PRIBUMISASI
TASAWUF
( Dari
sufistik pribumi menuju manunggaling kawulo gusti modern )
a. Menyelami dunia mitis pribumi
Mitis
yang meliputi kebudayaan primitif ternyata masih sangat menarik sekali bagi
kita. Upacara-upacara, bertapa dalam gua serta tari-tarian merupakan contoh
kecil usaha manusia dalam rangka menjalin hubungan dengan alam.[1] Dunia mitis ditandai oleh rasa takut dalam
diri manusia terhadap daya-daya purba dalam hidup dan alam raya. Manusia
mencari semacam strategi dalam rangka menemukan hubungan yang tepat antara
manusia dan daya-daya kekuatan tersebut. [2]
Orang-orang
nusantara (khususnya orang jawa) menggelar upacara tradisi, ritual
selamatan atau gelar sajen (sesaji) adalah peristiwa yang sudah diakrabi sejak
lahir. Setiap orang Jawa yang lahir sudah diperkenalkan dengan ritual selamatan
kelahiran dengan segala ubo rampe ( perlengkapan) nya. Budaya
peninggalan nenek moyang yang adiluhung itu merupakan modal sosial yang besar
yang mempunyai nilai yang agung dalam menciptakan kebersamaan, gotong royong,
guyub rukun dan saling menghargai sesama.
Permohonan yang
tulus itu diwujudkan dalam rasa keikhlasan sang penderma ketika membelanjakan
syarat ubo rampe atau pernak-pernik aneka sesajen tanpa sedikitpun merasa berat
atau terbebani. Belum lagi bila sajen selesai di doakan maka sesajen itu di
bagi-bagikan atau dimakan bersama-sama. Setidaknya peristiwa ini mewujudkan
rasa ikhlas untuk bersedekah.[3]
Budaya ini yang kemudian dipergunakan oleh para penyebar islam untuk menanamkan
nilai dasar keislaman tentang pentingnya bersedekah.
Nenek moyang orang
Jawa percaya adanya kekuasaan yang ada didalam luar dirinya ( Tuhan). Mereka
mensifati Tuhan dengan gusti ingkang murbeng dumadi, Gusti ingkang Murbo
meseso, Gusti ingkang moho widhi, gusti ingkang moho suci, gusti ingkang moho
wikan dan seterusnya sebagai mana sifat-sifat Allah yang di yakini oleh
pengikut Islam pada umumnya. Orang jawa memiliki tipologi hidup damai, selaras,
serasi dan seimbang. Itu tercermin bahwa orang jawa tidak mau di ganggu dan
mengganggu. Dalam prakteknya meskipun mereka meyakini sepenuh hati dan
bertauhid kepada Allah, tetapi mereka masih melakukan tegur sapa pada hal-hal
yang bersifat gaib. Ini dilakukan untuk menjaga keharmonisan hidup.
Orang-orang kuno
dalam menigkatkan kualitas supranaturalnya melakukannya dengan berbagai
macam cara, mulai laku tirakatan,
bertapa hingga berpuasa dengan berbagai macamnya. Tujuannya adalah untuk
mendekatkan kepada Yang Maha Kuasa. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
manusia modern, yang kadang karena ke tidak tahuannya atau mungkin adanya
kepentingan-kepentingan politik, menolak fenomena tersebut dan bahkan
menghukuminya sebagai orang kolot yang menyimpang dari agama.
Gambaran diatas
menjelaskan tentang keadaan masyarakat nusantara yang berbeda dengan masyarakat
di belahan dunia lain. Negara yang “ gemah ripah loh jinawi”, mengakibatkan tidak
disibukkan lagi dengan urusan-urusan bertahan hidup yang diakibatkan oleh
kerasnya iklim, sulitnya mencari makan karena semua dapat diambil secara mudah
dari alam. Mereka kemudian lebih banyak
memikirkan hal-hal yang supranatural.
Melihat wajah
budaya Indonesia yang seperti itu menarik sekali ketika dihubungkan dengan
statemen van peursen bahwa, manusia mencari strategi dalam menemukan hubungan
yang tepat antara daya dan kekuatan-kekuatan alam. Hal ini akan menjadi titik
tolak pembahasan pada tulisan ini
berkenaan cara manusia mendekatkan pada Tuhan lewat jalur tarekat.
b.
