Dualisme
dan integrasi pendidikan Islam dan pendidikan umum di Indonesia
Oleh: Zainur Rofik
A. Akar Dualisme Pendidikan di Indonesia
Asal mula sistem pendidikan dualisme di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari potret masa lalu (pemerintah kolonial).
Karel Steenbrink menjelaskan secara kritis bahwa pemerintah belanda ingin
membangun sistem pendidikan yang berdasarkan sistem pribumi murni dan disesuaikan
dengan masyarakat desa, yang dikaitkan dengan pendidikan Islam yang sudah ada
sebelumnya.[1] Gagasan
Gubernur Jenderal Van Der Capellen
tersebut menurut Brugmans merupakan usaha untuk mewujudkan kebijakan
politik Belanda, yaitu: harus
menghormati unsur pribumi dalam masyarakat dan keengganan menolak kebudayaan
asli dalam hubungannya kebudayaan asing yang bercorak barat.[2]
Namun, karena berbagai alasan teknis, kebijakan tersebut tidak bisa dilakukan.
Inspektur Pendidikan Pribumi yang pertama, yaitu J.A. van
der Chijs, pada tahun 1865 setahun setelah menjabat sebagai inspektur
pendidikan, dia sudah menolak menyesuaikan pendidikan Islam yang ada. Bahkan,
sekolah-sekolah Zending (bercorak kolonial) yang ada pada saat itu di usulkan
agar materi-materi pendidikan agama yang ada dikurangi, sedang mata pelajaran
umum ditingkatkan. Sekolah Zending ini pada akhirnya masuk kedalam sistem
pendidikan umum Gubernemen. Secara teknis, memasukkan sekolah tersebut kedalam
sistem sekolah umum lebih mudah dari pada memasukkan psantren kedalam sistem
pendidikan umum. Hal itu, antara lain disebabkan para murid sekolah tersebut sudah
terbiasa dengan tulisan latin. [3]
Pada tahun 1888 menteri kolonial menolak memberikan subsidi
kepada sekolah-sekolah islam, dengan alasan Gubernur Jendral tidak mau
mengorbankan keuangan negara untuk sekolah-sekolah tersebut. Karena, hal
tersebut dinilai akan membahayakan kewibawaan pemerintah kolonial. Berdasarkan
hal tersebut, maka didirikanlah sekolah-sekolah desa, sebuah lembaga pendidikan
sederhana yang membuka jalan pada terwujudnya pendidikan umum. Dan pada saat
yang bersamaan, usul untuk menggabungkan pendidikan Islam di tolak.[4]
Pada akhirnya, sekolah Islam sejak saat itu mengambil jalannya
sendiri, lepas dari gubernemen, tetap berpegang tradisi sendiri, tetapi juga
terbuka untuk perubahan dalam tradisi tersebut. Apa yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial, setidaknya dapat dipahami sebagai sebuah strategi dalam
rangka menyingkirkan gerakan Islam. Bisa jadi, dengan adanya politik ini
Belanda bisa lebih aman dari ancaman perlawanan atau setidaknya dari munculnya
sikap kritis dikalangan umat Islam pribumi yang diakibatkan adanya lembaga
pendidikan Islam. Ide brilian pemerintah kolonial dalam menekan pendidikan
Islam di Indonesia berdampak hingga saat ini. Bangsa indonesia mewarisi
dualisme dalam bidang pendidikan, yang satu bernaung pada Diknas dan satunya
pada Depag.
B. Perspektif filosofis Integrasi Pendidikan Islam
Hampir menjadi
kesepakatan umum, bahwa peradaban masa depan adalah peradaban yang pada banyak
hal didominasi ilmu (khususnya sains), yang pada tingkat praksis dan penerapan
menjadi teknologi. Maju dan mundurnya
suatu masyarakat dimasa kini dan mendatang banyak di tentukan oleh tingkat
penguasaan dan kemajuan sains. Dengan demikian, maka tantangan yang dihadapi
masyarakat muslim tidaklah ringan. Memang, dalam dasa warsa terakhir dikalangan
dunia islam muncul dan berkembang tentang kesadaran urgensi dan rekontruksi
peradaban islam melalui penguasaan sains dan teknologi. Tetapi,
tantangan-tantangan yang dihadapi luar biasa kompleks baik secara internal
maupun eksternal.[5]
Menurut Fazlur rahman pokok kemunduran umat islam pada
saat ini diakibatkan adanya dikotomi ilmu, yaitu ilmu tradisional (agama)
dan ilmu sekuler-modern ( umum). [6]
akan tetapi, jika istilah dikotomi ilmu itu
hanya sekedar membedakan atau mengklasifikasi ilmu menjadi “ ilmu agama” dan
“ilmu non agama”, sebanarnya tidak menjadi masalah selama tidak berlebihan,
apalagi sampai melakukan diskriminasi terhadap salah satu diantara keduanya.
Mulyadi Kartanegara menilai dikotomi ilmu sebenarnya bukan hal yang baru. Islam
telah mempunyai tradisi ini lebih dari seribu tahun silam. Tetapi dikotomi
tersebut tidak menimbulkan banyak problem dalam system pendidikan islam, hingga
system pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke dunia Islam melalui
imperialisme.[7]
Puncak
problematika adalah ketika paradigma dikotomi ilmu menjadi bagian dari sudut
pandang umat islam yang menggeliminir salah satu ilmu dengan mengklasifikasikan
antara high education dan low education atau suprerioritas ilmu
dan inferior ilmu.[8]Apabila
kita melihat sejarah panjang umat Islam, dikotomi ilmu telah dimulai sejak
zaman pertengahan meski pada mulanya,
ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sangat berkembang dikalangan umat Islam.
