubungkan antara penyebab kemiskinan dan politik. Mereka menganggap hanya merupakan takdir dan tidak mencari jalan untuk  mengatasi kemiskinan tersebut. Seorang penganut tarekat setidaknya dapat melakukan tahapan menuju ontologis dan fungsional  yaitu tahapan menganalisa  mengapa terjadi kemiskinan dan berusaha mencari jalan keluarnya agar keluar dari belenggu kemiskinan.







Daftar Pustaka
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya` Ulum al-Din Juz I, (Beirut: Dar Ibnu Abud, 1995)
Azzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII,(Jakarta: Kencana, 2005)
C.A. Van  Peursen Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius)
Fatawi, KH. Muhammad Ma`mur , Majmu` Musytamil jilid I (Purworejo: Pondok pesantrenn al-Islah,  2003)
Jamil, Cakrawala tasawuf: Sejarah pemikiran dan (Jakarta: Gaung Persada, 2004)
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang islam di Indonesia bad ke-19 (Jakarta : Bulan Bintang,1984).
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Yogyakarta: Gading, 2012)
Nasution, Nasution,   Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1995)
Ni`am, Syamsun, Cinta Ilahi Perspektif Rabi`ah al-Adawiyah dan jalaluddin al-Rumi (Surabaya: risalah Gusti, 2001)
Wahyana Giri, Sajen dan Ritual orang Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2009)
William C. Chittick, Sufism: Beginner`s Guide, (Oxford: One World Publication, 2008)


[1].C.A. Van  Peursen Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius). Hlm 34.
[2] Ibid., Hlm. 55
[3] Wahyana Giri, Sajen dan Ritual orang Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2009) hlm. 15.m
[4] C.A. Van  Peursen Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius). Hlm. 102
[5]Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Yogyakarta: Gading, 2012).hlm. 227
[6]Anthony John adalah seorang professor dalam kajian litertur dan bahasa Indonesia di Australian National University. Ia telah menerjemah kitab Tuhfah al- Mursalat dengan judul, “The Gift Addressed to The Spirit Of The Prophet”. Dalam buku tersebut Johns menjelaskan martabat tujuh masuk nusantara.
[7] Ibid.,Martin Van Bruinesse., hlm 227.
[8] Ibid.,Martin Van Bruinesse., hlm 227
[9] Harun nasution,  Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hlm. 56.
[10] Syamsun Ni`am, Cinta Ilahi Perspektif Rabi`ah al-Adawiyah dan jalaluddin al-Rumi (Surabaya: risalah Gusti, 2001), hlm. 3. Mendekatkan diri kepada Allah haruslah dimulai dengan jalan tauhid, karena tauhid adalah landasan utama menempuh jalan tasawuf. Baca: William C. Chittick, Sufism: Beginner`s Guide, (Oxford: One World Publication, 2008), hlm. 12. Al-Ghazali lebih dulu menjelaskan bahwa kalimat tauhid adalah landasan pertama yang harus dimiliki seseorang untuk menyelami dunia sufi. Al-Ghazali, Ihya` Ulum al-Din Juz I, (Beirut: Dar Ibnu Abud, 1995), hlm.373.
[11] Jamil, Cakrawala tasawuf: Sejarah pemikiran dan (Jakarta: Gaung Persada, 2004), hlm. 121.
[12] KH. Muhammad Ma`mur Fatawi, Majmu` Musytamil jilid I (Purworejo: Pondok Pesantrenn al-Islah,  2003) Hlm. 20-21
[13] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta : Bulan Bintang,1984).Hlm. 175.
[14] Ibid,.hlm 174.
[15] Ibid., hlm 91-100. Baca: Azzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII,(Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 219.
[16] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat hlm.. 237.
[17]Ibid.,hlm.237.
[18]Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam.,hlm. 174.
[19] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat hlm.. 328-329
[20] Ibid., 238.
[21] Ibid.,238
[22]Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang islam.,hlm.146.
[23] Ibid.,143.
[24] C.A. Van  Peursen Strategi Kebudayaan, hlm. 46.
[25] Karel.hlm.210.
[26]Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat.,hlm. 507

No comments:

Post a Comment