Tarekat
dan tasawuf
Dalam dunia mitis manusia belum merupakan seorang pribadi yang
bulat dan utuh. Dalam alam pikiran ontologis subyek dan obyek, manusia dan
dunia mulai berhadapan muka. Tetapi dalam pandangan fungsionil bukan distansi
yang diutamakan melainkan relasi.[4] Pernyataan
van Peursen tersebut sangat menarik ketika kita hubungkan dengan dunia sufi.
Dalam dunia tasawuf manusia dengan segala aktifitasnya berusaha mendekatkan
pada yang Maha Kuasa dengan berbagai macam cara. Tidak terkecuali di Indonesia
yang sudah lama sekali mengenal hal
tersebut.
Berlangsungnya perpindahan agama baik secara damai maupun kekerasan
memunculkan perdebatan yang sangat panjang. Tapi secara umum penyebaran agama
islam di Nusantara di sebarkan secara damai. Ada anggapan dan data yang menunjukkan
bahwa tasawuf dan berbagai tarekat telah memainkan peranan yang menentukan
dalam proses ini. Tren islamisasi nusantara bebarengan dengan merebaknya
tasawuf abad pertengahan dan pertumbuhan tarekat. Al-ghazali yang telah
menguraikan konsep tasawuf akhlaqi yang dapat diterima dikalangan fuqoha, an-Najib
Al-Suhrowardi, Abulkhasan as-Sadzili, Bahauddin an-Naqsabandy merupakan para
tokoh yang sangat berpengaruh di dunia tasawuf.
Islam yang diajarkan pada orang asia tenggara sangat diwarnai oleh
berbagai ajaran dan amalan sufi. Para sejarawan menyebutkan bahwa inilah yang
membuat islam menarik bagi orang asia tenggara. Dengan kata lain perkembangan
tasawuf merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan islam di asia
tenggara berjalan sangat cepat. Ajaran-ajaran kosmologi dan metafisis yang
dapat dipadukan secara mudah dengan ide-ide sufistik pribumi merupakan alasan
yang sangat jelas bahwa islam dapat di terima dengan mudah. Konsep insan kamil,
sangat potensial sebagai legitimasi religius para raja.[5]
Penyebaran islam secara cepat ini menarik peneliti Australia
(Anthony Johns)[6],
dia mensinyalir bahwa perkembangan islam pada awal-awal dilakukan oleh para
sufi yang bergabung dengan para pedagang. Hal ini didapatkan dari berbagai
laporan pribumi.[7]
Sehingga islam pada saat ini masih dipengaruhi dengan sikap-sikap sufistik.[8] Kegagalan
para reformis puritan untuk menyingkirkan tarekat dan tasawuf ternyata tidak
sepenuhnya berhasil. Hal ini ditandai dengan semakin semaraknya tarikat.
Telah manjadi hal yang tidak asing lagi bahwa antara tarikat dan
tasawuf memiliki hubungan yang sangat erat. Untuk melihat sedekat apa hubungan
antara keduanya, biasanya dengan melihat hakikat dari tasawuf yatiu sebagai
wadah yang menempung metode spiritual yang termanifestasi dalam sebuah usaha
mendekatan diri pada Allah SWT.[9]
Sedang usaha untuk mendekatkan diri itu membutuhkan jalan atau cara yang
kemudian dinamakan dengan tarikat. Sehingga pada kenyataan praktek spiritualnya
seoarang pelaku tasawuf (salik) selalu berusaha mensucikan batinnya dari
hal-hal kotor yang masih melekat pada kalbunya yang semata-mata untuk
mendekatkan diri kepada Allah. [10]
Tarekat adalah tempat pendidikan kerohanian bagi setiap orang yang
melakukan kehidupan tasawuf untuk mencapai tingkat kerohanian tertentu. Tarikat
merupakan sebuah perkumpulan atau organisasi yang didirikan menurut aturan yang
telah ditetapkan oleh seorang guru yang menganut suatu ajaran tarekat tertentu.[11]
Sehingga tarekat mempunyai jalan yang sangat signifikan bagi mereka yang akan
menjadi seorang sufi dalam melalui tahapan-tahapan (maqamat) tertentu dalam
ajaran tasawuf. Bagi mereka yang menjalankan akan mendapat bimbingan yang
intens dari seorang guru untuk melakukan serangkaian cara untuk melalui
lintasan yang berupa laku batin, latihan, riyadhoh dan juga perjuangan yang
sungguh-sungguh dalam kerohanian hingga berakhir pada tahap tertinggi yaitu fana`
fil haq
. Guru-guru tarekat harus mempunyai silsilah sampai kanjeng Nabi. Dalam beberapa kitab-kitab
tentang tarekat dijelaskan pentingnya kejelasan seorang guru serta kedudukan
silsilah atau sanad. Seperti yang di jabarkan dari kitab majmu` musytamil jilid
I:
1.