Philip K. Hitti menyatakan bahwa dinasti umayah merupakan masa tunas
perkembangan intelektual Islam.[9]
Pada dinasti umayah sudah banyak ditemuakan para ahli sains. [10]
Akan tetapi pada
masa selanjutnya, panggung sejarah Islam menampilkan situasi yang sangat
berbeda. Kondisi umat Islam mengalami keterpurukan setelah adanya gerakan kebangkitan kembali
kebudayaan Yunani pada abad 14 M. gerakan reformasi pada abad ke-16 M,
rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklarung) pada abad
ke-18 M. penyebab kemunduran umat Islam selain karena adanya perang salib dan
penyerangan Mongol, yang paling krusial menurut para peneliti adalah paradigma dikotomis
yang berlebihan terhadap ilmu pengetahuan.umat Islam secara sadar memperlakukan
diskriminatif terhadap” ilmu-ilmu umum” yang dipandang sebelah mata.
Manifestasi
otoritas politik sangat di akui sebagai persoalan utama yang memberi pengaruh
besar pada pendidikan Islam klasik. Otoritas ini melingkupi banyak, lebih-lebih
dalam bidang pengajaran.[11].ketika
pendidikan telah di intevensi oleh oleh pemegang kekuasaan maka otoritas
politik memberikan pengaruh yang sangat besar pada terhadap otoritas jalannya
akademik. Diantara faktor determinannya adalah pertentangan antar aliran,
pertikaian politik, dan disintegrasi territorial yang kini meningkat tajam.[12]
Kemenangan islam sunni yang melibatkan intervensi penguasa ternyata telah
melibatkan garis demarkasi pada sejarah pendidikan di dunia Islam hingga
terbagi menjadi dua alur: dunia pendidikan yang terlembagakan dengan dukungan
mayoritas umat dan penguasa dan pendidikan yang tak terlembagakan.[13]
Dengan wawasan
keilmuan yang dikotomik, ilmu-ilmu keagamaan merupakan program kurikuler utama
dalam proses pendidikan yang terlembagakan. Pada kerangka seperti itu fiqh
dinobatkan sebagai mahkota ilmu.[14]lebih
dari itu, tidak kurang dari tiga status yang diberikan pada mereka yang telah
menempati posisi puncak tersebut, yaitu faqih, mufti dan mudarris.[15]
Dalam kenyataannya, tiga status tersebut secara eklusif menjadi hak penuh para
doktor fiqh (hukum). Oleh karena itu Makdisi berpendapat bahwa berdirinya
Madrasah memiliki kaitan erat dengan pembentukan madzhab.[16]
Dalam posisi semacam ini, seorang ahli hukum (fuqaha) menempati posisi yang
tertinggi dan syeikh sebagai pengampu pengajaran ilmu-ilmu yang lain berada
di bawahnya.[17]
Supremasi fiqh yang begitu spektakuler membuat ilmu-ilmu
yang lain menjadi termarjinalkan, menurut Azzumardi ada tiga hal yang
melingkupinya; (1) berkaitan dengan pandangan ketinggian syari`ah diatas
ilmu-ilmu yang lain. (2) secara intitusi kelembagaan pendidikan Islam dikuasai
oleh mereka yang ahli dalam bidang agama.(3) Hampir seluruh madrasah didirikan
dan dipertahankan dengan dana wakaf dari dermawan kaya atau penguasa politik
Muslim.[18]
Dengan demikian, dapat dikatakan dalam pendidikan Islam telah
tumbuh benih-benih dualisme pendidikan pada saat itu.
Selama ini out
put pendidikan Islam yang dikotomis tidak mampu bersaing dengan out put pendidikan sekuler atau bahkan menghadapi
kompetisi dunia global. Seorang generasi Muslim hasil didikan masa klasik
bingung menghadapi realitas sejarah yang tidak dapat dipahaminya. Perlengkapan
keilmuan yang terlalu minim untuk mampu bergumul dengan realitas yang mencekam.[19]
Oleh karena itu pada masa kontemporer, muncul gagasan-gagasan baru untuk mencapai ide-ide
terbaru pendidikan. Fazlurrahman, Muhammad Iqbal, Seyyed Hossein nasr, Ismail
Raji` al-Faruqi dan syekh Muhammad Naquib al-Attas adalah contoh para tokoh kontemporer dan masih banyak yang
lainnya bersama-sama merumuskan pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam.
Al-Attas
seorang pemikir dalam dunia Islam menyadari bahwa ilmu pengetahuan modern
ternyata syarat dengan nilai barat. Andalannya adalah akal semata dengan cara
pandang yang dualistis. Realitas hanya dibatasi pada bidang yang temporal dan
human being menjadi sentral. Ismail al-Faruqi dan Hossein Nasr menyetujui
pendapat tersebut. Al-Faruqi ternyata masih mempersoalkan masalah dualisme ilmu
pengetahuan baik ilmu Islam maupun ilmu umum. Nasr Hamid pun mengkritisi,
mengapa jejak tuhan dihapuskan dari hukum alam dan dari realitas alam.
Ketiganya seakan menyesali, seandainya yang menguasai dunia bukan barat,
eksploitasi alam yang merusak itu tidak akan pernah terjadi.
Al-Attas
menjabarkan idenya mengenai universitas Islam pada konferensi dunia pertama
pendidikan Islam di Makkah pada 1977 dan mengulasnya lagi dalam konferensi dunia yang kedua di
Islamabad pada 1980. Dia mengatakan
bahwa universitas Islam memiliki
struktur yang berbeda dengan universitas barat. Konsep ilmu yang berbeda dengan
apa yang dianggap ilmu oleh pemikir barat.[20]
Al-Attas mengatakan bahwa ilmu harus diIslamkan. Namun mengislamkan ilmu itu
tanpa syahadat dan jabat tangan sang qadi. Di Islamkan artinya dibebaskan,
diserahkan diri pada Tuhan. Dibebaskan dari pemikiran sekuler yang ada pada
pemikir muslim. Khususnya pada fakta dalam penafsiran-penafsiran fakta dan
formulasi teori. Pada saat yang sama dimasuki konsep din, manusia (insan) ilmu
(ilm dan ma`rifah), keadilan (`adl),
konsep amal yang benar (amal sebagai adab) dan sebagainya. Jika Thomas khun
(1970), pemikiran pendidikan Islam telah menjelma menjadi “normal science” yang
mapan dan tanpa kritik.[21]
Artinya bahwa ilmu pengetahuan harus mampu memecahkan persoalan-persoalan yang
muncul dengan menggunakan teori-teori baru yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
C. Tajdid Paradigmatik Ke Arah Integrasi Pendidikan
Paradigma ilmu yang diikuti masyarakat Indonesia yang
dikotomik ternyata berdampak pada terjadinya ketimpangan pengembangan keilmuan
yang mengarah pada ilmu yang sekularistik dan ilmu yang fundamentalistik. Konsekwensi logis yang harus diambil dengan adanya hal ini
terbentuknya karakter pendidikan yang mendua. Untuk menyatukan ilmu agama dan
umum supaya membentuk sebuah kesatuan dibutuhkan paradigma baru. Memang,
apabila di telisik kebelakang, pendidikan Islam
yang ada di Indonesia lahir dari,
dan untuk masyarakat Indonesia. Lembaga
pendidikan Islam tidak dapat digantikan oleh lembaga pendidikan lain, karena
mempunyai visi, misi dan karakteristik yang sangat spesifik.
Pada masa
pemerintah kolonial, sesuai dengan misi kolonial pendidikan Islam
dianaktirikan. Pendidikan Islam dikategorikan sebagai sekolah liar. Bahkan,
pemerinltah kolonial telah melahirkan peraturan-peraturan yang membatasi bahkan
mematikan sekolah-sekolah partikuler dengan mengeluarkan peraturan yang
terkenal wide schoolen ordonantie tahun 1933.[22]
Akibat dari perlakuan yang negatif dari pemerintah kolonial, maka pendidikan
Islam mengahadapi kesulitan dan terisolasi dari arus modern. Selanjutnya dimasa
kemerdekaan, tidak sendirinya pendidikan Islam dimasukkan kedalam system
pendidikan nasional. Organisasi penddikan Islam terus hidup tetapi tidak
memperoleh perhatian sepenuhnya dari pemerintah. Lembaga-lembaga pendidikan
Islam terus hidup meski dalam keadaan yang sangat sederhana dan apa adanya.[23]
Perhatian
pemerintah mulai ditunjukkan pemerintah setelah adanya SKB 3 menteri pada
tanggal 24 maret 1975 yang mengatakan bahwa kedudukan madrasah sama dengan
kedudukan sekolah formal lain.[24]
Kemudian diikuti dengan UU. No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan
nasional. Didalam UU tersebut madrasah diakui sebagai sub sistem pendidikan
nasional sebagaimana di dalam PP No. 28 Tahun 1990 tentang pendidikan dasar dan
PP No. 29 tentang pendidikan menengah. Masuknya madrasah sebagai sub-
pendidikan mempunyai berbagai konskwensi. Antara lain dimulainya suatu pola
pembinanan yang mengikuti satu ukuran yang mengacu kepada sekolah-sekolah
pemerintah. Madrasah mengikuti kurikulum nasional serta ikut dalam UNAS dan
berbagai peraturan yang diatur oleh Diknas.[25]
Dualisme yang terjadi dalam tubuh lembaga pendidikan
Indonesia melaju begitu saja. Hampir disemua lini pendidikan, kesemerawutan
dalam bidang menejemen berdampak pada mpembinaan sekolah yang ada pada naungan
Depag. pembinaan yang bersifat dualistik sangat merugikan sekolah-sekolah yang
berada dibawah naungan Depag. dapat dikatakan integrasi yang ada pada madrasah
dengan sekolah umum hanya terbatas pada keseteraan dalam bidang struktur dan
muatan kurikulum. Usaha menegerikan madrasah merupakan jembatan untuk memajukan
lembaga pendidikan dibawah naungan Depag. Bantuan guru-guru negeri yang
diperbantukan di Madrasah adalah faktor penopang untuk menjadikan madrasah
lebih maju dan tetap eksis.
Namun integrasi lembaga
pendidikan Islam hendaknya tetap mempertimbangan tiga kepentingan.pertama,
kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama umat
Islam. Yakni, sebagai wahana untuk membangun ruh dan praktik hidup islami. Kedua,
kebijakan itu harus memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sebagai
ajang membina warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian dan
produktif setara dengan sistem sekolah. Ketiga, kebijakan itu harus
dapat menjadikan madrasah mampu merespons tuntutan masa depan.[26]
Maraknya kenakalan remaja dari tawuran hingga kasus
terakhir di Situbondo (arisan PSK), semakin memantapkan langkah Lembaga
Pendidikan Islam untuk menunjukkan pilarnya sebagai Lembaga yang
mengintegrasikan antara ilmu sekuler dan agama. Pendidikan Islam dituntut
bertanggung jawab terhadap generasi masa kini. Muhtar Buchori melihat perlunya
pendidikan membekali peserta didik dengan the basics (kemampuan dasar)
yang ditandai dengan tiga keseimbangan yaitu (1) keseimbangan antara jasmani
dan rohani, (2) keseimbangan antara pengetahuan alam, eksakta dengan
pengetahuan sosial budaya, (3) keseimbangan antara pengetahuan tentang masa
kini dan masa yang akan datang. [27]
Peranan guru,
merupakan faktor yang sangat penting. Dalam tradisi Islam, peserta didik
disarankan untuk tidak tergesa-gesa dalam belajar pada sembarang guru. Tapi,
perlu dicermati dalam lembaga paendidikan, faktor keluarga seringkali di dahulukan dalam
perekrutan tenaga pengajar. Hal ini
bukan hanya terjadi pada masa sekarang namun, telah menjalar di zaman abad
pertengahan, di Kairo sendiri terjadi (family connection) hubungan
kekerabatan mempunyai kaitan dengan perekrutan tenaga administrasi dan
pengajar.[28]
Sisi negatif dari perekrutan ini adalah terjadinya pengesampingan profesional seorang
guru dan lebih mengutamakan relasi. Keadaan seperti ini sering ditemuai pada
lembaga pendidikan termasuk Depag. Sudah saatnya para pengelola lembaga ini
bersikap amanah dalam menjalankan tugasnya demi tercapainya tujuan yang
dicita-citakan.