Sanad iku
setengah saking kebenerane agama, jalaran lamun ora ono sanad uwong-uwong podo
ngaku sak karepe dewe. ( sanad adalah indikasi dari kebenaran agama, karena
kalau tidak ada sanad pasti setiap orang mengklaim akan kebenarannya sendiri)
2.
Sing sopo wonge
ora nduwe guru kang nuduh ake, mongko nuntun sopo syetan ing wong mau ing sak karepe dewe ( barang siapa
tidak mempunyai guru yang member petunjuk, maka syetan akan menuntun orang
tersebut dengan semaunya sendiri)
3.
Sing sopo wonge
ora nduwe guru mongko gurune syetan ( barang siapa tidak mempunyai guru maka
gurunya syetan
4.
Sing sopo wae
ora ketemu silsilahe rante-rantene gurune tumeko kanjeng nabi, mongko wong iku maqtu`
ul faidh inggih puniko bumpet mboten pikantuk luberane por masyayikh tumeka
kanjeng Nabi. (barang siapa tidak bertemu silsilah mata rantai guru sampai
kanjeng nabi, maka orang tersebut (maqtu` ul faidh) tersumbat tidak
memperoleh berkah dari ilmunya para guru sampai kanjeng nabi
5.
Wit iku menowo
tukul dewe ra ono kang nandur yo biso subur godonge tapi ora gelem uwoh.( pohon
itu apabila tumbuh dengan sendirinya tanpa ada yang menanam (merawat) ia dapat
subur daunnya tetapi tidak berbuah[12]
Berdasarkan uraian diatas
pentingnya silsilah sanad yang
menghubungkan antara satu guru dengan guru yang lain sampai kepada nabi
Muhammad.
Karel Steenbrink
dalam bukunya beberapa aspek tentang islam menjelaskan panjang lebar mengenai
guru tarekat dan jaringannya. Dalam buku ini pembahasan tarekat lebih
menekankan pada sepak terjang seorang tokoh. Para ulama yang ada di nusantara
mayoritas adalah orang –orang yang mengikuti jalur sufi dan tarekat hal ini
disebabkan karena penyebaran islam dilakukan oleh kalangan sufi[13]. Meskipun
ada juga para ulama yang menentang tarekat di sekitar abad 19. Perkembangan tarekat
di Indonesia menarik bagi Karel, dia manyimpulkan ada 2 jenis tarekat yang berkembang
yaitu tarekat yang tidak memntingkan pada
bidang syari`at (tarekat Syattariyah)
dan tarekat yang menekankan pada bidang
syari`at (tarekat Naqsabandiyah). Namun dalam perkembangannya tarekat Naqsabandiyah
jauh lebih popular dikarenakan lebih moderat dengan berpegang pada ajaran
al-Ghazali. [14]
Jejak tarekat
di Indonesia dalam bahasan buku karel sangat banyak ditemukan dan mempunyai
hubungan yang sangat erat diantara pengikut aliran tarekat. Selain mahir dalam
bidang tasawuf seorang mursyid juga mahir dalam bidang fiqh dan beberapa
keilmuan. Syekh Arsyad al-Banjari yang di tulis dalam buku Karel banyak
menguasai berbagai macam bidang keilmuan.[15]haji
Ahmad Rifa`I dari kali sasak, Imam Nawawi al-Bantani adalah tokoh tasawuf yang
menguasai banyak ilmu. sehingga dengan menguasai berbagai macam keilmuan para
tokoh ini menjadi di segani dan sangat berpengaruh di daerahnya. Tak elak pada
masa-masa ini pemerintahan Belanda menaruh curiga sepak terjang para tokoh
tarekat. Dari sini peran tarekat dapat kita baca sudah masuk pada tahapan
fungsional.
c.