D. Transformasi pendidikan Islam di
Perguruan Tinggi
IAIN sebagai bentuk awal dari UIN,
memiliki usaha pengembangan keilmuan Islam membentuk ulama yang intelek atau
intelek yang ulama. Usaha ini merupakan bentuk ijtihad para pemimpin bangsa dalam
melihat perkembangan sarjana-sarjana Islam saat berhadapan dengan
sarjana-sarjana lulusan universitas-universitas “sekuler”. Dalam
perkembangannya, IAIN mampu mewarnai kehidupan bangsa melalui sumbangsih
pemikiran para alumninya. Namun, tidak hanya cukup berbangga dengan hal
tersebut, dalam kurun waktu yang sama studi Islam (Islamic studies)
perlu berdialog dengan keilmuan-keilmuan yang lain.
Dikotomi antara keilmuan umum dan
keilmuan agama menjadikan IAIN kurang bisa bergerak bebas dalam mengambalikan
keilmuannya. Begitu juga dengan kecenderungan saat ini, dimana studi Islam
mengalami krisis relevansi ketika berhadapan dengan kehidupan modern. Usaha
menjadikan IAIN menjadi UIN merupakan proyek kelimuan yang patut mendapat
apresiasi. Pengintegrasian antara keilmuan agama, sosial, dan sains diharapakan
dapat tercipta dalam tradisi akademik mendatang dengan semangat perubahan
namanya.[29]
Pembicaraan hangat mengenai upaya
transformasi/konversi IAIN (Institut Agama Islam Negeri) menjadi UIN (Universitas
Islam Negeri) tak dapat dipisahkan dari wacana mengenai ilmu dan agama.
Konversi IAIN menuju UIN merupakan bentuk praktis upaya pengintegrasian antara
ilmu dan agama, menghilangkan dikotomi ilmu yang menjadi jurang pemisah antara
ilmu agama dan ilmu umum. Melalui usaha konversi IAIN menjadi UIN diharapkan
dapat memberikan jawaban-jawaban atas perso’alan mengenai wacana sains dan
agama. Universitas-universitas tersebut bisa memulai menentukan arah
pengembangannya melalui kurikulum yang disusunnya.[30]
UIN Malang misalnya, perubahan STAIN
Malang menjadi UIN Malang pada awalnya di dorong oleh semangat untuk mencoba
memadukan ilmu (sains) dan agama yang terkesan bersifat dikotomik. STAIN Malang
yang pada saat itu membuka Jurusan Tarbiyah, dengan program studi pendidikan
agama dan dan pendidikan bahasa Arab, merasa memiliki ruang gerak dan kawasan
yang demikian sempit. Semula, STAIN Malang diangankan untuk dikembangkan
menjadi institute atau IAIN namun, setelah melihat fakultas dan bidang studi
yang dikembangkan oleh IAIN pada umumnya hanya terdiri atas 5 (lima) fakultas
–yaitu Ushuluddin, Syari’ah, Dakwah, Tarbiyah, dan adab- lagi-lagi bentuk
seperti itu dipandang belum mampu menggambarkan universalitas ajaran Islam.
Fakultas dan bidang studi tersebut dipandang masih sangat terbatas dan jauh
dari gambaran Islam yang universal.[31]
Sampai saat ini konsep integrasi interkoneksi masih
menjadi salah satu jargon utama di kalangan intelektual muslim kelas atas,
sebutlah salah satunya Prof. Dr. H. Amin Abdullah dari UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Beliau menggambarkan konsep integrasi interkoneksi ini dengan
visualisasi jaring laba-laba keilmuan (scientific spider web) sebagai
miniatur sederhana agar lebih mudah untuk dipahami. Sangat sulit bagi kita
dalam memahami sebuah paradigma yang sangat abstrak ini, akan tetapi konsep
integrasi interkoneksi adalah paradigma yang bisa divisualisasikan dalam
kehidupan kita. Sebenarnya di kalangan akademisi sendiri masih belum banyak
dipahami tentang indikator keberhasilan dalam penerapan konsep integrasi
interkoneksi ini, sehingga belum diketahui titik evaluasi yang harus
diperbaiki.
Untuk bisa
menangkap pemahaman konsep integrasi interkoneksi dalam prakteknya, perlu
menggunakan tiga kata kunci entitas yang
diadopsi dari konsep keterpaduan ilmu menurut Amin Abdullah
integrasi keilmuan perlu memerhatikan prinsip-prinsip dasar sebagai
berikut. Hadarah al- nash (bayani) memang tidak lagi bisa berdiri
sendiri terlepas sama sekali dengan hadarah
al-ilm(tehnik komunikasi) dan juga tidak bisa terlepas dari hadarah
al-falsafah (etik), begitu juga sebaliknya.[32]
Rumusnya adalah jika kita telah berhasil
memadukan dan menyeimbangkan ketiga entitas di atas dalam berbagai segi
kehidupan, maka kita telah berhasil menghilangkan gap dikhotomis di antaranya.
Makna memadukan dan menyeimbangkan di sini adalah mengkaitkan tanpa mengacuhkan
kepentingan ketiganya.
Jadi secara teoritis konsep keilmuan yang integratif
interkonektif adalah konsep keilmuan yang terpadu dan terkait antara keilmuan
agama (an-nash) dengan keilmuan alam dan sosial (al-ilm) dengan
harapan akan menghasilkan sebuah out put yang seimbang etis filosofis (al-falsafah).
Jadi hubungan antara bidang keilmuan tidak lagi terjadi konflik tetapi saling
menghargai dan membangun, bidang keilmuan satu sama lain saling mendukung.
Misalnya bagaimana keilmuan sains dan teknologi dapat mendukung eksistensi
keilmuan agama, begitu juga sebaliknya. Sehingga dalam hal ini tidak lagi
dijumpai ilmu agama bertentangan dengan ilmu alam atau ilmu alam bertentangan
dengan ilmu etika misalnya. Pada dasarnya yang ingin dibangun kembali adalah
paradigma yang salah dalam melihat struktur keilmuan secara utuh.
E.
Kebijakan
politik (UU/PP yang terkait Konversi lembaga Pendidikan Islam)
Pada tahun 1950 terjadi
aksiden sejarah dalam dunia pendidikan kita, yakni ketika presiden Soekarno
menetapkan berdirinya Universitas Gajah Mada yang diperuntukkan bagi golongan
nasionalis dan dalam waktu yang bersamaan menetapkan perguruan tinggi Islam Negeri
Yogyakarta yang diperuntukkan bagi umat Islam. Dalam perjalanan selanjutnya,
dengan adanya kedua lembaga Pendidikan ini membentuk polarisasi yang lebih
menyeluruh. Implikasinya adalah universitas umum seakan-akan bukan milik
golongan Islam, dualisme dan dikotomi terus bertahan dan bahkan melebar,
sekolah atau perguruan tinggi umum menjadi binaan Diknas. [33]
Sejak ditetapkannya Departemen Agama
sebagai penanggungjawab mengelola lembaga pendidikan Islam, dalam rentang waktu
cukup panjang sampai era Orde Baru keberadaan madrasah termasuk PTAIN/IAIN
tidak dianggap sederajat dengan sekolah-sekolah umum. Lembaga pendidikan Islam
dinilai lebih menekankan dakwah daripada akademisnya, sehingga mutu akademisnya
rendah. Bahkan IAIN pernah tidak diakui sebagai perguruan tinggi. Hal ini
tercermin dari system penganggaran yang
hanya diambil dari sektor agama -menyatu dengan masjid, pesantren, majelis
taklim, dan haji- bukan sektor pendidikan.[34]
Menyadari akan masalah yang dihadapi,
IAIN selaku lembaga pendidikan tinggi Islam di Idonesia berusaha untuk mengejar
ketertinggalannya. Semangat keilmuan di lingkungan IAIN terus tumbuh dan
berkembang. Hal ini ditandai dengan adanya transformasi IAIN yang terus
mengalami proses peningkatan, dari nuansa ideologis politis menuju ke arah
akademis. Metodologi ilmu-ilmu sosial dalam kajian-kajian agama mulai
diperkenalkan. Pada masa Alamsah dimulai pembukaan program Pascasarjana.
Kemudian Munawir Sadzali secara intensif juga meningkatkan kualitas dosen
dengan mengirimkan banyak dosen IAIN ke negara-negara Barat. Selanjutnya muncul
pula wacana pengembangan IAIN menjadi UIN di masa Tarmidzi Thahir. Selain itu,
muncul pula wacana penempatan IAIN dalam satu atap pendidikan yakni di bawah
naungan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).[35]
Secara yuridis lembaga pendidikan Islam
(keagamaan) menjadi semakin kokoh setelah terbit Undang-Undang No. 2 tahun 1989
yang secara eksplisit menyebutkan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan
termasuk dalam sistem pendidikan nasional (pasal 11 dan 39). Hal ini dikuatkan
lagi dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003, pasal 15, 17, 18, dan 30, dan 37).
Dengan kekuatan hukum itu diharapkan kualitas pendidikan keagamaan semakin
meningkat.
Berkenaan dengan pendirian UIN, ada
beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan, yaitu:[36]
Pertama,
berdasarkan pengalaman sejarah, dalam pengembangan pendidikan syahwat politik
umat Islam sangat dominan. Kecenderungan politis yang dipayungi dengan landasan
teologis, Nampak ketika umat Islam beramai-ramai mendirikan perguruan tinggi
tanpa studi kelayakan akademis. Sekarang di seluruh Indonesia terdapat 14 IAIN,
33 STAIN, dan ratusan PTAIS (khusus Jawa Tengah ada 25 PTAIS). Ketika animo
mahasiswa semakin kurang mereka kebingungan, akhirnya berusaha membuka program
pendidikan umum yang diperkirakan laku jual. Ketika lulusannya ditolak untuk
mendaftarkan calon pegawai negeri, semakin bingung lagi karena dibayangi
kematian pelan-pelan. Oleh karena itu, dalam konteks UIN syahwat politik mesti
ditinggalkan dan pertimbangan akademis harus benar-benar dipegang teguh. Kalau
hal ini tidak dilakukan hamper bisa dipastikan di kemudian hari nasibnya akan
sama dengan PTAI.
Kedua, perlu
dipertimbangkan konsekuensi penggunaan predikat Universitas Islam Negeri, yakni
karakteristik apa yang dapat ditawarkan. Misalnya landasan epistemologinya yang
secara eksplisit berbeda dengan perguruan tinggi lain, wawasan keislaman yang
relatif lebih luas, dan komitmen terhadap Islam lebih tinggi dibandingkan dengan perguruan tinggi lain.
Ketiga, Keberadaan UIN
sekarang masih menunjukkan dualisme kelembagaan. Misalnya berdasarkan Kepres
No. 50 tahun 2004 tentang perubahan IAIN Sunan Kalijaga menjadi UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, pasal 2 ayat (2) bahwa UIN Sunan Kalijaga secara teknis
akademis bidang ilmu umum dibina oleh Menteri Pendidikan Nasional dan secara
teknis fungsional dibina oleh Menteri Agama. Dualisme kelembagaan ini sudah
semestinya dihilangkan, serahkan saja sepenuhnya ke Dep. Diknas agar prinsip
efisiensi dan fungsional dapat dijalankan karena secara fungsional yang tepat
mengurus pendidikan adalah Dep. Diknas. Beban politis ideologis sudah
selayaknya dihilangkan, artinya tidak perlu khawatir nilai dan pesan-pesan
agama Islam terdistorsi karena sudah ada undang-undang pendidikan nasional yang
menjamin tumbuh kembangnya niali-nilai agama dalam pendidikan formal.