Pergerakan tarekat antara agama dan politik
Menjelang abad ke-18, berbagai tarekat berkembang pesat di
nusantara. Orang-orang yang baru pulang dari Makkah dan Madinah mulai
menyebarkan ajaran-ajaran tarekat. [16]
ajaran tarekat merupakan jurus jitu dalam menyebarkan islam. Selain dibimbing
berbagai macam wirid dan akhlak, ajaran tarekat juga mengajarkan syari`at. Beberapa
sumber primbumi mengatakan bahwa tarekat memiliki pengikut pertama-tama di
lingkungan istana kemudian merembes ke masyarakat awam.[17]
Seiring bertambahnya waktu tarekat memiliki pengikut yang banyak dan menyeluruh
di sebuah kawasan tertentu. Kenyataan ini yang melatarbelakangi mobilisasi
pergerakan tarekat dalam konflik terbuka dengan penjajah.
Pemberontakan-
pemberontakan yang melibatkan tarekat ini terjadi sejak awal abad 19 sampai
abad 20. Sebagian gerakannya adalah menentang masuknya pemerintah Kolonial,
sedangkan pemberontakan lainnya menentang peraturan-peraturan tertentu yang
ditetapkan pemerintah atau respons terhadap kemerosotan kehidupan ekonomi
masyarakat dan penindasan. Seperti yang terekam dalam buku Karel tentang
pemberontakan di Cilegon Banten[18]. Studi
klasik Sartono Kartodirdjo tentang pemberontakan besar di Banten, yakni
pemberontakan 1888, telah menarik perhatian pada peranan penting yang dimainkan
oleh kelompok tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah dimasyarakat Banten pada
paruh abad ke-19. Walaupun banyak kalangan menilai tarekat ini bukanlah yang
mengambil inisiatif untuk melakukan perlawanan, namun ia menyediakan suatu
jaringan komunikasi yang memunculkan mata rantai yang diklaim sebagai jaringan
untuk mobilisasi masa.[19]
Di Kalimantan
selatan tarekat Samaniyah melakukan peran penting dalam rangka melawan belanda
yang mau menduduki kota. Gerakan rakyat yang sangat kuat disebabkan adanya
amalan-amalan sufi yang di sebut ratib beramal.[20]bahkan
jauh sebelum itu di Palembang tarekat samaniyah melakukan perlawanan terhadap
Belanda yang akan menduduki kota mereka. Disebutkan bahwa beberapa kelompok
berpakaian putih, berdzikir keras samapai mencapai ekstase dan kemudian tanpa gentar melakukan perang
terbuka . mereka mempunyai semacam kekebalan dengan perantara dzikir tersebut.[21]
Tarekat juga memainkan peran besar di Lombok (1891) ditujukan kepada orang Bali
yang menguasai peranan besar di pulau tersebut. Gerakan tarikat ternyata mempunyai dampak
yang luar biasa dan sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan.
d.
Penolakan
dan pelarang tarekat sebagai intrik politik penjajah
Penolakan terhadap tarekat sebenarnya datang dari orang Indonesia
sendiri. Buku yang dikarangnya yang berjudul izharu Zaghblil Kadzibin fi
tasyabbubihim bis shadiqin yang dicetak pada tahun 1906 di Padang. Buku ini
merupakan karangan syeh Ahmad khatib al-Minangkabawy seorang pengikut madzhab Syafi`I tentang penolakan tarekat. Dalam mengarang buku ini
sang syekh mengambil referensi dari kitab al-ba`its ila inkar al-Bid`ah wal
hawadits, sebuah kitab karangan Imam Syihabuddin bin Muhammad bin
Abdurrahman bin Ismail bin Ibrahim yang namanya masyhur dengan Abu Syamah.
Kitab ini bercorak dengan kumpulan Qur`an dan hadits. Kitab ini khusus
menyerukan agar menjauhkan diri dari bid`ah.
Karangan Ahmad
khatib ini tidak memulai dengan pendekatan sejarah tetapi dengan penyelidikan,
Ahmad khatib adalah orang yang sangat cepat mengkafirkam orang lain sebagaimana
yang ada pada statemennya. Dibidang fiqh Ahmad khatib adalah orang yang
bertaqlid pada Imam Syafi`I . selain Ahmad Dahlan, Muhammad Jamil jambek, Haji
Amrullah dan haji Abdullah Ahmad adalah muridnya. Tetapi para muridnya tidak
mau secara konskwen mengikuti gurunya. Hal ini memang hal yang tidak aneh dalam
dunia pendidikan.[22]
Menurut informasi
yang diterima oleh Snouck Hurgronje alasan Ahmad Khatib yang paling tepat untuk
menolak tarekat adalah sikap iri hati yang tersimpan di hati Ahmad Khatib
terhadap Syekh Jabal Kubis atau Sulaiman Efendi. [23]Disisi
lain, ada ulama yang netral terhadap tarekat yaitu Imam Nawawi al-Bantani.