Keempat,
dengan diserahkannya UIN ke Dep. Diknas mestinya memberi peluang yang sama
kepada universitas-universitas lain yang akan membuka fakultas agama (Islam)
untuk ikut memperdalam dan mengembangkan ilmu pengetahuan agama Islam secara
akademis. Hal ini jangan dianggap rival, tetapi justru memperluas medan musabaqah
fil khairat dalam ilmuan.
Dengan puncak ambivalensi terhadap pendidikan
keagamaan bagi kalangan umat Islam menampakkan kurang percaya diri untuk
menghadapi tantangan globalisasi, informasi didalam menyelenggarakan pendidikan
yang diberikan pelabelan nama keagamaan. Bahkan nama baik kelembagaan
Departemen Agama perlu dipertanyakan kembali didalam manajemen dan pengelolaan
pendidikan.[37]
Pendirian Universitas Islam Negeri juga menunjukkan kegamangan ini, karena
menempatkan Universitas berdiri jalur yang berbeda, satu jalur di bawah naungan
Departemen Pendidikan Nasional, jalur yang lain di bawah naungan Departemen
Agama. Dengan asumsi dua jalur diatas, tiada lain merupakan jalur kebijakan
politik pendidikan nasional.[38]
F.
Tantangan
di Lembaga Kependidikan Islam
Atas dasar berbagai analisa tentang konsep pendidikan Islam dan berbagai
kritisi dari berbagai kalangan dan ilmuan terhadap perguruan tinggi Islam dapat
dinyatakan, hal ini ada 3 persoalan yang sangat spesifik dan harus di hadapi
bersama-bersama.
a. Kurikulum di Perguruan Tinggi Islam
Konsep pendidikan Islam yang universal mencakup dua domain sekaligus, sain
agama serta sains pengetahuan dan teknologi. Kedua hal tersebut sangat penting
untuk dimiliki. Sebagai gagasan konsepsi tersebut memang sangat brilian meskipun aplikasinya
belum sepenuhnya dapat dibuktikan oleh
umat Islam pada masa sekarang. Pendidikan Islam pada negara-negara Islam masih jauh dari tradisi sains teknologi. Dan masih
berkutat pada tradisi sains agama. Ini sama halnya dengan subtansi-esensi
kurikulum perguruan tinggi Islam kebanyakan yang masih bersifat parsial,
sehingga tidak mampu menginspirasi ruh pendidikan Islam yang universal.
Tampaklah antara sains agama dan sains teknologi mengalami kesenjangan.
b. Pemberdayaan Kelembagaan Dalam Konteks SDM
Tenaga Pengajar
Permasalahan yang kedua dengan perlunya pemberdayaan kelembagaan dalam
hubungannya dengan manajmen dan ketersediaan SDM yang kompeten. Persoalan
orientasi akademis dan manajemen merupakan dua masalah penting dalam
kelembagaan perguruan tinggi Islam. Persoalan manajemen yang mencakup
administrasi, keuangan, pengelolaan pembelajaran, kemahasiswaan, kepegawaian
dan lain-lain yang dilaksanakan secara profesional diyakini berpengaruh secara
positif bagi kinerja birokrasi di perguruan tinggi Islam. Disisi lain, masalah
manajemen juga terkait erat dengan persoalan kompetensi SDM yang ada
didalamnya. Persoalan SDM yang mencakup leadership, integritas,
moralitas, mentalitas, transparansi dan wawasan para pemimpin setiap elemen
yang terlibat dalam pengelolaan perguruan tinggi serta berpengaruh pada
penciptaan iklim birokrasi yang sehat, kompetitif, profesional dan sinergi di
masa depan.[39]
Permasalahan yang di hadapi
oleh perguruan tinggi Islam dalam menigkatkan mutu pendidikan, terlebih UIN
Sunan Kalijaga yang dengan jargonnya integrasi- interkoneksi disebabkan kurangnya Tenaga pengajar yang mempunyai dua
keahlian sekaligus (antara sains agama dan sains umum). Dengan kurangnya tenaga
pengajar yang menguasai dua keahlian
tersebut sulit untuk mewujudkan integrasi interkoneksi keilmuan Islam.
Konversi keilmuan tercipta dengan adanya keharmonisan untuk menerima pandangan
yang berbeda-beda.
Guna mencapai iklim birokrasi seperti diatas, perlu dilakukan tradisi
terobosan baru. Misalnya mengedepankan transparansi dan kompetensi dalam proses
penerimaan calon tenaga administrasi, calon pns dan honorer. Terobosan yang
seperti ini hanya bisa berjalan bila dalam waktu yang sama juga dilakukan
pemberantasan proses rekrutmen secara klasik yang umumnya di dasarkan pada
ikatan primordialisme yang sempit (hubungan saudara, sedaerah, seorganisasi,
sekolega) serta sarat dengan kolusi dan nepotisme. Disamping mementingkan aspek
kompetensi, keterampilan, keahlian dan integritas, manajemen pendidikan modern
juga mensyaratkan pada sistem promosi jabatan yang transparan atas dasar
pertimbangan yang rasional dan obyektif. Jika hal-hal yang demikian dapat
diwujudkan secara konkrit dalam kebijakan birokrasi, maka pemberdayaan
demokrasi akan berjalan semakin baik di masa yang akan datang. Salah satu
indikatornya adalah setiap pegawai memiliki etos kerja sebagai pegawai yang
profesional.
c. Pemberdayaan Tenaga Pengajar dan Pendanaan
Selain SDM manajemen, hal lain yang perlu untuk diperhatikan adalah
peningkatan SDM tenaga edukasi. Artinya kualifikasi pada tenaga edukasi lebih
didasarkan pada ranah kompetensi, jati
diri, integritas dan mentalitas akademik. Persyaratan yang demikian menjadikan
bobot proses seleksi tenaga edukatif menjadi lebih ketat. Hal ini cukup
beralasan karena tenaga edukatif adalah kata kunci dalam kegiatan pembelajaran,
penelitian, tulis menulis dan publikasi karya ilmiah.[40]
Berkenaan dengan manajemen tenaga edukatif di PTI, setidaknya ada dua hal
yang perlu di lakukan. Pertama, salah satu tolok ukur pertama dalam penerimaan
calon tenaga edukasi adalah kemampuan akademik yang di dasarkan pada jenjang pendidikan tertentu (Master atau
Doktor). Sebagaimana yang telah ditentukan oleh Departemen agama RI. Selain itu
perlu pula memperhatikan potensi akademik calon tenaga edukasi melalui karya
ilmiah yang telah dihasilkan baik berupa buku, jurnal, artikel dalam surat
kabar dan hasil-hasil penelitian. Kedua, mengingat keterbatasan formasi
pengangkatan tenaga edukatif PNS, perlu
pula diadakan pengangkatan tenaga edukatif honorer melalui sistem kontrak
dengan imbalan yang wajar dan manusiawi.[41]
Walaupun
begitu, pemberian status otonomi terhadap beberapa PTN di Indonesia dapat
dijadikan dasar pijakan untuk meningkatkan kualitas pengajaran di PTN tersebut.
Misalnya, dengan adanya kebebasan untuk mengangkat dosen atau karyawan jangan
lagi ulangi kesalahan pemerintah didalam perekrutan dosen atau karyawan lainnya
yang berbau KKN. Meskipun hal ini belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang
diharapkan. Pemberian otonomi oleh pemerintah merupakan sebuah kesempatan untuk
menciptakan management yang bersih dan berbasis performance. Manajemen yang
bersih dan berbasis performance di PTN diharapkan dapat membantu terciptanya
sebuah kondisi yang kondusif didalam meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini
harus dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh para akademika di PTN.
Namun konsep
otonomi perguruan tinggi menuntut lembaga-lembaga perguruan tinggi tidak hanya
memiliki kemampuan finansial, tetapi juga secara berkelanjutan melakukan
peningkatan kualitas. Hanya perguruan tinggi yang berkualitas yang akan sanggup
menciptaan kegiatan-kegiatan produktif dan pada gilirannya mampu menyokong
kemampuan finansial perguruan tinggi yang bersangkutan. Tidak terkecuali dengan
perguruan tinggi Islam yang secara umum masih rendah kualitasnya, sedikit demi
sedikit harus mulai bangkit untuk mengejar ketertinggalannya.[42]
Selain dari pada itu tingginya anggaran yang diberikan pemerintah pada dunia
pendidikan contohnya pada Depdiknas dan
Depag Dapat Jatah Anggaran Paling Besar
di tahun 2013. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama
(Depag) mendapatkan jatah anggaran paling besar dalam APBN 2013, Depdiknas
dapat Rp 70 triliun, dan Depag dapat Rp 38 trilyun triliun dapat menyokong akan
tercapainya kesejahteraan bagi dunia pendidikan.[43]
Pada akhirnya,
semua pekerjaan tersebut bukan hanya tanggung jawab perorangan atau beberapa
kelompok. Ini adalah tanggung jawab seluruh warga negara Indonesia untuk
meninggalkan warisan yang berguna bagi anak dan cucu di kemudian hari, yaitu
kualitas pendidikan yang sempurna sebagai modal untuk mensejajarkan diri bangsa
ini dengan bangsa lain.
G.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas, dualisme yang melanda
kehidupan khusunya Indonesia dan umumnya
masyarakat islam seluruh dunia hendaknya menanggapinya dengan serius. Pengaruh
dualisme ini ternyata sangat merugikan. Anggaran yang diberikan kepada Diknas
dan Depag tidak sebanding. Pengaruhnya hal ini sangat besar terhadap keberlangsungan
kehidupan Umat islam. Dengan adanya sistem dualisme, umat Islam cenderung untuk
mempelajari agama dengan mengesampingkan Iptek. Dalam pendidikan Islam perlu
perumusan kembali dari segi aspek, materi, maupun evaluasi. Ulama dan tokoh
Islam, harus mempelopori penyusunan dan
penjelasan rancangan konsep riil atas integrasi ilmu. Karena bagaimanpun juga,
ulama masih dipandang corong agama yang fatwanya masih didengar oleh
masyarakat. Bagi pemerintah, khususnya bagi para politisi yang diusung oleh
masyarakat Muslim, selalu memperjuangkan dan membuat perundang-undangan yang
tidak merugikan bagi umat islam. wallahu `alam.
[5]
Azyumardi Azra,
Pendidikan Islam :Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru (Jakarta:
LOgOS, 1999), hlm. 11-12
[6]
Fazlur
Rahkmman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition (Chicago: The
Chicago University Press, 1984), hlm. 33.
[7]
Mulyadi
Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah
Rekontruksi Holistik, (Bandung: Arasyi Mizan, 2005), hlm. 19.
[8] Baharuddin
dkk, Dikotomi Pendidikan Islam: Historisitas dan Implikasi pada Masyarakat
Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011), hlm. 4.
[9] Philip K.
Hitti, History of The Arab, (London: Macmillan Press Ltd, 1974), hlm.
240.