Beliau tidak melarang dan tidak juga memenganjurkan.
Pemberontakan-pemberontakan
yang di dalangi oleh beberapa tarekat menyita perhatian khusus pihak kolonial. Pemberontakan yang paling mendapat perhatian
dari pihak kolonial adalah pemberontakan Cilegon di tahun 1888. Hal ini
mengakibatkan dilarangnya semua tarekat diberbagai daerah di Indonesia.
Perintah untuk mengawasi tarekat sangat di galakkan, dan cara yang paling mudah
untuk mengawasi tarekat adalah dengan jalan melarangnya.
Pengasingan
tiga guru tarekat di Jogjakarta pada tahun 1904 sebagai bentuk usaha pemerintah
kolonial untuk mengantisipasi gerakan –gerakan dari pengikut tarekat yang tidak
di inginkan. Usaha yang dilakuakan pemerintah koloial adalah berkat usulan dari residen
yogyakarta untuk mengasingkan kyai Krapyak. Dengan alasan kyai ini telah mengajarkan
tarekat Naqsabandiyah dan Syattarniyah. Sultan pun sebenarnya telah melarang tarekat didaerah ini. Karena tarekat
dilarang maka data statistik tarekat di jogjakarta sama sekali tidak ditemukan.
Usulan residen Yogyakarta ditanggapi dengan keras oleh Snouck
Horgronje, dia menentang usulan tersebut. Perburuan guru tarekat secara
besar-besaran terjadi dimana-mana, bersamaan dengan terjadinya peristiwa
Sidoarjo pada bulan mei 1904.
e.
Analisa kritis
Uraian yang ada dalam buku Karel Steenbrink
untuk memperlihatkan peta dinamika ajaran-ajaran tasawuf dan tarekat yang lahir
dari tangan-tangan ulama nusantara. Tentu masih banyak sekali ulama-ulama yang
belum disebutkan. Lepas dari semua itu buku ini dipandang cukup untuk
memberikan penjelasan tentang keragaman ajaran tasawuf dan sekaligus betapa
kayanya ajaran-ajaran tasawuf yang di miliki oleh negeri ini. Ulama-ulama
tarekat tidak hanya melahirkan karyanya dalam bidang tasawuf saja, melainkan
dalam bidang-bidang lain. Ajaran-ajaran tasawuf yang pada awalnya hanya bertujuan
sebagai usaha mendekatkan pada Tuhan, tetapi lama kelamaan berubah tidak hanya
mengacu pada akdemis belaka tetapi menjadi media perlawanan terhadap pemerintah
kolonial.
Karel
dalam bukunya ingin menampakkan bahwa Ajaran-ajaran tasawuf yang dihasilkan
oleh para ulama nusantara sangat berbeda dengan ajaran tasawuf Timur tengah. Ajaran yang dihasilkan juga
melakukan pergumulan dengan isu-isu lokalitas dan masalah yang terjadi.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa suatu ajaran lahir tidak bisa lepas dari ruang
sosial, politik dan budaya yang berkembang ketika itu. Perpaduan antara ajaran
tarekat dan tradisi lokal merupakan suatu strategi dakwah. Bayangkan saja, jika
dulu orang-orang jawa hanya mengenal nama-nam tokoh seperti kresna; Werkudara, Arjuna setelah islam datang tiba-tiba ia harus mengenal
nama-nama seperti; Abu bakar, Umar, Utsman dan sebagainya. Jelas
dalam kasus ini terjadi “gempa budaya” yang dahsyat. Maka dari itu tokoh-tokoh
islam melakukan akulturasi dengan budaya setempat. Tidak terkecuali dalam
bidang tasawuf sebagaiamana yang dijelaskan dalam pembahasan tarekat, disitu
ada tarekat lokal jawa yang menggabungkan antara Hindu dan Islam.
Penjelasan
Karel mengenai tarekat lokal lebih cenderung ke arah kesempurnaan hidup.