[10] Namun booming
tradisi keilmuan terjadi pada masa
Abbasiyah, penerjemahan naskah-naskah kuno, penemuan ilmu-ilmu hitung dan
fisika hingga pendirian Baitul hikmah yang menjadi tanda mercusuar dari
peradaban Islam. Masa Abbasiyah ini
dikenal sebagai masa puncak kejayaan Islam. Lihat: Philiph K. Hitti, History
of The Arab,.hlm. 25.
[11]
George Makdisi,
The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West: With SpesialReference to Scholaticism, (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1990) ,hlm. 97.
[12]Hasan Abd al-`Al, Attarbiyah al-Islamiyyah fi al-Qarn ar-Rabi`, (Kairo:
Dar al-Fikr al-`Arabi, 1978), hlm 69-72.
[13]
George Makdisi,
The Rise of Humanism,.hlm. 79.
[14] Ibid.,hlm.69.
[18] Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta:
LogOs, 1999), hkm. X-Xi.
[19] A.
Syafi`i Ma`arif, Peta Bumi Intelektual
Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 150.
[20]
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan praktik
Pendidikan Islam, Syed Naquib al-Attas. (Bandung: Mizan, 2003), hlm.207.
[21]Agus Nuryatno, Mazhab
Pendidikan Kritis, (Yogyakarta: Resist book, 2008), hlm. 93
[22] H.A.R. Tilaar,Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 169.
[23]Abdul Rahman
Saleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa,(Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004) , hlm. 67-68.
[24]A. Malik Fajar,
Madrasah dan Tantangan Modernitas, cet II, (Bandung : Mizan, 1999), hlm.
7.
[25] Abdul Rahman
Saleh, Madrasah.,hlm. 69.
[27] Muhtar
Buchori, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm.
40-41
[28] Jonathan
Berkey,The transmission of Knowledge
in Medieval Cairo: A Social History of
Islamic Education , (Pricenton: Princenton University Press, 1992), hlm. 120.
[29] Mukhlis Fahruddin, “UIN Malik Ibrahim dan Proyek
Integrasi”, http://www.mukhlisfahruddin.web.id/
[30] Zainal Abidin Bagir, “kata
pengantar” dalam Mehdi Golshani, Melacak
Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains, (Bandung: Mizan, 2004),
hlm. xii.
[31] Imam Suprayogo, “Membangun
Integrasi Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN Malang”, dalam Zainal Abidin Bagir,
dkk, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan,
2005), hlm. 214-215.
[32]
Sutrisno, Pendidikan
Islam yang Menghidupkan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2006), hlm. 94
[33]
Marwan Sarijo, Bunga
Rampai Pendidikan Islam, (Jakarta: CV. Amissco, 1996), hlm. 25. Namun
suasana seperti ini nampaknya di nikmati oleh umat Islam , dimana pendidikan
agama dianggap lebih unggul dengan dalil mengajar dan menenamkan pengetahuan
agama adalah kewajiban agama. Mereka melakukan hal tersebut hanya satu tujuan,
yaitu mendapatkan ridha Allah. Mereka
menganggap pendidikan agama jauh lebih penting dari pada pendidikan sekuler.
Masalah seperti ini menjamur disetiap Negara muslim serta dibeberapa Negara
tersebut terdapat dualism pendidikan. Baca:Sharom ahmat dan Sharon Siddique, Muslim
society Higher Education and Development in Southeast Asia, (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 1988), hlm. 12.
[34] Achmadi, Ideologi Pendidikan
Islam: Paradigma humanis Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
hlm. 175.
[35] Ibid., hlm. 176-177.
[36] Ibid., hlm. 185-187.
[37]Salah
satu contoh keberadaan UIN sekarang yang masih menunjukkan dualisme kelembagaan
yang berdasarkan Kepres No. 20 Tahun 2004 tentang perubahan IAIN menjadi UIN
sesuai dengan pasal 2 ayat (2) bahwa UIN secara teknis akademis bidang ilmu
umum dibina oleh Menteri Pendidikan Nasional dan secara teknis fungsional
dibina oleh Menteri Agama. Hal ini menunjukkan ambivalensi pemerintah dan
khususnya para elit muslim di pemerintahan perlu di luruskan kembali. Ahmadi, ideology,,,
hlm. 186-187.
[38]Ranah
pengelolaan pendidikan yang selama ini oleh Departemen Agama sudah sedemikian
luas, tidak hanya pendidikan agama tetapi mencakup hampir semua bidang ilmu
pengetahuan, sehingga keberatan beban. Jika ini diteruskan justru tidak dapat
diharapkan Departemen Agama mempunyai kualitas yang mampuni terhadap pendidikan
Islam. Pendidikan agama Islam diselengarakan disemua jenjang sekolah umum,
sekolah Islam, dan madrasah ketiganya bersama dengan pesantren merupakan
jenis-jenis yang disebut sebagai pendidikan Islam. Lihat, Abdul Munir Mulkhan, Nalar
Spritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam. (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2002), hlm. 365.
[39]Abdullah Idi
dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006),hlm 199.
[40]Paling tiak ada
tiga kendala yang menyebabkan program penelitian kurang terpacu di lingkungan
perguruan tinggi. Pertama, kurang tersedianya dana yang layak. Kedua, ada dosen
yang setiap harinya terlalu sibuk dengan tumpukan-tumpukan tugas perkantoran
atau pekerjaan rutin aministrasi yang menguras waktu tenaga dan pikiran mereka,
sehingga mereka tidak sempat lagi melakukan penelitian. Ketiga, banyak dosen
yang karena keahlian mereka dalam bidang tertentu digunakan oleh berbagai
instansi sehingga mereka menjadi sibuk dengan pekerjaan administrasi dan urusan
perkantoran. Baca: Faisal Ismail, Masa Depan pendidikan Islam (Jakarta:Bakti
Aksara Persada, 2003), hlm.154-155.
[41]Abdullah Idi
dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006), hlm.201
[42]Baca:
Husni Rahim,Arah
Baru Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003)
hlm.184.
[43]
WWW. Detik Finance.com .
No comments:
Post a Comment