Syari`at memang mampu menghadapi kehidupan sehari-hari, tetapi untuk mencari
kehidupan agama yang sempurna diperlukan pedoman yang lain. Maka dari itu perlu
adanya mengambil sikap kompromis dengan tradisi lama yang diberi corak islam.
Kesatuan yang sempurna merupakan tujuan hidup. Dalam teori modern seperti yang
disebutkan van peursen bahwa, manusia dan alam raya saling meresapi dan oleh
karena itu kekuatan manusia dan ilahi juga saling melebur. [24]
dalam tarekat lokal kesatuan itu mengambil bentuk kesatuan antara mikrokosmos
dan makrokosmos sehingga bentuk itu disebut dengan kesatuan yang
sempurna.[25]
Tarekat
dan tasawuf merupakan bentuk dari evolusi agama. Artinya amalan-amalan pada
suatu ajaran agama seiring berjalannya roda peradaban mengalami transformasi.
Ajaran dari wahyu dan sunnah nabi ketika berbenturan dengan sebuah kebudayaan
akan terjadi perubahan bentuk dan praktek. Seperti halnya tarekat pada mulanya
adalah amalan dan wirid yang tercecer kemana-mana diantara kalangan sahabat.
Kemudian dikumpulkan oleh seorang
guru tarekat dan diajarkan kepada siapa saja yang menginginkan.
Adanya aliran yang
menentang tarekat menurut buku karel terjadi karena beberapa sebab. Dalam kasus
Syekh Ahmad Khatib, penolakan disebabkan karena cara pandang yang digunakan
dalam menilai tarekat memakai kacamata yang beda. Ahmad Khatib mengkaji tarekat
dengan berlandaskan al-Qur`an dan hadist yang khusus menyerukan agar menjauhkan
diri dari bid`ah. Sehingga dia tidak menemukan dalam al-Qur`an dan hadis
praktek tarekat pada masa Nabi. Ahmad
khatib tidak menggunakan pendekatan sejarah dalam menilai tarekat. Ini sangat
menarik untuk diteliti, bahwa dalam Islam ada tradisi lisan. Hadist tidak
mungkin bisa merekam seluruh lini kehidupan Nabi. Maka dalam islam tradisi atau
kebiasaan ahli madinah bisa dijadikan ajaran agama. Aliran tarekat merupakan
usaha inovasi para ulama untuk mengemas ajaran Nabi dalam satu wadah sehingga
bisa dilakukan secara mudah oleh masyarakat awam. Disisi lain, dalam
penolakannya terhadap tarekat disebabkan karena rasa iri hatinya kepada Syekh
Jabal Kubis atau Sulaiman Efendi. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa
penolakannya terhadap tasawuf dan tarekat disebabkan karena banyaknya
terekat yang menyimpang.
Murid-murid Syeh
Ahmad Khatib secara tidak langsung cenderung mmengikuti
gurunya. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka berseberangan. Keterangan
Karel tentang pelarangan tarekat pada masa kolonial sangat menarik untuk dibahas. Pengasingan tiga guru tarekat yang diusulkan
oleh Residen Yogyakarta serta pelarangan tarekat di kawasan kraton Yogyakarta
oleh raja menimbulkan tanda tanya. Mengapa kraton melarang tarekat? Apakah hal
ini ada kaitannya dengan pelarangan tarekat oleh salah satu Ormas Islam (Muhammadiyah)?
Atau mungkinkah ada kerjasama antara kraton dan kyai Ahmad dahlan untuk
berfatwa melarang tarekat?, yang jelas hal ini membutuhkan penelitian panjang. Memang
secara formal Muhammadiyah menolak tasawuf dengan alasan klasiknya yang sering
kali tasawuf diselewengkan menjadi
tarekat dengan organisasi dan praktek-praktek ritual yang ketat. Alasan seperti
ini lambat laun tidak bisa di pertahankan. Penolakan ini, membuat tradisi keberagamaan Muhammadiyah dianggap
terlalu kering. Meskipun tradisi-tradisi sufi juga berkembang dilingkungan
Muhammadiyah. Berbeda dengan NU yang secara selektif menyaring tarekat dan
mengelompokkan kedalam tarekat mu`tabaroh, yaitu tarekat yang mempunyai
jalur resmi sampai pada Nabi Muhammad.
Terlepas
dari semua itu tarekat merupakan tradisi yang mengakar di kalangan masyarakat
indonesia. Sehingga setiap event apapun yang ada di Indonesia selalu berkaitan
dengan mitis. Tak elak, aktor-aktor politik telah merambah guru-guru mitis yang
karismatik. Tidak hanya legitimasi tetapi untuk mengubah pilihan suara,
memberikan nasihat spiritual, dan terutama sebagai kekuatan supranatural untuk
mendukung diri mereka sendiri. Tarekat dan gerakan mitis merasakan tekanan
untuk melakukan rasionalisasi dan mengadopsi bentuk yang lebih formal. Munculnya
tokoh-tokoh birokrat dari kalangan sufi menunjukkan bahwa sufisme kontemporer
di Indonesia bukan melulu pada urusan akhirat saja, tetapi sebaliknya sufisme
terlibat aktif dalam politik praktis.[26] Ini
merupakan gerakan transisi dari yang dulu mitis sekarang menjadi fungsional.
f.
Kritik terhadap tarekat
pada masa kolonial banyak sekali perlawanan
yang datang dari tarekat, namun setelah kemerdekaan tarekat seperti telah kehilangan peran. Padahal, pada masa sekarang
imperialisme masih tetap ada di Negara-negara Islam termasuk Indonesia. Bahkan
sangat membahayakan. Semua itu karena imperialism modern memiliki sifat yang
berbeda dari imperialisme klasik. Jika imperialism klasik berupa pendudukan
langsung maka imperialisme modern bukan melalui pendudukan militer secara
langsung, namun melalui hegemoni pengetahuan dan ideology. Secara otomatis
penjajahan seperti ini tidak dapat ditangkap dengan mudah oleh setiap orang.
Sebenarnya tarekat
memiliki jaringan yang sangat luas dan basis masa yang sangat banyak, sinstem
ke-organisasian yang sangat kuat dan memiliki pengaruh yang sangat luas di
masyarakat. Hal ini merupakan modal yang sangat besar untuk melakukan perlawanan
terhadap imperialisme modern. Modal yang begitu besar semestinya sangat efektif
untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan dan menegakkan keadilan. Tarekat
harus mampu menampakkan kehadiran Tuhan dalam alam nyata dan diwujudkan dalam
aspirasi untuk pembebasan dan perjuangan agar tercipta masyarakat yang lebih
adil dan manusiawi.
Tarekat yang
menjadi sarana pendidikan yang bertujuan untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Keberislaman seseorang tidak bisa dilepaskan dari tuntutan amar ma`ruf nahi
munkar. Memerangi penindasan dan ketidak adilan adalah sebuah harga mati dan
tidak boleh dinafikan oleh seorang pengikut tarekat. Meskipun ia harus mati
sebagaiamana syeh siti jenar dan al-Hallaj, yang mati semata-mata hanya membela
hak-hak rakyat kecil manusia pinggiraan. Disinilah sebenarnya hakikat dari
manunggaling kawulo gusti, ajaran yang telah di amalkan oleh syeh siti jenar.
Dia mewakili Tuhan kealam nyata menolong orang-orang yang lemah dan terhina.
Seolah-olah ia menyatu dengan Tuhan tanpa mengenal rasa takut sedikitpun dari
penguasa.
Keluar dari
penindasan imperialisme modern tidak bisa kecuali melalui taubat penyadaran
kritis. Tarekat dituntut untuk memberikan penyadaran terhadap masyarakat
tentang pentingnya melawan penindasan. Panindasan bukan hanya menyengsarakan
manusia tetapi juga meupakan hal yang sangat dibenci oleh Allah. Guru dan murid
(sebutan santri tarekat) tarekat bukan hanya membahas masalah-masalah keagamaan
dan keakhiratan, namun harus pula mempersoalkan segala persoalan yang
menyusahkan masyarakat. Murid diharuskan untuk melaporkan yang mereka alami,
dan bukan hanya melaporkan kondisi jiwa (hal) yang sedang dialaminya.
Dari persoalan yang dialami dan yang telah dikemukakan oleh murid, sang Guru
(mursyid) menuntun untuk memahami persolan tersebut secara kritis.
Tanpa adanya
penyadaran seperti itu seorang murid hanya mampu memahami persoalan hidupnya
secara mitis. Dia tidak mampu memahami persoalan hidupnya secara ontologis dan
bahkan fungsional. Yang dimaksud dalam tahapan mitis disini adalah seorang
murid tidak mampu melihat kaitan antar satu faktor dengan faktor lainnya.
Contohnya, pada sebuah masyarakat miskin. Dia tidak bisa menghubungkan antara
penyebab kemiskinan dan politik. Mereka menganggap hanya merupakan takdir dan
tidak mencari jalan untuk mengatasi
kemiskinan tersebut. Seorang penganut tarekat setidaknya dapat melakukan
tahapan menuju ontologis dan fungsional
yaitu tahapan menganalisa mengapa
terjadi kemiskinan dan berusaha mencari jalan keluarnya agar keluar dari
belenggu kemiskinan.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali,
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya` Ulum al-Din Juz I, (Beirut: Dar Ibnu
Abud, 1995)
Azzumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII,(Jakarta:
Kencana, 2005)
C.A.
Van Peursen Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta:
Kanisius)
Fatawi,
KH. Muhammad Ma`mur , Majmu` Musytamil jilid I (Purworejo: Pondok
pesantrenn al-Islah, 2003)
Jamil,
Cakrawala tasawuf: Sejarah pemikiran dan (Jakarta: Gaung Persada, 2004)
Karel
A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang islam di Indonesia bad ke-19 (Jakarta
: Bulan Bintang,1984).
Martin
Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Yogyakarta: Gading,
2012)
Nasution,
Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam
(Jakarta : Bulan Bintang, 1995)
Ni`am,
Syamsun, Cinta Ilahi Perspektif Rabi`ah al-Adawiyah dan jalaluddin al-Rumi (Surabaya:
risalah Gusti, 2001)
Wahyana
Giri, Sajen dan Ritual orang Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2009)
William
C. Chittick, Sufism: Beginner`s Guide, (Oxford: One World Publication,
2008)
[1].C.A. Van Peursen Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta:
Kanisius). Hlm 34.
[2] Ibid.,
Hlm. 55
[3] Wahyana Giri, Sajen
dan Ritual orang Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2009) hlm. 15.m
[4] C.A. Van Peursen Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta:
Kanisius). Hlm. 102
[5]Martin Van
Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Yogyakarta: Gading,
2012).hlm. 227
[6]Anthony John
adalah seorang professor dalam kajian litertur dan bahasa Indonesia di
Australian National University. Ia telah menerjemah kitab Tuhfah al- Mursalat
dengan judul, “The Gift Addressed to The Spirit Of The Prophet”. Dalam
buku tersebut Johns menjelaskan martabat tujuh masuk nusantara.
[8] Ibid.,Martin
Van Bruinesse., hlm 227
[9] Harun
nasution, Falsafat dan Mistisisme
dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hlm. 56.
[10] Syamsun Ni`am,
Cinta Ilahi Perspektif Rabi`ah al-Adawiyah dan jalaluddin al-Rumi (Surabaya:
risalah Gusti, 2001), hlm. 3. Mendekatkan diri kepada Allah haruslah dimulai
dengan jalan tauhid, karena tauhid adalah landasan utama menempuh jalan
tasawuf. Baca: William C. Chittick, Sufism: Beginner`s Guide, (Oxford:
One World Publication, 2008), hlm. 12. Al-Ghazali lebih dulu menjelaskan bahwa
kalimat tauhid adalah landasan pertama yang harus dimiliki seseorang untuk
menyelami dunia sufi. Al-Ghazali, Ihya` Ulum al-Din Juz I, (Beirut: Dar
Ibnu Abud, 1995), hlm.373.
[11] Jamil, Cakrawala
tasawuf: Sejarah pemikiran dan (Jakarta: Gaung Persada, 2004), hlm. 121.
[12] KH. Muhammad
Ma`mur Fatawi, Majmu` Musytamil jilid I (Purworejo: Pondok Pesantrenn
al-Islah, 2003) Hlm. 20-21
[13] Karel A.
Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta
: Bulan Bintang,1984).Hlm. 175.
[14] Ibid,.hlm
174.
[15] Ibid., hlm
91-100. Baca: Azzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII-XVIII,(Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 219.
[16] Martin Van
Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat hlm.. 237.
[18]Karel A.
Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam.,hlm. 174.
[19] Martin Van
Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat hlm.. 328-329
[20] Ibid., 238.
[21] Ibid.,238
[22]Karel A.
Steenbrink, Beberapa Aspek tentang islam.,hlm.146.
[23] Ibid.,143.
No comments:
Post a Comment